MAKALAH
KHAWARIJ DAN
MURJIAH
Diajukan
untuk memenuhi tugas salah satu mata kuliah “Ilmu Kalam semester satu
Dosen Pengampu:
Ahmad Fauqi,
Lc, MHI
Disusun oleh:
1. Rizal Fatkur Rochimin
|
(2831133047)
|
2. Sidiq Darmanto
|
(2831133050)
|
JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) TULUNGAGUNG
November, 2013
KATA PENGANTAR
KATA PENGANTAR
Syukur
alhamdulillah penulis panjatkan, sebab rahmat taufik serta hidayah-Nya sehingga
makalah “Maqamat dan Ihwal””bisa terselesaikan dengan lancar tanpa
sedikit masalah yang melintang.
Sebelumnya penulis
mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Ahmad Fauqi yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk menjelaskan Firqoh-forqoh ilmu kalam: Khawarij dan Murjiah.
Selain itu kami mengucapkan terima kasih pada semua fihak yang telah membantu
baik secar moril maupun materil demi terselesaikannya makalah ini.
Tiada gading
yang tidak retak, begitu pula dengan makalah ini masih banyak kesalahan. Oleh
karena itu penulis menungggu kritik dan saran demi kebaikan karya ini. Penulis
berharap, makalah ini bisa bermanfaat dan dapat menjadi referensi untu
karya-karya ilmiah berikutnya.
Tulungagung, 20 September 2013
penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ................................................................................. i
KATA PENGANTAR .................................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
...................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................. 1
C. Tujuan Penulisan ................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ......................................................................... 3
A. Khawarij ................................................................................ 3
B. Murjiah .................................................................................. 7
C. Perbandingan
Antara Khawarij dan Murji’ah ................. 14
BAB III KESIMPULAN .......................................................................... 16
DAFTAR ISI ................................................................................................. 18
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Kita sudah
tahu apa yang terjadi ketika peperangan Shiffin antara Sayidina Ali dengan Sayidina
Muawiyah ra. Pihak Sayidina Muawiyah hampir kalah lalu mereka mengangkat Mushaf
pada ujung tombak dan menyerukan perhentian peperangan dengan bertahkim.Akibat
itu golongan Ali terbagi menjadi dua golongan yaitu golongan yang setuju dengan
tahkim dan golongan yang tidak setuju dengan tahkim. Mereka yang tidak setuju
dengan tahkim beralasan bahwa orang yang mau berdamai pada ketika pertempuran
adalah orang yang ragu akan pendiriannya, dalam kebenaran peperangan yang
ditegakkannya. Hukum Allah sudah nyata kata mereka, siapa yang melawan khalifah
yang sah harus diperangi.Kaum inilah yang dinamakan kaum Khawarij yaitu kaum
yang keluar yakni keluar dari Saidina Muawiyah dan keluar dari Saidina Ali.
Kemudian
selain Khawarij, umat islam juga mengenal aliran Murji’ah. Aliran Murji’ah ini
merupakan golongan yang tak sepaham dengan kelompok Khawarij dan Syi’ah.
Pengertian Murji’ah sendiri adalah penangguhan vonis hukuman atas
perbuatan seseorang sampai di pengadilan Allah SWT, sehingga seorang muslim
sekalipun berdosa besar dalam kelompok ini tetap diakui sebagai muslim dan
mempunyai harapan untuk bertobat.
B.
Rumusan
Masalah
a. Bagaimana sejarah
kemunculan Khawarij?
b. Bagaimana
pemikiran dan doktrin-doktrin Khawarij?
c. Bagaimana
perkembangan Khawarij?
d. Bagaimana
sejarah kemunculan Murji’ah?
e. Bagaimana
pemikiran dan doktrin-doktrin Murji’ah?
f. Apa saja
sekte-sekte Murji’ah?
g. Perbandingan
antara Khawarij dan Murji’ah.
C.
Tujuan
Penulisan
Dalam
penulisan makalah ini, kami mencoba mengulas tentang sejarah kemunculan
khawarij, pemikiran dan doktrin-doktrin khawarij, perkembangan khawarij,
sejarah kemunculan murji’ah, pemikiran dan doktrin-doktrin murji’ah, dan
sekte-sekte murji’ah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Khawarij
1. Latar
Belakang dan sejarah munculnya Khawarij.
Khawarij
adalah aliran dalam teologi Islam yang pertama kali muncul. Menurut Ibnu Abi
Bakar Ahmad al-Syahrastani, bahwa yang disebut Khawarij adalah setiap orang
yang keluar dar imam yang hak dan telah disepakati para jama’ah, baik ia keluar
pada masa Khulafaur Rasyidin, atau pada masa tabi’in secara baik-baik[1].
Nama Khawarij berasal dari kata “kharaja” berarti keluar. Nama itu
diberikan kepada mereka yang keluar dari barisan Ali.[2]
Khawarij
sebagai sebuah aliran telogi adalah kaum yang terdiri dari pengikut Ali bin Abi
Thalib yang meninggalkan barisannya, karena tidak setuju tehadap sikap Ali bin
abi Thalib yang menerima arbitrase sebagai jalan untuk menyelesaikan
persengketaan khalifah dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Adapun yang
dimaksud khawarij dalam terminology ilmu kalam adalah suatu
sekte/kelompok/aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan
barisan karena ketidaksepakatan terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase
(tahkim), dalam perang Shiffin pada tahun 37/648 M dengan kelompok Muawiyah bin
Abu Sufyan perihal persengketaan khalifah.
Kelompok
Khawarij pada mulanya memandang Ali dan pasukannya berada di pihak yang benar
karena Ali merupakan khalifah sah yang telah di bai’at mayoritas umat Islam,
sementara Muawiyah berada di pihak yang salah karena memberontak khalifah yang
sah.
Ali
sebenarnya sudah mencium kelicikan di balik ajakan damai kelompok Muawiyah
sehingga ia bermaksud menolak permintaan itu. Namun, karena desakan
pengikutnya seperti Al-asy’ats bin Qais, Mas’ud bin Fudaki at-Tamimi, dan Zaid
bin Husein ath-Tha’I dengan sangat terpaksa Ali memerintahkan Al-Asytar
(komandan pasukanya) untuk menghentikan peperangan.[3]
Setelah menerima
ajakan damai, Ali bermaksud mengirimkan Abdullah bin Abbas sebagai delegasi
juru damainya, tetapi orang-orang khawarij menolaknya. Mereka beranggapan bahwa
Abdullah bin Abbas berasal dari kelompok Ali sendiri. Kemudian mereka
mengusulkan agar Ali mengirim Abu Musa Al-Asy’ari dengan harapan dapat
memutuskan perkara berdasarkan kitab Allah.Keputusan tahkim, yakni Ali
diturunkan dari jabatannya sebagai khalifah oleh utusannya dan mengangkat
Muawiyah menjadi khalifah pengganti Ali sangat mengecewakan kaum khawarij
sehingga mereka membelot dan mengatakan,”mengapa kalian berhukum kepada
manusia. Tidak ada hukum lain selain hukum yang ada disisi Allah”. Imam Ali
menjawab, “itu adalah ungkapan yang benar, tetapi mereka artikan keliru”.Pada
saat itu juga orang-orang khawarij keluar dari pasukan Ali dan langsung menuju
Hurura.
Dengan
arahan Abdullah al-Kiwa mereka smpai di Harura. Di Harura, kelompok khawarij
ini melanjutkan perlawanan kepada Muawiyah dan juga Ali. Mereka mengangkat
seorang pemimpin bernama Abdullah bin Shahab Ar-Rasyibi.[4]
2. Doktrin-doktrin
pokok Khawarij.
a.
Khalifah atau imam harus dipilih
secara bebas oleh seluruh umat islam.
b.
Khalifah tidak harus berasal dari
keturunan Arab. Dengan demikian setiap orang muslim berhak menjadi khalifah
apabila sudah memenuhi syarat.
c.
Khalifah dipilih secara permanen
selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syari’at Islam. Ia harus
dijatuhkan bahkan dibunuh kalau melakukan kezaliman.
d.
Khalifah sebelum Ali (Abu Bakar,
Umar, Utsman) adalah sah, tetapi setelah tahun ketujuh dari masa
kekhalifahannya Utsman ra dianggap telah menyeleweng.
e.
Khalifah Ali adalah sah tetapi
setelah terjadi arbitrase (tahkim), ia dianggap telah menyeleweng.
f.
Muawiyah dan Amr bin Ash serta Abu
Musa Al-Asy’ari juga dianggap menyeleweng dan telah menjadi kafir.
g.
Pasukan perang Jamal yang melawan
Ali juga kafir.
h.
Seseorang yang berdosa besar tidak
lagi disebut muslim sehingga harus dibunuh. Yang sangat anarkis (kacau) lagi,
mereka menganggap bahwa seorang muslim dapat menjadi kafir apabila ia tidak mau
membunuh muslim lain yang telah dianggap kafir dengan risiko ia menanggung
beban harus dilenyapkan pula.
i.
Setiap muslim harus berhijrah dan
bergabung dengan golongan mereka. Bila tidak mau bergabung, ia wajib diperangi
karena hidup dalam dar al-harb (Negara musuh), sedang golongan mereka sendiri
dianggap berada dalam dar al-islam (Negara islam).
j.
Seseorang harus menghindar dari
pimpinan yang menyeleweng.
k.
Adanya wa’ad dan wa’id (orang yang
baik harus masuk surga, sedangkan orang yang jahat harus masuk ke dalam
neraka).
l.
Amar ma’ruf nahyi munkar.
m.
Memalingkan ayat-ayat Al-quran yang
tampak mutasabihat (samar)
n.
Quran adalah makhluk.
o.
Manusia bebas memutuskan
perbuatannya bukan dari Tuhan.
3. Perkembangan
Khawarij
Perkembangan
khawarij semakin meluas dan terbagi menjadi dua golongan yang pertama bermarkas
di sebuah negeri Bathaih yang menguasai dan mengontrol kaum Khawarij yang
berada di Persia yang dikepalai oleh Nafi bin Azraq dan Qathar bin Faja’ah, dan
golongan yang kedua bermuara di Arab daratan yang menguasai kaum khawarij yang
berada di Yaman, Handharamaut, dan Thaif yang dikepalai oleh Abu Thalif, Najdah
bin ‘Ami, dan abu Fudaika.
Terlepas
dari berapa banyak subsekte pecahan Khawarij, tokoh-tokoh seperti Al-Bagdadi
dan Al-Asfarayani, sepakat bahwa subsekte khawarij yang besar terdiri dari
delapan macam, yaitu:
1.
Al-Muhakkimah
5. Al-Ajaridah
2.
Al-Azriqah
6. As-Saalabiyah
3.
An-Nadjat
7. Al-Abadiyah
4.
Al-Baihasiyah
8. As-Sufriyah
Semua subsekte
itu membicarakan persoalan hukum bagi orang yang berbuat dosa besar, apakah ia
masih dianggap mukmin atau telah menjadi kafir. Tampaknya doktrin teologi ini
tetap menjadi primadona dalam pemikiran mereka, sedangkan doktrin-doktrin lain
hanya sebagai pelengkap saja.
Semua aliran
yang bersifat radikal, pada perkembangan lebih lanjut, dikategorikan sebagai
khawarij, selama didalamnya terdapat indikasi doktrin yang identik dengan
aliran ini. Berkenaan dengan ini Harun Nasution mengidentifikasi beberapa indikasi
aliran yang dapat dikategorikan sebagai aliran khawarij, yaitu:
a.
Mudah mengafirkan orang yang tidak
segolongan dengan mereka walaupun orang itu adalah penganut agama Islam.
b.
Islam yang benar adalah islam yang
mereka pahami dan amalkan.
c.
Orang-orang islam yang tersesat dan
menjadi kafir perlu dibawa kembali pada islam yang sebenarnya, yaitu islam yang
seperti mereka pahami dan amalkan.
d.
Karena pemerintahan dan ulama yang
tidak sefaham dengan mereka adalah sesat, maka mereka memilih imam dari
golongan mereka sendiri.
e.
Mereka bersifat fanatic dalam paham
dan tidak segan-segan menggunakan kekerasan dan membunuh untuk tujuan mereka.
B.
Murji’ah
1. Sejarah
Kemunculan Murji’ah
Nama
Murji’ah diambil dari kata irja atau arja’a yang bermakna penundaan,
penangguhan, dan pengharapan.Kata arja’a mengandung pula arti memberi harapan,
yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan
rahmat Allah.Selain itu, arja’a berarti pula meletakan di belakang atau
mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan amal dari iman.Oleh karena itu,
Murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang
bersengketa yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing ke hari
kiamat kelak.[5]
Aliran
Murji’ah ini muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam
upaya kafir mengkafirkan terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana
hal itu dilakukan oleh aliran khawarij. Mereka menangguhkan penilaian terhadap
orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu.dihadapan Tuhan, karena
hanya Tuhan-lah yang mengetahui keadaan iman seseorang.Demikian pula orang
mukmin yang melakukan dosa besar masih dianggap mukmin dihadapan mereka.
Ada beberapa
teori yang berkembang mengenai asal-usul Murji’ah. Teori pertama mengatakan
bahwa gagasan irja atau arja’a dikembangkan oleh sebagian sahabat
dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam ketika terjadi
pertikaian politik dan juga bertujuan untuk menghindari sekretarianisme
(terikat pada satu aliran saja), baik sebagai kelompok politik maupun
teologis.
Awal mula
timbulnya Murji’ah adalah sebagai akibat dari gejolak dan ketegangan
pertentangan politik yaitu soal khilafah (kekhalifahan) yang kemudian
mengarah ke bidang teologi. Pertentangan politik ini terjadi sejak meninggalnya
Khalifah Usman yang berlanjut sepanjang masa Khalifah Ali dengan puncak
ketegangannya terjadi pada waktu perang Jamal dan perang Shiffin. Setelah
terbunuhnya Khalifah Utsman Ibn Affan, umat islam terbagi menjadi dua golongan
yaitu kelompok Ali dan Muawiyyah. Kelompok Ali lalu terpecah menjadi dua yaitu
Syi’ah dan Khawarij.
Setelah
wafatnya Ali, Muawiyyah mendirikan Dinasti Bani Umayyah (661M). Kaum Khawarij
dan Syi’ah yang saling bermusuhan, mereka sama-sama menentang kekuasaan Bani
Umayyah itu. Syi’ah menganggap bahwa Muawiyyah telah merampas kekuasaan dari
tangan Ali dan keturunannya. Sementara itu, Khawarij tidak mendukung Muawiyyah
karena ia dinilai telah menyimpang dari ajaran islam. Di antara ke tiga
golongan itu terjadi saling mengkafirkan.
Dalam
suasana pertentangan ini, timbul satu golongan baru yaitu Murji’ah yang ingin
bersikap netral, tidak mau turut dalam praktek kafir mengkafirkan yang terjadi
antara golongan yang bertentangan itu. Bagi mereka, sahabat-sahabat yang
bertentangan itu merupakan orang-orang yang dapat dipercayai dan tidak keluar
dari jalan yang benar. Oleh karena itu, mereka tidak mengeluarkan pendapat
tentang siapa yang sebenarnya salah dan memandang lebih baik menunda
penyelesaian persoalan ini ke hari perhitungan di hadapan Tuhan.
Dari persoalan
politik mereka tidak dapat melepaskan diri dari persoalan teologis yang muncul
di zamannya. Waktu itu terjadi perdebatan mengenai hukum orang yang berdosa
besar. Persoalan dosa besar yang ditimbulkan kaum Khawarij mau tidak mau
menjadi bahan perhatian dan pembahasan bagi mereka. Terhadap orang yang berbuat
dosa besar, kaum Khawarij menjatuhkan hukum kafir sedangkan kaum Murji’ah
menjatuhkan hukum mukmin. Argumentasi yang mereka ajukan dalam hal ini bahwa
orang islam yang berdosa besar itu tetap mengakui bahwa tiada Tuhan
selain Allah dan Nabi Muhammad adalah Rasul-nya. Dengan kata lain, orang yang
mengucapkan kedua kalimat syahadat menjadi dasar utama dari iman. Oleh karena
itu, orang berdosa besar menurut pendapat golongan ini tetap mukmin dan bukan
kafir.[6]
Aliran
Murji’ah ini berkembang sangat subur pada masa pemerintahan Dinasti bani
Umayyah, karena bersifat netral dan tidak memusuhi pemerintahan yang sah. Dalam
perkembangan berikutnya, lambat laun aliran ini tak mempunyai bentuk lagi,
bahkan beberapa ajarannya diakui oleh aliran kalam berikutnya. Sebagai aliran
yang berdiri sendiri, golongan Murji’ah ekstrim pun sudah hilang dan
tidak bisa ditemui lagi sekarang. Namun ajaran-ajarannya yang masih ekstrim itu
masih didapati pada sebagian umat Islam yang menjalankan ajaran-ajarannya.
Kemungkinan mereka tidak sadar bahwa mereka sebenarnya mengikuti ajaran-ajaran
golongan Murji’ah ekstrim.
2. Pemikiran Dan Doktrin-Doktrin
Murji’ah
Berkaitan
dengan teologi Murji’ah, W. Montgomery Watt merincinya sebagai berikut :[7]
a.
Penangguhan keputusan terhadap Ali
dan Muawiyah hingga Allah memutuskannya di akhirat kelak.
b.
Penangguhan Ali untuk menduduki
rangking keempat dalam peringkat Al-Khalifah Ar-Rasyidun.
c.
Pemberian harapan (giving of hope) terhadap
orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
d.
Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai
pengajaran (madzhab) para skeptis dan empiris dari kalangan Helenis.[8]
e.
Masih berkaitan dengan doktrin
teologi Murji’ah, Harun Nasution menyebutkan empat ajaran pokoknya, yaitu :[9]
1) Menunda
hukuman atas Ali, Muawiyah, Amr bin Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ary yang terlibat
tahkim dan menyerahkannya kepada Allah di hari kiamat kelak.
2) Menyerahkan
keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.
3) Meletakkan
(pentingnya) imal daripada amal.
4) Memberikan
pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan
rahmat dari Allah.
Sementara
itu, Abdul A’la al-Maududi menyebut ajaran Murji’ah dalam dua doktrin pokok,
yaitu:
a.
Iman adalah percaya kepada Allah dan
Rasul-nya saja. Adapun amal atau perbuatan tidak merupakan suatu keharusan bagi
adanya iman. Berdasarkan hal ini, seseorang tetap dianggap mukmin walaupun
meninggalkan perbuatan yang difardhukan dan melakukan dosa besar.
b.
Dasar keselamatan adalah iman
semata. Selama masih ada iman di hati, setiap maksiat tidak dapat mendatangkan
madharat ataupun gangguan atas seseorang. Untuk dapat pengampunan, manusia
cukup hanya dengan menjauhkan diri dari syirik dan mati dalam keadaan aqidah
tauhid.
3. Sekte-Sekte Murji’ah
Kemunculan
sekte-sekte dalam kelompok Murji’ah tampaknya dipicu oleh perbedaan pendapat di
kalangan para pendukung Murji’ah sendiri. Dalam hal ini, terdapat problem yang
cukup mendasar ketika para pengamat mengklasifikasikan sekte-sekte Murji’ah.
Kesulitannya antara lain karena ada beberapa tokoh aliran pemikiran tertentu
yang diklaim oleh pengamat lain. Tokoh yang dimaksud antara lain Washil bin
Atha dari Mu’tazilah dan Abu Hanifah dari ahlus Sunnah.[10]
Pimpinan
dari kaum Murji’ah adalah Hasan Ibn Bilal al-Muzni, Abu Salat as-Saman,
Tsauban, Dirar Ibn Umar. Penyair mereka yang terkenal pada masa Bani
Umayyah adalah Tsabit Ibn Quthanah yang mengarang sebuah syair tentang I’tiqad
dan kepercayaan kaum Murji’ah.
Secara garis
besar, kelompok Murji’ah terbagi kepada dua golongan yakni golongan moderat dan
golongan ekstrim. Golongan Murji’ah moderat tetap teguh berpegang pada doktrin
Murjiah di atas. Sementara itu, golongan Murji’ah ekstrim memiliki doktrin
masing-masing. Yang termasuk golongan Murji’ah ekstrim antara lain:
a.
Golongan al-Jahmiyah yang dipelopori
oleh Jahm Ibn Sofwan. Berpendapat bahwa iman adalah mempercayai Allah SWT,
rasul-rasul-Nya, dan segala sesuatu yang datang dari Allah SWT. Sebaliknya,
kafir adalah tidak mempercayai hal-hal tersebut di atas. Apabila seseorang
sudah mempercayai Allah SWT, rasul-rasul-Nya, dan segala sesuatu yang datang
dari Allah SWT, berarti ia mukmin meskipun ia menyatakan dalam perbuatannya
hal-hal yang bertentangan dengan imannya, seperti berbuat dosa besar, menyembah
berhala, dan minum minuman keras. Golongan ini juga meyakini bahwa surga
dan neraka itu tidak abadi, karena keabadian hanya bagi Allah SWT semat.
b.
Golongan al-Salihiyah dengan
tokohnya Abu Hasan as-Sahili. Sama dengan pendapat al-Jahmiyah, golongan
ini berkeyakinan bahwa iman adalah semata-mata makrifat (mengetahui)
kepada Allah SWT, sedangkan kufur (kafir) adalah sebaliknya yakni tidak
mengetahui Allah SWT. Iman dan kufur itu tidak bertambah dan tidak berkurang.
Menurut mereka, shalat itu tidak merupakan ibadah kepada Tuhan, karena yang
disebut ibadah itu adalah beriman kepada Tuhan dalam arti mengetahui Tuhan.
c.
Golongan Yunusiah pengikut Yunus Ibn
an-Namiri. Berpendapat bahwa iman adalah totalitas dari pengetahuan tentang
Tuhan, kerendahan hati, dan tidak takabur. Kufur adalah kebalikan dari itu.
Iblis dikatakan kafir bukan karena tidak percaya kepada Tuhan, melainkan
karena ketaburannya. Mereka juga percaya bahwa perbuatan jahat dan maksiat sama
sekali tidak merusak iman.
d.
Golongan al-Ubaidiyah dipelopori oleh
Ubaid al-Maktaib. Pendapatnya pada dasarnya sama dengan golongan al-Yunusiah.
Sekte ini berpendapat bahwa jika seseorang meninggal dunia dalam keadaan
beriman, semua dosa dan perbuatan jahatnya tidak akan merugikannya. Perbuatan
jahat, banyak atau sedikit tidak merusak iman. Sebaliknya, perbuatan baik,
banyak atau sedikit tidak akan memperbaiki posisi orang kafir.
e.
Golongan al-Gailaniyah dipelopori
oleh Gailan al-Dimasyaqi. Berpendapat bahwa ima adalah makrifat
(mengetahui) kepada Allah SWT melalui nalar dan menunjukkan sikap mahabbah
(cinta) dan tunduk kepada-Nya.
f.
Golongan al-Saubaniyah dipimpin oleh
Abu Sauban. Prinsip ajaranya sama dengan sekte al-Gailaniyah, namun mereka
menambahkan bahwa yang termasuk iman adalah mengetahui dan mengakui sesuatu
yang menurut akal wajib dikerjakan. Dengan demikian, sekte ini mengakui adanya
kewajiban-kewajiban yang dapat diketahui akal sebelum datangnya syari’at.
g.
Golongan al-Marisiyah dipelopori
oleh Bisyar al-Marisi. Berpendapat bahwa iman di samping meyakini dalam hati
bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad SAW itu rasul-nya, juga harus
diucapkan secara lisan. Jika tidak diyakini dalam hati dan diucapkan dengan
lisan, maka bukan iman namanya. Sementara itu, kufur merupakan kebalikan dari
iman.
h.
Golongan al-Karamiyah dipelopori
oleh Muhammad Ibn Karram. Berpendapat bahwa iman adalah pengakuan secara lisan
dan kufur adalah pengingkaran secara lisan. Mukmin dan kafirnya seseorang dapat
diketahui melalui pengakuannya secara lisan.
i.
Golongan al-Khassaniyah. Berpendapat
jika seseorang mengatakan, “saya tahu bahwa Tuhan melarang makan babi, tetapi
saya tak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini”, orang yang
demikian tetap mukmin dan bukan kafir. Jika seseorang mengatakan, “saya tahu
Tuhan mewajibakan naik haji ke Ka’bah tetapi saya tak tahu apakah Ka’bah di
India atau di tempat lain”, orang demikian juga tetap mukmin.
Menyikapi
ajaran-ajaran Murji’ah yang ekstrim itu, menurut Harun Nasution ada bahayanya
karena dapat membawa pada moral latitude, sikap memperlemah
ikatan-ikatan moral atau masyarakat yang bersifat permissive, masyarakat
yang dapat mentolelir penyimpangan-penyimpangan dari norma-norma akhlak yang
berlaku. Karena yang dipentingkan hanyalah iman, norma-norma akhlak bisa
dipandang kurang penting dan diabaikan oleh orang-orang yang menganut faham
demikian. Oleh karena itu, nama Murji’ah pada akhirnya mengandung arti tidak
baik dan tidak disenangi oleh mayoritas umat islam.
C.
Perbandingan Antara Khawarij dan
Murji’ah.
Untuk
melihat gambaran perbedaan pendapat antara aliran yang terdapat dalam
aliran Khawarij dan Murji’ah, berikut ini akan dipaparkan kembali berdasarkan
uraian pada bab-bab sebelumnya, meliputi: Pelaku dosa besar, iman dan kufur.
Dalam hal
menyikapi pelaku dosa besar, aliran Khawarij langsung memfonis bahwa semua
pelaku dosa besar (murtabb al-kabirah), kecuali sekte al-Najdah, adalah
kafir atau murtad sehingga wajib dibunuh dan akan disiksa di neraka
selama-lamanya. Sekte al-Azariqah, menggunakan istilah musyrik, yaitu
memandang musyrik terhadap yang tidak mau bergabung dengan barisan mereka dan
yang tidak sefaham dengan mereka. Pelaku dosa besar (membunuh, berzina, dll)
dalam pandangan mereka telah beralih status keimanannya menjadi kafir millah
(agama) yang berarti telah keluar dari Islam, kekal di neraka bersama
orang-orang kafir lainnya. Sekte al-Muhakimat menyatakan, Ali, Muawiyah,
Amr bin Ash, Abu Musa al-Asy’ari, dan semua orang yang menyetujui arbitrase adalah
bersalah dan menjadi kafir termasuk orang yang berbuat dosa besar (berzina,
membunuh manusia tanpa sebab, dosa besar lainnya).
Sedangkan
aliran Murji’ah memberikan pengharapan kepada masyarakat. Sekte Murji’ah
ekstrim terkenal dengan kredonya bahwa perbuatan maksiat tidak dapat membawa
kekufuran. Menurut mereka, keimanan terletak di dalam kalbu, adapun ucapan dan
perbuatan tidak selamanya merupakan refleksi dari apa yang ada di dalam kalbu.
Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari
kaidah agam tidak berarti telah menggeser atau merusak keimanannya, bahkan
keimanannya masih sempurna di mata tuhan. Mereka memandang pelaku dosa besar
tidak akan disiksa di neraka. Adapun sekte Murji’ah moderat berpendapat bahwa
pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa dalam neraka, ia
tidak kekal di dalamnya, bergantung pada ukuran dosa yang dilakukannya. Masih
terbuka kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya hingga ia bebas dari
siksaan neraka. Abu Hanifah dan pengikutnya termasuk pada sekte Murji’ah
moderat ini.
Kemudian
pendapat dalam hal menyikapi iman dan kufur, aliran Khawarij memandang masalah
iman dan kufur lebih bertendensi politik ketimbang ilmiah-teoritis. Menurutnya,
iman tidak semata-mata percaya kepada Allah. Mengerjakan segala perintah
kewajiban agama juga merupakan bagian dari keimanan. Oleh karena itu, Khawarij
menganggap kafir bagi siapapun yang beriman kepada Allah dan Muhammad
Rasul-Nya, namun tidak melaksanakan perintah kewajiban agama dan malah
melakukan dosa.
Aliran
Murji’ah yang ekstrim berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam kalbu.
Segala ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak
berarti menggeser atau merusak keimanannya, bahkan keimanannya masih sempurna
dalam pandangan Tuhan. Sementara itu, Murji’ah moderat berpendapat bahwa pelaku
dosa besar tidaklah menjadi kafir meskipun disiksa dalam neraka, ia tidak
kekal di dalamnya, bergantung pada dosa yang dilakukannya.
BAB III
KESIMPULAN
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa :
a.
Khawarij sebagai sebuah aliran
telogi adalah kaum yang terdiri dari pengikut Ali bin Abi Thalib yang
meninggalkan barisannya, karena tidak setuju tehadap sikap Ali bin abi Thalib
yang menerima arbitrase sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan
khalifah dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
b.
Khalifah atau imam harus dipilih
secara bebas oleh seluruh umat islam, khalifah tidak harus berasl dari
keturunan Arab, khalifah dipilih secara permanen selama yang bersangkutan
bersikap adil dan menjalankan syariat, khalifah sebelum Ali adalah sah tetapi
setelah tahun ketujuh dari masa khalifahnya, utsman ra dianggap
menyeleweng, Khalifah Ali adalah sah tetapi setelah terjadi arbitrase
(tahkim) ia dianggap telah menyeleweng, Muawiyah dan Amr bin Al-Ash serta Abu
Musa Al-Asy’ari juga dianggap menyeleweng dan telah menjadi kafir, Pasukan
perang Jamal yang melawan Ali juga kafir, Seseorang yang berdosa besar tidak
lagi disebut muslim sehingga harus dibunuh, Setiap muslim harus berhijrah dan
bergabung dengan golongan mereka, Seseorang harus menghindar dari pimpinan yang
menyeleweng, Adanya wa’ad dan wa’id (orang yang baik harus masuk surga,
sedangkan orang yang jahat harus masuk ke dalam neraka), Amar ma’ruf nahyi
munkar, Memalingkan ayat-ayat Al-quran yang tampak mutasabihat (samar),
Al-Quran adalah makhluk, Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari
Tuhan.
c.
Perkembangan khawarij semakin meluas
dan terbagi menjadi dua golongan yang pertama bermarkas di sebuah negeri
Bathaih yang menguasai dan mengontrol kaum khawarij yang berada di Persia yang
dikepalai oleh Nafi bin azraq dan Qathar bin Faja’ah, dan golongan yang kedua
bermuara di Arab daratan yang menguasai kaum khawarij yang berada di Yaman,
Handharamaut, dan Thaif yang dikepalai oleh Abu Thalif, Najdah bin ‘Ami, dan
abu Fudaika.
d.
Aliran Murji’ah ini muncul sebagai
reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya kafir mengkafirkan
terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana hal itu dilakukan oleh
aliran khawarij. Mereka menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang
terlibat dalam peristiwa tahkim itu. dihadapan Tuhan, karena hanya
Tuhan-lah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula orang mukmin
yang melakukan dosa besar masih dianggap mukmin dihadapan mereka.
e.
Menurut W. Montgomery Watt
merincinya sebagai berikut penangguhan keputusan terhadap Ali dan Muawiyah
hingga Allah memutuskannya di akhirat kelak, Penangguhan Ali untuk menduduki
rangking keempat dalam peringkat Al-Khalifah Ar-Rasyidun, Pemberian harapan
(giving of hope) terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan
dan rahmat dari Allah, Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai pengajaran (madzhab)
para skeptic dan empiris dari kalangan Helenis.
f.
Muhammad Imarah menyebutkan 12 sekte
Murji’ah yaitu : Al-Jahmiyah, pengikut Jahm bin Shufwan; Ash-Shaliyah, pengikut
Abu Musa Ash-Shalahi; Al-Yunushiyah pengikut Yunus As-Samary; As-Samriyah
pengikut Abu Samr dan Yunus; Asy-Syaubaniyah pengikut Abu Syauban;
Al-Ghailaniyah pengikut Abu Marwan al-Ghailan bin Marwan Ad-Dimsaqy;
An-Najariyah pengikut Al-Husain bin Muhammad An-Najr; Al-Hanafiyah pengikut Abu
Hanifah An-Nu’man; Asy-Syabibiyah pengikut Muhammad bin syabib; Al-Mu’aziyah
pengikut Muadz Ath-Thaumi; Al-Murisiyah pengikut Basr Al-Murisyi; Al-Karamiyah
pengikut Muhammad bin Karam As-Sijistany.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas
Siradjuddin. I’tiqad ahlussunnah wal jamaah, Pustaka Tarbiyah Baru,
Jakarta, 2008.
Nata
Abuddin. Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1998.
Rozak Abdul,
Rosihon Anwar. Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung, 2001.
Hamdani,
Maslani, Ratu Suntiah. Ilmu Kalam, Sega Asry, 2011.
[1] Ibnu Abi Bakar Ahmad al-Syahratani, al-Milal wa
al-Nihal, Dar al-Fikr, Libanon, Beirut, tt. Hlm. 114.
[3] Amir-Najjar, Al-Khawarij: Aqidatan wa fikratan wa
falsafatan terj. Afif Muhammad dkk., Lentera. Cet I. Bandung, 1993, hlm. 5.
[4] Ibrahim
Madzkur, Fi Al-falsafah Al-Islamiyah, Manhaj wa Tathbiquh, Juz II, Dar
Al-Ma’arif, Mesir 1947, hlm. 109.
[5] Cyril Glasse, The concise Encyclopedia of Islam, Staceny
international, London, 1989, hlm. 288-9; Departemen Agama RI, Ensiklopedi
islam, 1990, hlm. 633-6; Ahmad Amin, Fajrul Islam, jilid I, Islam,
Ej. Srill Leiden, 1961, hlm. 412
[6] Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-aliran
Sejarah Analisa Perbandingan, (Univesitas Indonesia, Jakarta, 1978), hlm.
23.
[8] Helenis,
Helenistik: Istilah yang dipakai secara tradisional oleh orang Yunani sendiri
untuk menyebutkan nama etnik mereka. Mula-mula istilah tersebut digunakan oleh
ahli sejarah Jerman Johan Gustav Droysen merujuk pada penyebaran peradaban
Yunani pada bangsa bukan Yunani yang ditaklukkan oleh Alexander agung. Menurut
Droysen, peradaban Helenistik adalah fusi atau gabungan dari peradaban Yunani
dengan peradaban timur dekat. Pusat kebudayaan utama berkembang dari daratan
Yunani ke Pergamon, Rhodes, Antioch dan Alexandria/Iskandariyah.
[10] Abul A’la Al-Maudidi, Al-Khalifah wa Al-Mulk, terj.
Muhammad Al-baqir, Mizan, Bandung, 1994, hlm. 279-80
Tidak ada komentar:
Posting Komentar