MAKALAH
KARAKTERISTIK AJARAN ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Islam adalah agama yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Sebagaimana yang telah diketahui bahwasanya agama islam merupakan agama yang Rahmatal Lil’alamiin. Kitab suci Al-Qur’an yang diberikan kepada nabi Muhamad SAW seolah-olah menjadi kado terindah umat muslim bagaimana tidak, karena berkat tuntunan al-Qur’an umatmuslim mampu hidup didunia denga damai tetapi pastio mendapatkan yang namanya kebahagiaan lahir dan batin.lebih menakjubkan lagi, al-Qur’an juga menjadi rujukan ilmu pengetaahuan dari berbagai lapisan, baik muslim maupun non muslim. karakteristiknya memang benar-benar mencakup semua aspek-aspek kehidupan.
Sangkut paut islam pada zaman sekarang ini sudah nampak sekali. Ada lingkup pembaharuaan telah ada revolusioner islam yang mengatakan Islam Yes! Partai Islam No! Sedang dalam menentukan moral, islam juga tidak mau ketinggalan, contoh realnya adalah Pancasila yang menjadi Ideologi bangsa Indonesia. Pada bidang toleransi, islam mengedepankan anti diskriminasi ataupun kekerasan. Kecuali dengan sebab-sebab tertentu sehingga muslim diizinkan untuk melakukan suatu pembelaan fisik.
Dari uraian singkat diatas membuat penyusun terketuk untuk membahas Karakteristik Ajaran Islam pada pembahasan makalah ini. Penyusun akan berusaha untuk menjajikan pembahasan tentang karakteristik ajaran islam sejelas munkin.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Wacana Pembaharuan Islam?
2. Apa Kedudukan dan Tugas Manusia?
3. Apa Pedoman Moral Standar dalam Meniti Kehidupan?
4. Apa Hubungan Islam dengan Keluarga dan Masyarakat?
5. Bagaimana Sistem Politik Ekonomi Islam?
6. Bagaimana Sikap Agama Islam terhadap Agama Lain?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini secara umum adalah untuk menambah wawasan secara gamblang pada masyarakat mengenai karakteristik ajaran Islam. Sedangkan secara khusus, tujuan pembuatan makalah ini aalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana wacana pembaharuan islam
2. Untuk memahami apa kedudukan dan tugas manusia
3. Untuk memahami apa pedoman moral standar dalam meniti kehidupan
4. Untuk memahami apa hubungan islam dengan keluarga dan masyarakat
5. Untuk memahami bagaimana sistem politik ekonomi islam
6. Untuk memahami bagaimana sikap agama islam terhadap agama lain
BAB II
PEMBAHASAN
A. Wacana Pembaharuan Islam
Pemikiran pembaharuan di dunia islam umumnya berpangkal pada asumsi bahwa islam sebagai realitas social pada lingkungan tertentu tersebut sudah tidak relevan lagi dengan dinamika maupun tuntunan zaman. Pola pembaharuan itu mengambil bentuk yang berbeda antara satu tokoh dengan tokoh lainnya. Karena corak epistemology yang beragam maka melahirkan aneka model pembaruan yang biasanya ditipologikan dengan reformisme, modernisme, puritanisme, fundamentalisme, sekuralisme dan neo- modernism.
Perkembangan modernisme dalam dunia islam menemukan momentumnya pada abad ke 19 meskipun dasar – dasarnya sudah muncul beberapa abad sebelumnya. Momentum yang dimaksud adalah adanya gerakan politik dan intelektual yang mulai menjamah keberbagai kawasan negeri-negeri islam. Tema gerakan – gerakan itu umunya berkisar pada dua hal, protes melawan kemerosotan internal dan serangan eksternal. Kebangkitan itu bukan berarti bahwa islam dalam kondisi pasif untuk menghadapi perubahan demi perubahan yang terjadi. Pada kenyataannya suatu peradaban tidak lain adalah hasil akumulasi perjalanan pergumulan pemeluk agama yang berdimensi historis dengan ajaran wahyu yang bernilai normative.
Proses dialektis antara keduanya berjalan dari waktu kewaktu dengan diwarnai oleh tingkat dinamika yang bervariasi. Di antara factor terpenting yang menentukan arus perubahan itu adalah sejauh mana gerakan pembaruan dapat terimplementasi secara riil dalam kehidupan.
Sebab berbagai corak epistemology yang beragam maka melahirkan aneka model pembaruan yang biasanya ditipologikan dengan reformisme, modernism, puritanisme, fundamentalisme, sekuralismedan neo modernism. Di antara tokoh modernis terpenting abad ke-19 adalah Muhammad Abduh (1849-1905). Dengan latar belakang kehidupan social, pendidikan dan keagamaan maka abduh muncul sebagai jawaban atas kegelisahan umat islam yang terkungkung dalam keadaan mundur.
B. Islam dan Kemanusiaan
Pada bagian ini kita membicarakan tiga hal yaitu kedudukan manusia diantara makhluk Allah, tugas manusia dan sebagi khalifah.
Jalaludin Rahmat (lihat Budhy munawar-Rahmn (ed), 1994 : 75-80) menulis sebuah artikel dengan judul “konsep-konsep antropologis”. Dalam tulisannya, ia mengatakan bahwa dalam Al-Qur’an terdapat tiga istilah kunci yang mengacu pada makna pokok manusia : Basyar, Insan, dan Al-Nas.
1. Basyar yang dalam Al-Qur’an di sebut sebanyak 27 kali, memberikan refrensi kepada manusia sebagai makhluk biologis. Adapun acuan pendapat ini adalah surat Ali Imran (3) : 47 sebagai makhluk biologis, manusia dapat dilihat dari perkataan maryam kepada Allah : Tuhanku, bagaimana mungkin aku mempunyai anak, padahal aku tidak di sentuh basyar” (Al-Imran (3) : 47). Nabi Muhammad Saw di suruh Allah menegaskan bahwa secara biologis seperti manusia lain. Konsep basyar selalu di hubungkan dengan sifat-sifat biologis manusia, makan, minum, seks, dan berjalan di pasar. Dari segi inilah kita dapat percaya kepada Abd Al-Jalil, Isa yang cenderung berpendapat bahwa Nabi Muhammad Saw melakukan Ijtihad sebagaimana sahabat melakukannya.
2. Insan yang dalam Al-Qur’an di sebut sebanyak 65 kali, dapat dikelompokan kedalam tiga katagori : pertama, Insan dihubungkan dengan konsep manusia sebagai Khalifah atau pemikul amanah. Kedua : Insan dihubungkan dengan predisposes negative manusia. Ketiga : Insan dihubungkan dengan proses penciptaan manusia. Semua konteks Insan menunjuk pada sifat-sifat psikologis atau spiritual.
3. Al-Nas yang mengacu kepada manusia sebagi makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, Al-Nas dapat kita lihat dalam beberapa segi.
Sebagi makhluk yang diciptakan Allah SWT. Dengan mengacu kepada Al-Qur’an, kita dapat mengatakan bahwa tugas manusia adalah beribadah kepada Tuhan dalam arti umum, bukan hanya ibadah dalam arti khusus atau mahdlah. Dalam surat Al-Dzariyat (5) ayat 56. Allah berfirman,”Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahku”.
Adapun tugas ibadah dalam pengertian khusus adalah menyembah Allah dengan cara-cara yang secara teknis telah di atur dalam sunnah. Dalam islam, tidak ada pemisahan antara ibadah yang bersifat Vertikal dan ibadah yang bersifat Horizonatal, sebagai kegiatan ibadah yang bersifat Vertikal, salat, misalnya dilakukan untuk mengingat (dzikir) Allah.
Pesan dasar inilah yang menuntun hidup kita tidak terjebak pada penghayatan agama yang bersifat formalitas. Hendaklah kita berusaha memahami agama secara subtantif sehingga tidak mengabaikan pesan-pesan moral agama.
1. Manusia Sebagai Khalifah
Tidak ada konsep kitab suci tentang manusia yang lebih terkenal kecuali ajaran tentang kekhalifahan manusia. Dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah (2) ayat 30, disebutkan bahwa manusia adalah khalifah (wakil pengganti atau duat ) Tuhan di bumi.
Setelah menjelaskan drama kosmis sedang merujukan pada 3 peristiwa reaksi para malaikat atas kehendak Tuhan untuk menjadikan manusia sebagai khalifah, peristiwa pengusiran Nabi Adam As, dan Hawa karena keduanya tidak taat atas perintah Tuhan untuk menjahui sebuah pohon dan dimaafkanya Adam dan Hawa yang telah terusir dari surga-Nurcholish Madjid (1998 : 17-8), dalam mimbar studi jurnal ilmu agama islam Nomor I/XXII/1998, melakukan interpretasi sebagai berikut.
C. Moralitas Islam; Pedoman Moral Standar dalam Meniti Kehidupan
Moralitas lazim didefinisikan sebagai sekumpulaan norma yang dijadikan acuan manusia dalam meniti kehidupan di dunia. Karenanya secara teoritis, studi terhadapnya berkisar pada pertanyaan bagaimanakah kehidupan yang baik itu dan bagaimana seharusnya manusia bertingkah laku dan bertindak.
Merujuk pada G. E. Moore, Muslehuddin mengatakan bahwa teori-teori klasik moralitas hanya mengabdi pada tipe-tipe logika tertentu untuk menjustifikasi teorinya dan ketika dihadapkan pada tipe penalaran yang lain akan “mati kutu”. Di sisi yang lain teori-teori klasik hanya memberikan semacam nasehat, petuah bukan mendefinisikan konsep-konsep moral seperti kebenaran, kejahatan dan semisalnya (Muslehuddin, Morality, hlm. 18). Hedonisme misalnya hanya memberi nasehat bahwa kehidupan yang baik adalah kehidupan yang terdiri dari kenyamanan dan kenikmatan, dan konsekuensinya manusia harus mengusahakannya dalam bentuk tindakan nyata. Tidak pernah ada usaha untuk mendefinisikan kata “baik”, “benar”, seandainya ada pendefinisian hanya bersifat deskriptif belaka.
Berdasar permasalahan di atas perlu adanya pendekatan yang objektif terhadap moralitas, yaitu keputusan moral yang tidak hanya didasarkan pada pikiran, emosi, hasrat dan kepentingan manusia yang bersifat labil dan tidak pasti. Pemikiran manusia sangat sulit (kalau malah tidak mungkin) bisa mencapai derajat obyektif. Hal tersebut karena pikiran manusia selalu dipengaruhi oleh sikap dan emosi personal, pada level pertama, afiliasi kelas (kelas yang beroposisi terhadap kelas lain biasanya sekaligus beroposisi terhadap sistem nilainya) dan internalisasi budaya sekitar pada level kedua dan ketiga. Manusia tidak bisa lepas dari ketiga level tersebut, seandainya ia bebas dari level pertama, ia tak akan bebas dari level kedua atau ketiga (Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibn Khaldun and Islamic Thought-Style; a Social Perspective, 1981: viii).
Karenanya diperlukan adanya instrumen parameter moralitas yang independen dan bersifat eksternal terhadap manunsia, parameter tersebut adalah agama. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa ada dunia lain, norma lain selain yang bisa kita indera, yang bersifat transenden dan berisi nilai-nilai moralitas.
Dalam konteks agama Islam kebenaran yang objektif hanya merupakan pengetahuan Tuhan. Karenanya untuk bisa meniti kehidupan dengan benar, menjadikan hukum Tuhan sebagai pedoman adalah keharusan. Dalam al-Qur’an, al-Baqarah, (2): 177, Allah memberikan rincian-rincian kebaikan. Yang perlu digarisbawahi adalah rincian pertama, yaitu keimanan kepada keesaan Tuhan (unity of God / tawhid), konsep sentral dalam Islam. Konsep ini mempunyai implikasi-implikasi sosial-etis, diantaranya adalah bahwa Konsep ini pada saat yang sama juga mengekpresikan akan kesatuan dan kebersamaan manusia (unity of man). Karenanya pada ayat yang lain, al-Hujurat (49): 10, Allah menegaskan bahwa semua mu’min adalah bersaudara.
Pada sisi yang lain, Allah sama sekali tidak menerima keimanan seseorang tanpa dibuktikan oleh amal nyata, sebaliknya amal nyata tanpa dilandasi keimanan juga akan sia-sia. Karenanya sering kali dalam al-Qur’an perintah keimanan dipersandingkan dengan berbuat kebajikan, “berimanlah dan berbuatlah kebajikan”, berbuat kebajikan terhadap sesama baik dalam bentuk materi atau immateri. Statemen seperti ini menurut Izatbegovic diulang-ulang dalam al-Qur’an lebih dari 50 kali (‘Alija ‘Ali Izetbegovic, Membangun Jalan Tengah, terj. Nurul Agustina dan Farid Gaban, 1992: 141).
Hal urgen lain berkaitan dengan moralitas Islam adalah bahwa moralitas ini lebih didasarkan pada aspek “kewajiban”. Memang Islam mengakui bahwa kewajiban mempunyai korespondensi dengan hak, akan tetapi dalam wacana moralitas aksentuasinya akan berlainan. Dalam hal ini Muslehuddin pernah mengatakan: “Rights have corresponding duties but in Islamic law duties are more than rights” (Muslehuddin, Morality, hlm. 41). Penekanan hanya pada “hak” pada gilirannya juga hanya menekankan pada kekuatan dan otoritas seseorang terhadap yang lain, seringkali hal ini mengancam perdamaian yang telah terajut dalam masyarakat. Sebaliknya penekanan pada “kewajiban” (the sense of duty), akan mengingatkan kita pada tanggung jawab terhadap sesama. Perasaan seperti inilah (perasaan akan kewajiban kepada Tuhan dan sesama) yang akan mengontrol tingkah laku manusia dan menjauhkannya dari perbuatan jahat
Cukup beralasan jika Izetbegovic mengatakan bahwa “kewajiban” merupakan tema sentral moralitas, sedang “hak”, “kepentingan” adalah tema sentral politik. Kewajiban dan kepentingan adalah dua daya penggerak aktivitas manusia, akan tetapi kewjiban selalu lebih tinggi dari pada kepentingan, dan kepentingan tidak mempunyai kaitan dengan moralitas. Seseorang yang mempertaruhkan nyawanya dengan memasuki rumah terbakar untuk menyelematkan anak tetangga, akan tetapi hanya keluar dengan membopong mayat si-anak, agaknya sulit untuk menilainya sebagai tindakan moral bila dilihat dari sudut motif kepentingan (Izetbegovic, Membangun, hlm., 125).
Merujuk kepada Aristoteles, suatu tindakan hanya akan bernilai moral bila dipenuhi beberapa persyaratan, pertama; pelaku mengetahui dan sadar akan tindakannya, kedua; tindakannya merupakan pilihannya secara otonom, ketiga; tindakan tersebut merupakan ekspresi dari karakter yang sudah mapan dan stabil. Dengan kata lain tindakan harus dilakukan secara bebas (voluntary), merupakan pilihan dan merupakan ekspresi dari cita-cita tertentu dari seseorang yang secara personality sudah masak
Kebebasan adalah pra-kondisi dari moralitas, adanya moralitas hanya masuk akal karena manunsia mempunyai kebebasan. Binatang tidak mengenal faham kewajiban dan tidak dapat dianggap bertanggung jawab, karena tidak memiliki kebebasan, semuanya ditentukan oleh dorongan instingnya (Franz Magnis Suseno, Etika Dasar; Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral , 1987: 21). Agar tindakan bernilai moral, tindakan juga harus didasarkan pada karakter yang matang dan stabil, akan tetapi persoalannya tak seorangpun dapat mengklaim mempunyai stabilitas karakter yang absolut, kecuali ia telah mendapatkan pendidikan. Pendidikan tersebut hanya dapat didapatkan secara sempurna dari Islam, dengan panduan petunjuk al-Qur’an dan contoh ideal kehidupan Nabi Saw., karenanya tindakan moral hanya akan bermakna bila disandarkan pada wahyu ketuhanan.
Prasarat yang lain adalah niat (motive) suatu tindakan. Tidak sebagaimana Bentham yang mengatakan bahwa kebaikan suatu tindakan diukur berdasar konsekuensinya (akibat) yang seringkali sulit untuk dikontrol, Islam menjadikan niat sebagai suatu yang subtantif dalam tindakan, karena ia merupakan sumber inspirasi suatu tindakan (Izetbegovic, Membangun, hlm. 128). Dalam konsep agama dalam setiap diri manusia ada suatu pusat batin. Setiap tindakan diambil, dipilah dan dikonfirmasi secara batin. Tanpa konsultasi dengan dirinya sendiri (batin), tindakan manusia tak lebih dari sebuah aksi mekanis saja. Niat membantu menentukan ganjaran dan balasan suatu tindakan, hal ini sesuai dengan ajaran Nabi saw. Bahwa suatu tindakan hanya bisa dinilai dari motivasinya yang merupakan inspirator bagi tindakan tersebut “انما الاعمال بالنيات” .
Dari uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keberimanan dan perasaan akan kewajiban adalah komponen yang signifikan dalam moralitas Islam. Tuntutan untuk memenuhi kewajiban tanpa mempertimbangkan kesulitan dan resiko yang yang mungkin dihadapi hanya memperoleh pembenaran jika ada unsur keimanan, keimanan akan Tuhan, akan adanya alam dan kehidupan lain selain alam dan kehidupan di dunia ini.
Dengan demikian, maka kekhalifahan manusia di bumi adalah bahwa manusia adalah “duta” Tuhan di bumi dan akan di minta pertanggung jawaban atas tugasnya “duta” tersebut. pada dasarnya, doktrin itu merupakan pemicu agar manusia banyak melakukan kebaikan dan sedikit-kalau bisa tidak sama sekali-melakukan kejahatan.
D. Islam, Keluarga dan Masyarakat
Islam adalah agama Allah yang diwahyukan kepada Rasul-rasulNnya guna diarahkan kepada manusia. Ia dibawa secara estafet (sambung-menyambung) dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Islam adalah rahmat, hidayah dan petunjuk bagi manusia yang berkelana dalam kehidupan duniawi, merupakan adanya sifat rahman dan rahim dari Allah.
Adapun Islam dalam turun sebelum risalah Nabi Muhammad s.a.w. sifatnya lokal atau nasional. Ia hanya untuk kepentingan bangsa dan daerah tertentu, dan terbatas pula periodenya.
1. Keluarga dan Masyarakat.
Keluarga berasal dari penyatuan antara pikiran-pikiran yang berbeda watak, sifat, dan perilaku yang menjadi satu persepsi dan tujuan yang sama serta dimulai dari hasrat dan keinginan individu-individu tersebut. Hasrat adalah fitrah yang dibawa sejak lahir.
Keberadaan keluarga menjadi kelompok utama “primary group”, dengan cara spontan dalam keluarga akan terjadi proses “sosialisasi” yaitu proses pengintegrasian individu kedalam kelompok sebagai anggota kelompok yang memberikan landasan sebagai makhluk sosial.
Dilihat dari segi ini maka terbentuknya masyarakat adalah komunitas dari berbagai keluarga. Secara sadar atau tidak sadar manusia hidup dalam berbagai kesatuan atau organisasi dan ia pun menjadi peserta dalam usaha-usaha kesatuan itu. Kesatuan itu diperoleh karena kelahirannya, maka terjadilah pergaulan manusia yang satu dengan yang lainnya.(Drs. Suparto:1986).
Adapun masyarakat menurut sebagian para ahli dapat dibedakan sebagai berikut:
a. Masyarakat muttaqun yaitu, masyarakat yang takut dan cinta serta hormat kepada Allah.
b. Masyarakat mukmin yaitu, masyarakat yang beriman kepada Allah yang dinyatakan dengan pengikraran secara lisan diwujudkan dalam amal perbuatan.
c. Masyarakat muslim yaitu, masyarakat yang pasrah kepada ketentuan Allah dan penuh keikhlasan dan kesadaran.
d. Masyarakat muhsin yaitu, masyarakat yang selalu berbuat baik dan beribadah kepada Allah.
e. Masyarakat kafir yaitu, masyarakat yang mengingkari dan menolak kebenaran Allah.
f. Masyrakat musyrik yaitu, masyarakat yang menyekutukan Allah dan dianggap ada Tuhan selain Allah. Msyarakat munafik yaitu, masyrakat yang bermuka dua dengan tanda-tanda suka berdusta, tidak menepati janji dan suka berkhianat.
g. Masyarakat fasik yaitu, yang suka berbuat kerusakan dengan cara melanggar batas-batas ketentuan Allah.
h. Masyarakat dzolim yaitu, masyarakat yang suka menganiayaya termasuk terhadap dirinya.
i. Masyarakat mutraf yaitu, masyarakat yang tidak mensyukuri ni’mat dan anugerah dari Allah.
Dari kesepuluh tipe masyarakat itu, yang termasuk masyarkat muslim yang sebenarnya adalah masyarakat tipe pertama, kedua, ketiga dan keempat.
E. Politik Ekonomi Islam
Secara terminologis politik ekonomi adalah tujuan yang akan dicapai oleh kaedah-kaedah hukum yang dipakai untuk berlakunya suatu mekanisme pengaturan kehidupan masyarakat. Politik ekonomi Islam adalah suatu jaminan untuk tercapainya pemenuhan semua kebutuhan hidup pokok (basic needs) tiap orang secara keseluruhan tanpa mengabaikan kemungkinan seseorang dapat memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar potensi yang dimilikinya sebagai seorang individu yang hidup ditengah komunitas manusia. Dalam hal ini politik ekonomi Islam tidak hanya berupaya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat saja dalam suatu negara dengan mengabaikan kemungkinan terjamin tidaknya kebutuhan hidup tiap-tiap individu. Politik ekonomi Islam juga tidak hanya bertujuan untuk mengupayakan kemakmuran individu semata tanpa kendali tanpa memperhatikan terjamin tidaknya kehidupan tiap individu lainnya.
Pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat harus menyentuh semua lapisan masyarakat baik kebutuhan primer, sekunder maupun tersier sesuai dengan kemampuan tiap individu. Dalam hal ini Islam mengarahkan bagaimana barang-barang ekonomi tersebut bisa diperoleh secara cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Untuk itu menunjukkan pentingnya seseorang untuk dapat bekerja mencari rezeki. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist yang menjelaskan mengenai pentingnya seseorang harus bekerja. Dalam suatu peristiwa Rosulullah SAW menyalami tangahn Sa’ad bin Mua’adz yang dirasakannya kasar kemudian ditanya lalu Sa’ad menjawab bahwa dia selalu bekerja memenuhi kebutuhannya dengan mengayunkan kapak. Kemudian rosulullah menciumi tangan Sa’ad seraya menyatakan bahwa “Iniliah dua telapak tangan yang disukai oleh Allah SWT” dan Rosulullah juga bersabda “Tidaklah seseorang makan sesuap saja yang lebih baik, selain ia makan dari hasil kerja tangannya sendiri”.
Sistem politik ekonomi Islam merupakan seperangkat instrumen agar dapat terwujudkan kehidupan masyarakat yang harmonis. Namun cita-cita ini sangat sulit untuk diwujudkan mengingat besarnya kekuatan raksasa dari ideologi sekuler yang menghambat, menghalangi dan ingin menghancurkan sistem ekonomi Islam melalui berbagai strategi seperti pendidikan, kebudayaan, ekonomi, kependudukan, politik dsb. Beberapa strategi yang diterapkan imperialis modern dalam menghalangi berkembangnya sistem kehidupan Islam antara lain:
Perang Pemikiran (Ghozwul Fikri). Melalui berbagai media informasi yang canggih dan menggunakan jaringan internasional yang rapi serta dukungan pemilik modal mereka melancarkan ide-ide yang bertentangan dengan syariat Islam seperti demokrasi yang menempatkan kebenaran pada suara mayoritas bukan pada nilai normatif yang baku, ide hak asasi manusia (HAM) yang menempatkan nilai-nilai kemanusiaan yang relatif kebenarannya di atas syariah Islam, emansipasi wanita yang melihat peranan wanita secara parsial tanpa mempertimbangkan keselarasan tangggung jawab persoalan publik dan domestik antara peranan pria dan wanita dalam tatanan sosial, pluralisme yang melihat kebenaran ideologi sebagai sesuatu yang relatif dengan mengabaikan informasi dari wahyu, dsb.
Budaya non-Islami. Dengan menggunakan berbagai macam bentuk pertunjukan dan hiburan serta ditunjang dengan jaringan informasi global menyebarkan berbagai budaya yang tidak Islami seperti permisivisme, free sex, alkoholisme, sadisme, hedonistik, konsumtif dsb. Sinergi antara budaya sekuler dan kekuatan kapitalisme menjadikan pertunjukan-pertunjukan seni dan budaya menjadi suatu bagian yang masuk dalam ruang kehidupan masyarakat melalui tayangan dalam televisi dan media massa. Budaya pragmatis dan serba instant melahirkan generasi yang hanya ingin menikmati hidup serba enak tanpa melalui kerja keras serta tidak mempunyai sensitiftas terhadap persoalan sosial jangka panjang. Melalui slogan food (makanan), fun (seni entertainment) dan fashion (pakaian) menggeser nilai-nilai normatif Islam ke dalam sudut-sudut kehidupan masyarakat. Masyarakat melalui slogan-slogan tersebut digiring menjadi masyarakat yang serba konsumtif dan cenderung egois serta individualis.
Kebijakan ekonomi yang menimbulkan ketergantungan. Strategi pembangunan di negara-negara muslim diarahkan untuk dapat tunduk kepada kepentingan negara-negara besar seperti orientasi pembangunan pada pertumbuhan, hutang luar negeri, sistem moneter internasional, dsb.
F. Islam dan Agama Lain
Di sepanjang sejarah Islam, pemimpin Muslim, ulama, dan Muslim biasa memiliki berbagai sikap terhadap agama lain. Sikap ini berubah mengikut masa, tempat dan keadaan.
Hukum Islam membahagikan bukan-Muslim kepada beberapa kategori, bergantung pada hubungan mereka dengan negeri Islam. Kristian dan Yahudi yang hidup di bawah pemerintahan Islam dikenali sebagai zimmi ("orang yang dilindungi"). Menurut aturan ini, keselamatan peribadi dan harta zimmi dijamin dengan syarat mereka membayar ufti (jizyah) kepada kerajaan Islam. Status ini turut diberikan kepada orang Majusi dan kadangkala orang Hindu, tetapi bukan kepada ateis atau agnostik. Mereka yang hidup di tanah bukan-Muslim (dar al-harb) dikenali sebagai harbi, dan sebaik memasuki pakatan dengan negeri Muslim dikenali sebagai ahl al-ahd. Mereka yang menerima jaminan keselamatan semasa tinggal buat sementara waktu di tanah Muslim dikenali sebagai ahl al-amān. Kedudukan mereka adalah sama seperti zimmi kecuali mereka tidak perlu membayar jizyah. Orang yang bersetuju gencatan senjata (ahl al-hudna) adalah yang tinggal di luar wilayah Muslim dan bersetuju untuk menahan diri dari menyerang Muslim. Murtad dari Islam ditengah, dan boleh dihukum bunuh.
BAB III
KESIMPULAN
1. Pemikiran Islam tidaklah statis. Setiap zaman islam mempunyai pembaharuan untuk memerdekakan kebenaran.
2. Tugas manusia dibumi ini adalah untuk melakukan ibadah kepadah Allah SWT dan menjaga bumi ini dari pengrusakan (Khalifah Fil Ardl)
3. Doktrin-doktrin islam dibuat berdasarkan sumber-sumber hukum islam denga salah satu tujuan yaitu untuk membenahi moral umat islam maupun umat disunia.
4. Keluarga adalah penentu dari kebaikan masyarakat itu sendiri. Apabila masyarakat mem[punyai kriteria iman, ihsan da islam secara baik dan mendalam maka masyarakatpun akan kental dengan kebaikannya.
5. Politik ekonomi islam adalah cara politik untuk menggunakan hukum-hukum syari’ah untuk kemaslaatan umat.
6. Islam dan agama lai sudah digariskan untuk bisa hidup berdampingan. Apila orang non-muslim mampu berbaik hati, maka muslim akan membalas kebaikan pula. Begitu pula sebaliknya.
DAFTAR PUSTAKA
http//ms.wikipedia.org/wiki/ islam¬_dan_agama_lain diakses pada 28/29/2013 jam 10.00
Hakim, Atang Abd.2000.Metodologi studi Islam.Bandung:PT. Remaja Rosdakarya
KARAKTERISTIK AJARAN ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Islam adalah agama yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Sebagaimana yang telah diketahui bahwasanya agama islam merupakan agama yang Rahmatal Lil’alamiin. Kitab suci Al-Qur’an yang diberikan kepada nabi Muhamad SAW seolah-olah menjadi kado terindah umat muslim bagaimana tidak, karena berkat tuntunan al-Qur’an umatmuslim mampu hidup didunia denga damai tetapi pastio mendapatkan yang namanya kebahagiaan lahir dan batin.lebih menakjubkan lagi, al-Qur’an juga menjadi rujukan ilmu pengetaahuan dari berbagai lapisan, baik muslim maupun non muslim. karakteristiknya memang benar-benar mencakup semua aspek-aspek kehidupan.
Sangkut paut islam pada zaman sekarang ini sudah nampak sekali. Ada lingkup pembaharuaan telah ada revolusioner islam yang mengatakan Islam Yes! Partai Islam No! Sedang dalam menentukan moral, islam juga tidak mau ketinggalan, contoh realnya adalah Pancasila yang menjadi Ideologi bangsa Indonesia. Pada bidang toleransi, islam mengedepankan anti diskriminasi ataupun kekerasan. Kecuali dengan sebab-sebab tertentu sehingga muslim diizinkan untuk melakukan suatu pembelaan fisik.
Dari uraian singkat diatas membuat penyusun terketuk untuk membahas Karakteristik Ajaran Islam pada pembahasan makalah ini. Penyusun akan berusaha untuk menjajikan pembahasan tentang karakteristik ajaran islam sejelas munkin.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Wacana Pembaharuan Islam?
2. Apa Kedudukan dan Tugas Manusia?
3. Apa Pedoman Moral Standar dalam Meniti Kehidupan?
4. Apa Hubungan Islam dengan Keluarga dan Masyarakat?
5. Bagaimana Sistem Politik Ekonomi Islam?
6. Bagaimana Sikap Agama Islam terhadap Agama Lain?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini secara umum adalah untuk menambah wawasan secara gamblang pada masyarakat mengenai karakteristik ajaran Islam. Sedangkan secara khusus, tujuan pembuatan makalah ini aalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana wacana pembaharuan islam
2. Untuk memahami apa kedudukan dan tugas manusia
3. Untuk memahami apa pedoman moral standar dalam meniti kehidupan
4. Untuk memahami apa hubungan islam dengan keluarga dan masyarakat
5. Untuk memahami bagaimana sistem politik ekonomi islam
6. Untuk memahami bagaimana sikap agama islam terhadap agama lain
BAB II
PEMBAHASAN
A. Wacana Pembaharuan Islam
Pemikiran pembaharuan di dunia islam umumnya berpangkal pada asumsi bahwa islam sebagai realitas social pada lingkungan tertentu tersebut sudah tidak relevan lagi dengan dinamika maupun tuntunan zaman. Pola pembaharuan itu mengambil bentuk yang berbeda antara satu tokoh dengan tokoh lainnya. Karena corak epistemology yang beragam maka melahirkan aneka model pembaruan yang biasanya ditipologikan dengan reformisme, modernisme, puritanisme, fundamentalisme, sekuralisme dan neo- modernism.
Perkembangan modernisme dalam dunia islam menemukan momentumnya pada abad ke 19 meskipun dasar – dasarnya sudah muncul beberapa abad sebelumnya. Momentum yang dimaksud adalah adanya gerakan politik dan intelektual yang mulai menjamah keberbagai kawasan negeri-negeri islam. Tema gerakan – gerakan itu umunya berkisar pada dua hal, protes melawan kemerosotan internal dan serangan eksternal. Kebangkitan itu bukan berarti bahwa islam dalam kondisi pasif untuk menghadapi perubahan demi perubahan yang terjadi. Pada kenyataannya suatu peradaban tidak lain adalah hasil akumulasi perjalanan pergumulan pemeluk agama yang berdimensi historis dengan ajaran wahyu yang bernilai normative.
Proses dialektis antara keduanya berjalan dari waktu kewaktu dengan diwarnai oleh tingkat dinamika yang bervariasi. Di antara factor terpenting yang menentukan arus perubahan itu adalah sejauh mana gerakan pembaruan dapat terimplementasi secara riil dalam kehidupan.
Sebab berbagai corak epistemology yang beragam maka melahirkan aneka model pembaruan yang biasanya ditipologikan dengan reformisme, modernism, puritanisme, fundamentalisme, sekuralismedan neo modernism. Di antara tokoh modernis terpenting abad ke-19 adalah Muhammad Abduh (1849-1905). Dengan latar belakang kehidupan social, pendidikan dan keagamaan maka abduh muncul sebagai jawaban atas kegelisahan umat islam yang terkungkung dalam keadaan mundur.
B. Islam dan Kemanusiaan
Pada bagian ini kita membicarakan tiga hal yaitu kedudukan manusia diantara makhluk Allah, tugas manusia dan sebagi khalifah.
Jalaludin Rahmat (lihat Budhy munawar-Rahmn (ed), 1994 : 75-80) menulis sebuah artikel dengan judul “konsep-konsep antropologis”. Dalam tulisannya, ia mengatakan bahwa dalam Al-Qur’an terdapat tiga istilah kunci yang mengacu pada makna pokok manusia : Basyar, Insan, dan Al-Nas.
1. Basyar yang dalam Al-Qur’an di sebut sebanyak 27 kali, memberikan refrensi kepada manusia sebagai makhluk biologis. Adapun acuan pendapat ini adalah surat Ali Imran (3) : 47 sebagai makhluk biologis, manusia dapat dilihat dari perkataan maryam kepada Allah : Tuhanku, bagaimana mungkin aku mempunyai anak, padahal aku tidak di sentuh basyar” (Al-Imran (3) : 47). Nabi Muhammad Saw di suruh Allah menegaskan bahwa secara biologis seperti manusia lain. Konsep basyar selalu di hubungkan dengan sifat-sifat biologis manusia, makan, minum, seks, dan berjalan di pasar. Dari segi inilah kita dapat percaya kepada Abd Al-Jalil, Isa yang cenderung berpendapat bahwa Nabi Muhammad Saw melakukan Ijtihad sebagaimana sahabat melakukannya.
2. Insan yang dalam Al-Qur’an di sebut sebanyak 65 kali, dapat dikelompokan kedalam tiga katagori : pertama, Insan dihubungkan dengan konsep manusia sebagai Khalifah atau pemikul amanah. Kedua : Insan dihubungkan dengan predisposes negative manusia. Ketiga : Insan dihubungkan dengan proses penciptaan manusia. Semua konteks Insan menunjuk pada sifat-sifat psikologis atau spiritual.
3. Al-Nas yang mengacu kepada manusia sebagi makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, Al-Nas dapat kita lihat dalam beberapa segi.
Sebagi makhluk yang diciptakan Allah SWT. Dengan mengacu kepada Al-Qur’an, kita dapat mengatakan bahwa tugas manusia adalah beribadah kepada Tuhan dalam arti umum, bukan hanya ibadah dalam arti khusus atau mahdlah. Dalam surat Al-Dzariyat (5) ayat 56. Allah berfirman,”Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahku”.
Adapun tugas ibadah dalam pengertian khusus adalah menyembah Allah dengan cara-cara yang secara teknis telah di atur dalam sunnah. Dalam islam, tidak ada pemisahan antara ibadah yang bersifat Vertikal dan ibadah yang bersifat Horizonatal, sebagai kegiatan ibadah yang bersifat Vertikal, salat, misalnya dilakukan untuk mengingat (dzikir) Allah.
Pesan dasar inilah yang menuntun hidup kita tidak terjebak pada penghayatan agama yang bersifat formalitas. Hendaklah kita berusaha memahami agama secara subtantif sehingga tidak mengabaikan pesan-pesan moral agama.
1. Manusia Sebagai Khalifah
Tidak ada konsep kitab suci tentang manusia yang lebih terkenal kecuali ajaran tentang kekhalifahan manusia. Dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah (2) ayat 30, disebutkan bahwa manusia adalah khalifah (wakil pengganti atau duat ) Tuhan di bumi.
Setelah menjelaskan drama kosmis sedang merujukan pada 3 peristiwa reaksi para malaikat atas kehendak Tuhan untuk menjadikan manusia sebagai khalifah, peristiwa pengusiran Nabi Adam As, dan Hawa karena keduanya tidak taat atas perintah Tuhan untuk menjahui sebuah pohon dan dimaafkanya Adam dan Hawa yang telah terusir dari surga-Nurcholish Madjid (1998 : 17-8), dalam mimbar studi jurnal ilmu agama islam Nomor I/XXII/1998, melakukan interpretasi sebagai berikut.
C. Moralitas Islam; Pedoman Moral Standar dalam Meniti Kehidupan
Moralitas lazim didefinisikan sebagai sekumpulaan norma yang dijadikan acuan manusia dalam meniti kehidupan di dunia. Karenanya secara teoritis, studi terhadapnya berkisar pada pertanyaan bagaimanakah kehidupan yang baik itu dan bagaimana seharusnya manusia bertingkah laku dan bertindak.
Merujuk pada G. E. Moore, Muslehuddin mengatakan bahwa teori-teori klasik moralitas hanya mengabdi pada tipe-tipe logika tertentu untuk menjustifikasi teorinya dan ketika dihadapkan pada tipe penalaran yang lain akan “mati kutu”. Di sisi yang lain teori-teori klasik hanya memberikan semacam nasehat, petuah bukan mendefinisikan konsep-konsep moral seperti kebenaran, kejahatan dan semisalnya (Muslehuddin, Morality, hlm. 18). Hedonisme misalnya hanya memberi nasehat bahwa kehidupan yang baik adalah kehidupan yang terdiri dari kenyamanan dan kenikmatan, dan konsekuensinya manusia harus mengusahakannya dalam bentuk tindakan nyata. Tidak pernah ada usaha untuk mendefinisikan kata “baik”, “benar”, seandainya ada pendefinisian hanya bersifat deskriptif belaka.
Berdasar permasalahan di atas perlu adanya pendekatan yang objektif terhadap moralitas, yaitu keputusan moral yang tidak hanya didasarkan pada pikiran, emosi, hasrat dan kepentingan manusia yang bersifat labil dan tidak pasti. Pemikiran manusia sangat sulit (kalau malah tidak mungkin) bisa mencapai derajat obyektif. Hal tersebut karena pikiran manusia selalu dipengaruhi oleh sikap dan emosi personal, pada level pertama, afiliasi kelas (kelas yang beroposisi terhadap kelas lain biasanya sekaligus beroposisi terhadap sistem nilainya) dan internalisasi budaya sekitar pada level kedua dan ketiga. Manusia tidak bisa lepas dari ketiga level tersebut, seandainya ia bebas dari level pertama, ia tak akan bebas dari level kedua atau ketiga (Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibn Khaldun and Islamic Thought-Style; a Social Perspective, 1981: viii).
Karenanya diperlukan adanya instrumen parameter moralitas yang independen dan bersifat eksternal terhadap manunsia, parameter tersebut adalah agama. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa ada dunia lain, norma lain selain yang bisa kita indera, yang bersifat transenden dan berisi nilai-nilai moralitas.
Dalam konteks agama Islam kebenaran yang objektif hanya merupakan pengetahuan Tuhan. Karenanya untuk bisa meniti kehidupan dengan benar, menjadikan hukum Tuhan sebagai pedoman adalah keharusan. Dalam al-Qur’an, al-Baqarah, (2): 177, Allah memberikan rincian-rincian kebaikan. Yang perlu digarisbawahi adalah rincian pertama, yaitu keimanan kepada keesaan Tuhan (unity of God / tawhid), konsep sentral dalam Islam. Konsep ini mempunyai implikasi-implikasi sosial-etis, diantaranya adalah bahwa Konsep ini pada saat yang sama juga mengekpresikan akan kesatuan dan kebersamaan manusia (unity of man). Karenanya pada ayat yang lain, al-Hujurat (49): 10, Allah menegaskan bahwa semua mu’min adalah bersaudara.
Pada sisi yang lain, Allah sama sekali tidak menerima keimanan seseorang tanpa dibuktikan oleh amal nyata, sebaliknya amal nyata tanpa dilandasi keimanan juga akan sia-sia. Karenanya sering kali dalam al-Qur’an perintah keimanan dipersandingkan dengan berbuat kebajikan, “berimanlah dan berbuatlah kebajikan”, berbuat kebajikan terhadap sesama baik dalam bentuk materi atau immateri. Statemen seperti ini menurut Izatbegovic diulang-ulang dalam al-Qur’an lebih dari 50 kali (‘Alija ‘Ali Izetbegovic, Membangun Jalan Tengah, terj. Nurul Agustina dan Farid Gaban, 1992: 141).
Hal urgen lain berkaitan dengan moralitas Islam adalah bahwa moralitas ini lebih didasarkan pada aspek “kewajiban”. Memang Islam mengakui bahwa kewajiban mempunyai korespondensi dengan hak, akan tetapi dalam wacana moralitas aksentuasinya akan berlainan. Dalam hal ini Muslehuddin pernah mengatakan: “Rights have corresponding duties but in Islamic law duties are more than rights” (Muslehuddin, Morality, hlm. 41). Penekanan hanya pada “hak” pada gilirannya juga hanya menekankan pada kekuatan dan otoritas seseorang terhadap yang lain, seringkali hal ini mengancam perdamaian yang telah terajut dalam masyarakat. Sebaliknya penekanan pada “kewajiban” (the sense of duty), akan mengingatkan kita pada tanggung jawab terhadap sesama. Perasaan seperti inilah (perasaan akan kewajiban kepada Tuhan dan sesama) yang akan mengontrol tingkah laku manusia dan menjauhkannya dari perbuatan jahat
Cukup beralasan jika Izetbegovic mengatakan bahwa “kewajiban” merupakan tema sentral moralitas, sedang “hak”, “kepentingan” adalah tema sentral politik. Kewajiban dan kepentingan adalah dua daya penggerak aktivitas manusia, akan tetapi kewjiban selalu lebih tinggi dari pada kepentingan, dan kepentingan tidak mempunyai kaitan dengan moralitas. Seseorang yang mempertaruhkan nyawanya dengan memasuki rumah terbakar untuk menyelematkan anak tetangga, akan tetapi hanya keluar dengan membopong mayat si-anak, agaknya sulit untuk menilainya sebagai tindakan moral bila dilihat dari sudut motif kepentingan (Izetbegovic, Membangun, hlm., 125).
Merujuk kepada Aristoteles, suatu tindakan hanya akan bernilai moral bila dipenuhi beberapa persyaratan, pertama; pelaku mengetahui dan sadar akan tindakannya, kedua; tindakannya merupakan pilihannya secara otonom, ketiga; tindakan tersebut merupakan ekspresi dari karakter yang sudah mapan dan stabil. Dengan kata lain tindakan harus dilakukan secara bebas (voluntary), merupakan pilihan dan merupakan ekspresi dari cita-cita tertentu dari seseorang yang secara personality sudah masak
Kebebasan adalah pra-kondisi dari moralitas, adanya moralitas hanya masuk akal karena manunsia mempunyai kebebasan. Binatang tidak mengenal faham kewajiban dan tidak dapat dianggap bertanggung jawab, karena tidak memiliki kebebasan, semuanya ditentukan oleh dorongan instingnya (Franz Magnis Suseno, Etika Dasar; Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral , 1987: 21). Agar tindakan bernilai moral, tindakan juga harus didasarkan pada karakter yang matang dan stabil, akan tetapi persoalannya tak seorangpun dapat mengklaim mempunyai stabilitas karakter yang absolut, kecuali ia telah mendapatkan pendidikan. Pendidikan tersebut hanya dapat didapatkan secara sempurna dari Islam, dengan panduan petunjuk al-Qur’an dan contoh ideal kehidupan Nabi Saw., karenanya tindakan moral hanya akan bermakna bila disandarkan pada wahyu ketuhanan.
Prasarat yang lain adalah niat (motive) suatu tindakan. Tidak sebagaimana Bentham yang mengatakan bahwa kebaikan suatu tindakan diukur berdasar konsekuensinya (akibat) yang seringkali sulit untuk dikontrol, Islam menjadikan niat sebagai suatu yang subtantif dalam tindakan, karena ia merupakan sumber inspirasi suatu tindakan (Izetbegovic, Membangun, hlm. 128). Dalam konsep agama dalam setiap diri manusia ada suatu pusat batin. Setiap tindakan diambil, dipilah dan dikonfirmasi secara batin. Tanpa konsultasi dengan dirinya sendiri (batin), tindakan manusia tak lebih dari sebuah aksi mekanis saja. Niat membantu menentukan ganjaran dan balasan suatu tindakan, hal ini sesuai dengan ajaran Nabi saw. Bahwa suatu tindakan hanya bisa dinilai dari motivasinya yang merupakan inspirator bagi tindakan tersebut “انما الاعمال بالنيات” .
Dari uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keberimanan dan perasaan akan kewajiban adalah komponen yang signifikan dalam moralitas Islam. Tuntutan untuk memenuhi kewajiban tanpa mempertimbangkan kesulitan dan resiko yang yang mungkin dihadapi hanya memperoleh pembenaran jika ada unsur keimanan, keimanan akan Tuhan, akan adanya alam dan kehidupan lain selain alam dan kehidupan di dunia ini.
Dengan demikian, maka kekhalifahan manusia di bumi adalah bahwa manusia adalah “duta” Tuhan di bumi dan akan di minta pertanggung jawaban atas tugasnya “duta” tersebut. pada dasarnya, doktrin itu merupakan pemicu agar manusia banyak melakukan kebaikan dan sedikit-kalau bisa tidak sama sekali-melakukan kejahatan.
D. Islam, Keluarga dan Masyarakat
Islam adalah agama Allah yang diwahyukan kepada Rasul-rasulNnya guna diarahkan kepada manusia. Ia dibawa secara estafet (sambung-menyambung) dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Islam adalah rahmat, hidayah dan petunjuk bagi manusia yang berkelana dalam kehidupan duniawi, merupakan adanya sifat rahman dan rahim dari Allah.
Adapun Islam dalam turun sebelum risalah Nabi Muhammad s.a.w. sifatnya lokal atau nasional. Ia hanya untuk kepentingan bangsa dan daerah tertentu, dan terbatas pula periodenya.
1. Keluarga dan Masyarakat.
Keluarga berasal dari penyatuan antara pikiran-pikiran yang berbeda watak, sifat, dan perilaku yang menjadi satu persepsi dan tujuan yang sama serta dimulai dari hasrat dan keinginan individu-individu tersebut. Hasrat adalah fitrah yang dibawa sejak lahir.
Keberadaan keluarga menjadi kelompok utama “primary group”, dengan cara spontan dalam keluarga akan terjadi proses “sosialisasi” yaitu proses pengintegrasian individu kedalam kelompok sebagai anggota kelompok yang memberikan landasan sebagai makhluk sosial.
Dilihat dari segi ini maka terbentuknya masyarakat adalah komunitas dari berbagai keluarga. Secara sadar atau tidak sadar manusia hidup dalam berbagai kesatuan atau organisasi dan ia pun menjadi peserta dalam usaha-usaha kesatuan itu. Kesatuan itu diperoleh karena kelahirannya, maka terjadilah pergaulan manusia yang satu dengan yang lainnya.(Drs. Suparto:1986).
Adapun masyarakat menurut sebagian para ahli dapat dibedakan sebagai berikut:
a. Masyarakat muttaqun yaitu, masyarakat yang takut dan cinta serta hormat kepada Allah.
b. Masyarakat mukmin yaitu, masyarakat yang beriman kepada Allah yang dinyatakan dengan pengikraran secara lisan diwujudkan dalam amal perbuatan.
c. Masyarakat muslim yaitu, masyarakat yang pasrah kepada ketentuan Allah dan penuh keikhlasan dan kesadaran.
d. Masyarakat muhsin yaitu, masyarakat yang selalu berbuat baik dan beribadah kepada Allah.
e. Masyarakat kafir yaitu, masyarakat yang mengingkari dan menolak kebenaran Allah.
f. Masyrakat musyrik yaitu, masyarakat yang menyekutukan Allah dan dianggap ada Tuhan selain Allah. Msyarakat munafik yaitu, masyrakat yang bermuka dua dengan tanda-tanda suka berdusta, tidak menepati janji dan suka berkhianat.
g. Masyarakat fasik yaitu, yang suka berbuat kerusakan dengan cara melanggar batas-batas ketentuan Allah.
h. Masyarakat dzolim yaitu, masyarakat yang suka menganiayaya termasuk terhadap dirinya.
i. Masyarakat mutraf yaitu, masyarakat yang tidak mensyukuri ni’mat dan anugerah dari Allah.
Dari kesepuluh tipe masyarakat itu, yang termasuk masyarkat muslim yang sebenarnya adalah masyarakat tipe pertama, kedua, ketiga dan keempat.
E. Politik Ekonomi Islam
Secara terminologis politik ekonomi adalah tujuan yang akan dicapai oleh kaedah-kaedah hukum yang dipakai untuk berlakunya suatu mekanisme pengaturan kehidupan masyarakat. Politik ekonomi Islam adalah suatu jaminan untuk tercapainya pemenuhan semua kebutuhan hidup pokok (basic needs) tiap orang secara keseluruhan tanpa mengabaikan kemungkinan seseorang dapat memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar potensi yang dimilikinya sebagai seorang individu yang hidup ditengah komunitas manusia. Dalam hal ini politik ekonomi Islam tidak hanya berupaya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat saja dalam suatu negara dengan mengabaikan kemungkinan terjamin tidaknya kebutuhan hidup tiap-tiap individu. Politik ekonomi Islam juga tidak hanya bertujuan untuk mengupayakan kemakmuran individu semata tanpa kendali tanpa memperhatikan terjamin tidaknya kehidupan tiap individu lainnya.
Pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat harus menyentuh semua lapisan masyarakat baik kebutuhan primer, sekunder maupun tersier sesuai dengan kemampuan tiap individu. Dalam hal ini Islam mengarahkan bagaimana barang-barang ekonomi tersebut bisa diperoleh secara cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Untuk itu menunjukkan pentingnya seseorang untuk dapat bekerja mencari rezeki. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist yang menjelaskan mengenai pentingnya seseorang harus bekerja. Dalam suatu peristiwa Rosulullah SAW menyalami tangahn Sa’ad bin Mua’adz yang dirasakannya kasar kemudian ditanya lalu Sa’ad menjawab bahwa dia selalu bekerja memenuhi kebutuhannya dengan mengayunkan kapak. Kemudian rosulullah menciumi tangan Sa’ad seraya menyatakan bahwa “Iniliah dua telapak tangan yang disukai oleh Allah SWT” dan Rosulullah juga bersabda “Tidaklah seseorang makan sesuap saja yang lebih baik, selain ia makan dari hasil kerja tangannya sendiri”.
Sistem politik ekonomi Islam merupakan seperangkat instrumen agar dapat terwujudkan kehidupan masyarakat yang harmonis. Namun cita-cita ini sangat sulit untuk diwujudkan mengingat besarnya kekuatan raksasa dari ideologi sekuler yang menghambat, menghalangi dan ingin menghancurkan sistem ekonomi Islam melalui berbagai strategi seperti pendidikan, kebudayaan, ekonomi, kependudukan, politik dsb. Beberapa strategi yang diterapkan imperialis modern dalam menghalangi berkembangnya sistem kehidupan Islam antara lain:
Perang Pemikiran (Ghozwul Fikri). Melalui berbagai media informasi yang canggih dan menggunakan jaringan internasional yang rapi serta dukungan pemilik modal mereka melancarkan ide-ide yang bertentangan dengan syariat Islam seperti demokrasi yang menempatkan kebenaran pada suara mayoritas bukan pada nilai normatif yang baku, ide hak asasi manusia (HAM) yang menempatkan nilai-nilai kemanusiaan yang relatif kebenarannya di atas syariah Islam, emansipasi wanita yang melihat peranan wanita secara parsial tanpa mempertimbangkan keselarasan tangggung jawab persoalan publik dan domestik antara peranan pria dan wanita dalam tatanan sosial, pluralisme yang melihat kebenaran ideologi sebagai sesuatu yang relatif dengan mengabaikan informasi dari wahyu, dsb.
Budaya non-Islami. Dengan menggunakan berbagai macam bentuk pertunjukan dan hiburan serta ditunjang dengan jaringan informasi global menyebarkan berbagai budaya yang tidak Islami seperti permisivisme, free sex, alkoholisme, sadisme, hedonistik, konsumtif dsb. Sinergi antara budaya sekuler dan kekuatan kapitalisme menjadikan pertunjukan-pertunjukan seni dan budaya menjadi suatu bagian yang masuk dalam ruang kehidupan masyarakat melalui tayangan dalam televisi dan media massa. Budaya pragmatis dan serba instant melahirkan generasi yang hanya ingin menikmati hidup serba enak tanpa melalui kerja keras serta tidak mempunyai sensitiftas terhadap persoalan sosial jangka panjang. Melalui slogan food (makanan), fun (seni entertainment) dan fashion (pakaian) menggeser nilai-nilai normatif Islam ke dalam sudut-sudut kehidupan masyarakat. Masyarakat melalui slogan-slogan tersebut digiring menjadi masyarakat yang serba konsumtif dan cenderung egois serta individualis.
Kebijakan ekonomi yang menimbulkan ketergantungan. Strategi pembangunan di negara-negara muslim diarahkan untuk dapat tunduk kepada kepentingan negara-negara besar seperti orientasi pembangunan pada pertumbuhan, hutang luar negeri, sistem moneter internasional, dsb.
F. Islam dan Agama Lain
Di sepanjang sejarah Islam, pemimpin Muslim, ulama, dan Muslim biasa memiliki berbagai sikap terhadap agama lain. Sikap ini berubah mengikut masa, tempat dan keadaan.
Hukum Islam membahagikan bukan-Muslim kepada beberapa kategori, bergantung pada hubungan mereka dengan negeri Islam. Kristian dan Yahudi yang hidup di bawah pemerintahan Islam dikenali sebagai zimmi ("orang yang dilindungi"). Menurut aturan ini, keselamatan peribadi dan harta zimmi dijamin dengan syarat mereka membayar ufti (jizyah) kepada kerajaan Islam. Status ini turut diberikan kepada orang Majusi dan kadangkala orang Hindu, tetapi bukan kepada ateis atau agnostik. Mereka yang hidup di tanah bukan-Muslim (dar al-harb) dikenali sebagai harbi, dan sebaik memasuki pakatan dengan negeri Muslim dikenali sebagai ahl al-ahd. Mereka yang menerima jaminan keselamatan semasa tinggal buat sementara waktu di tanah Muslim dikenali sebagai ahl al-amān. Kedudukan mereka adalah sama seperti zimmi kecuali mereka tidak perlu membayar jizyah. Orang yang bersetuju gencatan senjata (ahl al-hudna) adalah yang tinggal di luar wilayah Muslim dan bersetuju untuk menahan diri dari menyerang Muslim. Murtad dari Islam ditengah, dan boleh dihukum bunuh.
BAB III
KESIMPULAN
1. Pemikiran Islam tidaklah statis. Setiap zaman islam mempunyai pembaharuan untuk memerdekakan kebenaran.
2. Tugas manusia dibumi ini adalah untuk melakukan ibadah kepadah Allah SWT dan menjaga bumi ini dari pengrusakan (Khalifah Fil Ardl)
3. Doktrin-doktrin islam dibuat berdasarkan sumber-sumber hukum islam denga salah satu tujuan yaitu untuk membenahi moral umat islam maupun umat disunia.
4. Keluarga adalah penentu dari kebaikan masyarakat itu sendiri. Apabila masyarakat mem[punyai kriteria iman, ihsan da islam secara baik dan mendalam maka masyarakatpun akan kental dengan kebaikannya.
5. Politik ekonomi islam adalah cara politik untuk menggunakan hukum-hukum syari’ah untuk kemaslaatan umat.
6. Islam dan agama lai sudah digariskan untuk bisa hidup berdampingan. Apila orang non-muslim mampu berbaik hati, maka muslim akan membalas kebaikan pula. Begitu pula sebaliknya.
DAFTAR PUSTAKA
http//ms.wikipedia.org/wiki/
Hakim, Atang Abd.2000.Metodologi studi Islam.Bandung:PT. Remaja Rosdakarya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar