Minggu, 10 November 2013

Ushul Fiqh: Alqur'an


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Al-qur’an merupakan sumber hukum dalam islam. Kata sumber dalam artian ini hanya dapat digunakan untuk Al-qur’an maupun sunnah, karena memang keduanya merupakan wadah yang dapat ditimba hukum syara’, tetapi tidak mungkin kata ini digunakan untuk ijma’ & qiyas karena memang keduanya memang merupakan wadah yang dapat ditimba norma hukum. Ijma’ & qiyas juga termasuk cara dalam menemukan hukum. Sedangkan dalil adalah bukti yang melengkapi atau memberi petunjuk dalam Al-qur’an untuk menemukan hukum Allah, yaitu larangan atau perintah Allah.
Apabila terdapat suatu kejadian, maka pertama kali yang harus dicari sumber hukum dalam al-Qur’an seperti macam-nacam hukum dibawah ini yang terkandung dalam Al-qur’an , yaitu:
1.      Hukum-hukum akidah (keimanan) yang berhubungan dengan hal-hal yang harus dipercaya oleh setiap mukallaf mengenai malaikat-Nya, kitab-Nya, para rasul-Nya, dan hari kiamat (akidah/keyakinan).
2.      Hukum-hukum Allah yang berhubungan dengan hal-hal yang harus dijadikan perhiasan oleh setiap mukallaf berupa hal-hal keutamaan dan menghindarkan diri dari kehinaan (akhlak).
3.      Hukum-hukum amaliah yang berhubungan dengan tindakan setiap mukalaf, meliputi masalah ucapan perbuatan akad (contract) dan pembelanjaan pengelolalaan harta benda, ibadah, muamalah dan lain-lain.
permasalahn tersebut membuat penulis terguga untuk membahas lebih dalan tentang Al-Qur'an sebagi salah satu kaian ilmu Ushul Fiqh


 B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud Al-qur’an  ?
2. Apakah semua ulama’ sepakat terhadap kehujjahan Al-qur’an ?
3. Apa yang dimaksud dilalah qoth’i dan  zhanni  didalam Al-qur’an ?
4. Bagaimanakah al-Qur’an menjelaskan suatu hukum dan sebagai sumber hukum ?
5. Bagaimana sistematika hukum di dalam al-Qur’an ?

C. Tujuan Penulisan
Tentunya kami sebagai penyusun atau penulis makalah ini mempunyai tujuan terkait dengan rumusan masalah, yang dengan tujuan tersebut kita dapat mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, tujuannya adalah:
1.      Supaya penulis dan pembaca dapat mengetahui tentang Al-qur’an.
2.      Supaya penulis dan pembaca bisa mengetahui terhadap argumen tentang al-Qur’an sebagai suber hukum islam yang pertama.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Al-qur’an
Secara bahasa ( etimologi )Al-qur’an merupakan bentuk masdar (kata benda) dari kata kerja Qoro-a yang bermakna membaca atau bacaan. Ada yang berpendapat bahwa qur’an adalah masdar yang bermakna isim maf’ul, karenanya ia berarti yang dibaca atau maqru’. Menurut para ahli bahasa, kata yag berwazan fu’lan memiliki arti kesempurnaan. Karena itu Al-qur’an adalah bacaan yang sempurna.
Sedangkan pengertian menurut istilah (terminologi) Al-qur’an adalah:” kitab Allah yang diturunkan kepada utusan Allah, Muhammad SAW. Yang ter maktub dalam mushaf, dan disampaikan kepada kita secara mutawatir, tanpa ada keraguan.”[1]
Disamping definisi diatas terdapat beberapa definisi yang pada intinya sama. Hanya terdapat beberapa penambahan penjelasan,seperti penambahan kata”al-muta’abbad bi tilawatih” (yang membacanya mendapat pahala), al-mu’jiz (yang berfungsi melemahkan lawan), al-mabdu’ bi surah al-fatihah wa al-makhtum bi surah al-nas (yang dimulai dari surah al-fatihah dan diakhiri surat annas.
Dari definisi diatas kami dapat menyimpulkan:
1.      AL-qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW, apabila tidak diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW maka tidak dapat disebut AL-qur’an, seperti wahyu Allah yang diturunkan pada Nabi Daud as (zabur), kepada nabi Musa as (taurot), kepada Nabi Isa as (injil). Memang itu termasuk kalam Allah tapi tidak bisa disebut Al-qur’an karena tidak diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
2.      Al-qur’an disampaikan kepada kita semua secara mutawatir, dan tanpa keraguan sedikitpun, seperti yang dijelaskan dalam QS. Al-baqarah :2
Yang artinya: “kitab (Al-qur’an) ini tidak terdapat keraguan padanya, dan petunjuk bagi orang yang bertakwa.”(QS.Al-baqarah, (2), :2)
3.      Yang membaca ayat dalam Al-qur’an akan mendapat pahala dari Allah SWT
4.      Al-Qur’an itu dimulai dari surah Al-fatihah dan diakhiri dengan surah An-nas

B.     Kehujjahan Al-qur’an Sebagai Sumber Hukum Islam
Para ulama’ sepakat menjadikan Al-qur’an sebagai sumber pertama dan utama bagi syari’at islam karena dilator belakangi oleh beberapa alasan,diantaranya:
1.      Kebenaran Al-qur’an
Abdul wahab khallaf mengatakan bahwa ”kehujjahan Al-qur’an itu terletak pada kebenaran dan kepastian isinya yang sedikitpun tidak ada keraguan atasny”. Hal ini sebagaimana firman Allah:
y7Ï9ºsŒ Ü=»tGÅ6ø9$# Ÿw |=÷ƒu ¡ ÏmÏù ¡ Wèd z`ŠÉ)­FßJù=Ïj9 ÇËÈ  
Artinya: “Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.” (QS.Al-baqarah : 2)
2.      Kemukjizatan Al-qur’an
Mukjizat memiliki arti sesuatu yang luar biasa yang tiada kuasa manusia membuatnya karena hal itu adalah diluar kesanggupan manusia. Mukjizat merupakan suatu kelebihan yang Allah SWT berikan kepada para nabi dan rosul untuk menguatkan kenabian dan kerosulan mereka, dan untuk menunjukan bahwa agama yang mereka bawa bukanlah buatan mereka sendiri melainkan benar-benar datang dari Allah SWT. Seluruh nabi dan rosul memiliki mukjizat, termasuk diantara mereka adalah rosulullah Muhammad SAW yang salah satu mukjizatnya adalah kitab suci Al-qur’an.

Beberapa bukti dari kemukjizatan Al-qur’an, antara lain:
1.      Dari segi keindahan sastranya. Keindahan sastra Al-qur’an melebihi seluruh sastra yang disusunoleh sastrawan Arab, baik dalam bentuk puisi, atau prosa. Keindahan sastra Al-qur’an tidak hanya diakui oleh umat islam, tetapi juga oleh lawan islam (non muslim).
2.      Pemberitaan tentang peristiwa-peristiwa yang akan terjadi dimasa depan, yang benar-benar terbukti, misalnya yang termaktub dalam surat al-rum ayat 1-4:
$O!9# ÇÊÈ   ÏMt7Î=äñ ãPr9$# ÇËÈ   þÎû oT÷Šr& ÇÚöF{$# Nèdur -ÆÏiB Ï÷èt/ óOÎgÎ6n=yñ šcqç7Î=øóuy ÇÌÈ   Îû ÆìôÒÎ/ šúüÏZÅ 3 ¬! ãøBF{$# `ÏB ã@ö6s% .`ÏBur ß÷èt/ 4 7ͳtBöqtƒur ßytøÿtƒ šcqãZÏB÷sßJø9$# ÇÍÈ  
Artinya:”Alif laam miim.telah dikalahkan bangsa romawi. Di negeri yang terdekat dan mereka setelah dikalahkan itu akan menang. Dalam beberapa tahun lagi.”
3.      Pemberitaannya terhadap peristiwa yang terjadi pada umat terdahulu yang tidak  pernah diungkap oleh sejarah sebelumnya. Dalam kaitan ini Allah menyatakan yang artinya:
“Itu adalah diantara berita-berita penting tentang yang ghaib yang akan kami wahyukan kepadamu (Muhammad);tidak  pernah kamu kamu mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum ini.
4.      Isyaratnya terhadap fenomena alam yang terbukti kebenarannya berdasarkan ilmu pengetahuan. Misalnya firman Allah dalam surat al-anbiya’ ayat 30:
óOs9urr& ttƒ tûïÏ%©!$# (#ÿrãxÿx. ¨br& ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur $tFtR%Ÿ2 $Z)ø?u $yJßg»oYø)tFxÿsù ( $oYù=yèy_ur z`ÏB Ïä!$yJø9$# ¨@ä. >äóÓx« @cÓyr ( Ÿxsùr& tbqãZÏB÷sムÇÌÉÈ
Artinya: Dan Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan keduanya. dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga beriman?.[2]

C.    Al-quran Sebagai Sumber Hukum Menurut Imam Madzhab
1.      Pandangan Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah sependapat dengan jumhur bahwa Al-qur’an merupakan sumber hukum pertama islam. Namun ia berbeda mengenai Al-qur’an itu, apakah mencakup makna dan lafazh atau maknanya saja.
Diantara dalil yang menunjukan pendapat Imam Abu Hanifah bahwa Al-qur’an hanya maknanya saja, misalnya ia mengatakan boleh shalat dalam bahasa parsi walaupun tidak dalam keadaan madharat, tapi ini bagi orang pemula dan tidak untuk seterusnya. Padahal menurut Imam Syafi’I sekalipun orang itu bodoh tidak dibolehkan membaca Al-qur’an dengan menggunakan bahasa selain arab.
2.      Pandangan Imam Malik
Menurut Imam Malik, hakikat Al-qur’an adalah kalam Allah yang lafadz dan maknanya berasal dari Allah SWT. Sebagai sumber hukum islam,dan Dia berpendapat bahwa Al-qur’an itu bukan makhluk, karena kalam Allah termasuk sifat Allah. Suatu yang termasuk sifat Allah, tidak dikatakan makhluk, bahkan dia memberikan predikat kafir zindiq terhadap orang yang menyatakan Al-qur’an itu makhluk.
 Imam Malik juga sangat menentang orang-orang yang menafsirkan Al-qur’an secara murni tanpa memakai atsar, sehingga beliau berkata: “seandainya aku mempunyai wewenang untuk membunuh seseorang yang menafsirkan Al-qur’an (dengan daya nalar murni) maka akan kupenggal leher orang itu”.[3]
Dengan demikian, dalam hal ini Imam Malik mengikuti ulama’ salaf ( sahabat dan tabi’in) yang membatasi pembahasan Al-qur’an sesempit mungkin agar tidak terjadi kebohongan atau tafsir serampangan terhadap Al-qur’an, maka tidak heran kalau kitabnya Al-Muwaththa dan Al-Mudawwanah, sarat dengan pendapat sahabat dan tabi’in. dan Imam Malik pun mengikuti jejak mereka dalam cara menggunakan ra’yu.
3.      Pandangan imam syafi’i
Menurut Imam Syafi’i sebagaimana pendapat ulama yang lain, Imam Syafi’i menetapkan bahwa sumber hukum islam yang paling pokok adalah Al-qur’an. Bahkan beliau berpendapat, “tidak ada yang diturunkan kepada penganut agama manapun, kecuali petunjuk terdapat didalam Al-qur’an.” (asy-syafi’i,    1309:20) oleh karena itu Imam Syafi’i senantiasa mencantumkan nash-nash Al-qur’an setiap kali mengeluarkan pendapatnya. Sesuai metode yang digunakan, yakni deduktif.
Namun, asy-syafi’i menganggap bahwa Al-qur’an tidak bisa dilepaskan dari sunnah. Karena kaitannya sangat erat sekali. Kalau para ulama lain menganggap bahwa sumber hukum islam pertama Al-qur’an dan kedua as-sunnah, maka Imam Syafi’i berpandangan bahwa Al-qur’an dan sunnah berada pada satu martabat (keduanya wahyu ilahi yang berasal dari Allah) firman Allah ( surat an-najm : 4)
÷bÎ) uqèd žwÎ) ÖÓórur 4ÓyrqムÇÍÈ  
Artinya:” ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”                                                                                                                                       
Sebenarnya, Imam Syafi’i pada beberapa tulisannya yang lain tidak menganggap bahwa Al-qur’an dan sunnah berada dalam satu martabat (karena dianggap sama-sama wahyu, yang berasal dari Allah), namun kedudukan sunnah tetap setelah Al-qur’an. Al-qur’an seluruhnya berbahasa arab. Tapi Asy-syafi’i menganggap bahwa diantara keduanya terdapat perbedaan cara memperolehnya. Dan menurutnya sunnah merupakan     penjelas bagi keterangan yang bersifat umum yang berada didalam Al-qur’an.
4.      Pandangan Imam Ibnu Hambal
Pandangan Imam Ahmad, sama dengan Imam Syafi’i dalam memposisikan Al-qur’an sebagai sumber utama hukum islam dan selanjutnya diikuti oleh sunnah. Al-qur’an merupakan sumber dan tiangnya agama islam, yang didalamnya terdapat berbagai kaidah yang tidak akan berubah dengan perubahan zaman dan tempat. Al-qur’an juga mengandung hukum-hukum global dan penjelasan mengenai akidah yang benar, disamping sebagai hujjah untuk tetap berdirinya agama islam.

D.    Hukum-hukum yang Dikandung al-Qur’an
Secara garis besar, hukum-hukum yang dikandung Al-qur’an dalam tiga bidang yaitu aqidah, akhlak dan hukum-hukum amaliyah. Aqidah mengkaji masalah-masalah yang berkaitan dengan keimanan. Seperti iman kepada Allah, hari akhir dan lain. Masalah ini dibahas secara khusus dalam ilmu tauhid atau aqo’id, atau ilmu kalam atau teologi. Akhlak membahas tentang cara-cara membersihkan dari kotoran-kotoran dosa dan menghiasinya dengan kemuliaan, secara khusus masalah ini dibahas dalam ilmu akhlak dan tasawuf. Amaliyah membahas tentang perbuatan orang mukalaf, dan dibahas dalam ilmu fiqh.
Secara garis besar, hukum-hukum amaliyah dibagi menjadi dua, yaitu ibadah dan muamalah. Hukum-hukum ibadah didalam Al-qur’an dijelaskan lebih rinci daripada hukum muamalah. Ayat-ayat Al-qur’an yang menjelaskan masalah ibada berjumlah 140 ayat.
Adapun hukum-hukum muamalah dibagi kedalam beberapa bidang sebagai berikut:
1.      Masalah-masalah yang berkaitan dengan keluarga atau ahwal syakhsyiyyah, seperti pernikahan, perceraian, nasab, perwalian dan lain-lain. Jumlah ayat yang mengatur ayat ini berjumlah 70 ayat.
2.      Masalah-masalah yang berkaitan dengan muamalah maliyah, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai dan akad-akad lain. Jumlah ayat yang mengatur masalah ini berjumlah 70 ayat.
3.      Masalah-masalah yang berkaitan dengan peradilan, persaksian dan sumpah atau yang biasa disebut dengan hukum cara (murafa’at). Jumlah ayat yang mengatur masalah ini berjumlah 13 ayat.
4.      Masalah-masalah yang berkaitan dengan tindak pidana dan sanksi tindak pidana (al-jaro’im wa al-‘uqubat), atau yang biasa dikenal dengan hukum pidana. Ayat yang mengatur masalah ini berjumlah 30 ayat.
5.      Masalah-masalah yang berkaitan dengan tata pemerintahan, seperti hubungan pemerintah dengan rakyatnya, hak dan kewajiban pemerintah dan rakyat dan lain-lain. Ayat yang mengatur masalah ini berjumlah 10 ayat.
6.      Masalah-masalah yang berkaitan dengan hubungan antara negara islam dan non islam, perang dan damai dan lain-lain. Ayat yang mengatur masalah ini berjumlah 25 ayat.
7.      Masalah-masalah yang berkaitan dengan ekonomi, seperti sunber devisa negara, penggunaan APBN dan lain-lain. Ayay yang mengatur masalah ini berjumlah 10 ayat.[4]

E.     Cara yang Digunakan Al-qur’an dalam menjelaskan Hukum
Dalam menjelaskan hukum-hukum, Al-qur’an menempuh dua cara, yaitu:
1.      Penjelasan secara global (mujmal). Penjelasan secara global mengambil dua bentuk, yaitu:
a.       Dengan menyebutkan kaidah dan prinsip-prinsip umum, seperti prinsip musyawarah (QS.Al-Syura :38, Al Imron: 159), prinsip keadilan (Al-Nahl: 90, Al-Nisa’: 58) dan lain sebagainya
b.      Dengan menyebutkan ketentuan hukum secara global, seperti perintah zakat (Al-Taubah: 103), hukuman qishas (Al-baqarah: 178 dan 179). Ayat-ayat diatas menyebutkan ketentuan hukum secara garis besar, sedang penjelasan lebih rinci diberikan oleh hadist. Hal ini mengandung hikmah agar ayat-ayat tersebut mampu menampung dan menjangkau kasus-kasus baru yang berkembang menyertai kemajuan yang dicapai umat manusia. Seandainya semua kasus telah diatur secara rinci didalam Al-qur’an, niscaya manusia akan terjebak dalam kesempitan, tiap kali terjadi perkembangan ilmu dan teknologi.
2.      Penjelasan secara rinci (tafsil). Hanya sedikit diantara ayat-ayat Al-qur’an yang menjelaskan hukum secara rinci, seperti pembagian harta waris, kadar hukuman had, tatacara dan bilangan talak, cara li’an, wanita-wanita yang haram dinikahi dan lain-lain.[5]

F.     Cara Penunjukan Al-qur’an kepada Hukum
Dalam hal penunjukannya kepada makna, ayat-ayat Al-qur’an terbagi menjadi dua, yaitu ayat-ayat qoth’i dan ayat-ayat zhonni. Ayat-ayat qoth’i adalah ayat-ayat yang penunjukannya kepada makna bersifat tegas dan tidak mengandung kemungkinan arti lain selain arti yang disebutkan secara eksplisit oleh ayat. Kandungan ayat-ayat qoth’i bersifat universal dan berlaku abadi dan anti terhadap perubahan. Contoh ayat-ayat qoth’i dalam Al-qur’an adalah ayat mawaris dan ayat yang menjelaskan wanita-wanita yang haram dinikahi. Sedang ayat-ayat zhonni adalah ayat-ayat yang penunjukannya kepada makna tidak tegas dan mengandung kemungkinan arti lebih dari satu. Kandungan ayat-ayat zhonni bersifat temporal, berwatak lokal dan tidak anti terhadap perubahan. Contoh ayat-ayat zhonni adalah ayat 228 surat al-Baqarah tentang iddah wanita perempuan yang dicerai suaminya.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pengertian al-Qur’an adalah kitab suci yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW.  Kehujjahan Al-Qur’an sebagai sumber hukum disepakati oleh para Ulama madzab. Mereka sepakat karena, Secara garis besar hukum-hukum yang dikandung Al-qur’an dalam tiga bidang yaitu aqidah, akhlak dan hukum-hukum amaliyah. Pada al-Qur’an terdapat dalil-dalil yang bersifat Qoth’i (dalil yang tegas dan tidak memerlikan penafsiran ulang) dan Zanni (dalil yang apabila ditafsirkan masih menimbulkan banyak makna)

B.     Saran
Sebagai umat muslim sudah sangat seharusnya melestarikan dan membudayakan mem.ahami al-qur’an. Hukum  memelajari al-Quran al-qur’an sudah dianjurkan oleh rasulullah SAW. Apalagi mahasiswa Islam harus mengerti al-qur’an karena mau tidak amu mahasiswa pasti kembali pada masyarakat dan a-qur’an sangat diperlukan dalam membenahi moral serta sedikit-sedikit ibadah yang sedikit salah. 



[1] óSuwarjin, MA, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Teras:2012), h.55
[2] Suwarjin, MA, Ushul fiqh, (Yogyakarta, Teras:2012), h.57-58
[3]   http://mujalulik.blogspot/.../ushul-fiqh- diakses pada 15-september-2013
[4] Suwarjin, MA, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Teras, 2012), h.58-59
[5] Suwarjin, MA, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Teras, 2012), h.60

Tidak ada komentar:

Posting Komentar