Ihsan
B. DefinisiIhsan
Ihsan berasal dari kata husn, yang
artinya menunjuk pada kualitas sesuatu yang baik dan indah.Dictionary
menyatakan bahwa kata husn, dalam pengertian yang umum, bermakna setiap
kualitas yang positif (kebajikan, kejujuran, indah, ramah, menyenangkan, selaras,
dll). Selain itu, bisa dikatakan bahwa ihsan (bahasa Arab: احسان ) adalah kata dalam bahasa Arab yang berarti
kesempurnaan atau terbaik. Dalam terminologi agama islam, ihsan berarti
seseorang menyembah Allah seolah-olah ia melihatNya, dan jika ia tidak mampu
membayangkan malihatNya, maka orang tersebut mambayangkan bahwa sesungguhnya
Allah melihat perbuatannya. Dengan
kata lain ikhlas dalam beribadah atau ikhlas dalam melaksanakan islam dan iman.
Jadi ihsan menunjukkan satu kondisi kejiwaan manusia, berupa penghayatan bahwa
dirinya senantiasa diawasi oleh Allah. Perasaan ini akan melahirkan sikap
hati-hati waspada dan terkendalinya suasana jiwa.
Kata husn
sering disamakan dengan kata khayr.Namun perlu diketahui bahwa husn adalah
kebaikan yang tidak dapat dilepaskan dari keindahan dan sifat sifat yang
memikat, sementara itu khayr merupakan suatu kebaikan yang memberikan kegunaan
konkrit, sekalipun sesuatu tersebut tidak indah dan tidak bersifat memikat.Jadi
bisa dikatakan bahwa husn lebih dari sekedar khair (baik).
Kata ihsan
adalah sebuah kata kerja yang berarti berbuat atau menegakkan sesuatu yang baik
atau indah.Al-Qur’an menggunakan kata ini dan bentuk aktifnya (fa’il) muhsin
(orang yang mengerjakan sesuatu yang indah) dalam 70 ayat.Secara ku sesuatu
yang indah, sehingga Muhsin merupakan salah satu dari nama-nama ketuhanan.
Ihsan secara
ringkas adalah ketulusan dari kehendak dari intelegensi, ia adalah keterikatan
total kita kepada kebenaran dan kepatuhan sepenuhnya kepada hukum, yang berarti
bahwa kita disatu pihak mengenal kebenaran sepenuhnya bukan hanya sebagian, dan
dipihak lain mematuhi hukum dengan selureuh keberadaan kita yang terdalam dan
tidak hanya dengan setengah-setengah dan pura-pura.[1]
Para ulama sufi
dalam mengartikan Ihsan menjadi dua
pengertian. Di antara mereka ada yang mengartikannya dengan pemahaman benar
yang tidak melenceng dari makna hadits (Lihat arti ihsan sebagaimana yang
dikatakan oleh al Kasani dalam Mu’jamul Istilaahat As Sufiyah al Kasani
hal 286), dan banyak di antara mereka yang berani mengartikan kata ihsan dengan
pemahaman wahdatul wujud.
Mereka
mengatakan yang dimaksud ihsan pada pemahaman kedua yang salah bahwa ihsan
adalah, “penglihatan diri Allah kepada hamba-Nya, dan penglihatan diri hamba
kepada Rabbnya.Semisal suatu cermin di mana seorang dapat melihat dirinya di
cermin tersebut.Orang yang Muhsin dia adalah seseorang yang dapat melihat
al-Haq/Allah yang bersifatkan dengan sifat seorang hamba, maka hamba
melihat-Nya berada dibalik sifat-sifatnya dengan tanpa perbedaan, dengan penuh
keyakinan. Maka ia tidaklah melihat al haqiqah dengan haqiqah. Karena Allah ta’ala
yang memperlihatkan sifat padanya dengan sifatnya.”(Lihat Istilah Al Kasani hal
53).
Di mana dalam
pengertian di atas mereka telah menjadikan makna muraqabah / perasaan diri
terhadap pengawasan Allah dengan penglihatan kepada Allah yang sebenarnya di
segala hal (Lihat Lathaaif I’lam, 1/178).[2]
1.
Perbedaan
Ihsan dengan Tasawuf
Ihsan
dalam islam adalah tingkatan tertinggi di mana seorang hamba merasakan seakan
dilihat dan diawasi oleh Allah, sehingga berpengaruh dari setiap perilakunya. Namun ia tidak berkeyakinan bahwa
ia bias melihat Allah, karena Allah tidak
mungkin dilihat di dunia ini. Sebagaimana kisah Nabi Musa yang ingin melihat Allah, maka
Allah mengatakan: “Kamu sekali-kali tak sanggup untuk
melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia
tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku. Tatkala Rabbnya menampakkan
diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh
pingsan.” (QS.
Al-A’raf :143)
Karenanya,
ihsannya islam adalah merupakan dari realisasi akidah yang kuat, sedangkan
ihsannya sufi atau di dalam ajaran sufi secara umum telah banyak dilumuri
dengan kesyirikan dan penyimpangan dalam berakidah. Dengan pengartian kata
ihsan kepada wihdatul wujud atau penglihatan mata telanjang hamba kepada dzat
Allah di dunia ini, atau dengan membayangkan dzat wali-wali mereka ketika
shalat.
Islam Tidak Mengenal Ilmu LadunyKaporta ihsan juga diartikan lain
oleh orang-orang sufi dengan keyakinan dan pemahaman mereka dengan adanya ilmu
laduny. Di mana di antara mereka mengaku bahwa ia mendapat ilmu langsung dari
Allah tanpa melalui Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibnu ‘Arabi
mengatakan: “Dan di kalangan kami ada yang mengambil ilmu langsung dari Allah,
maka ia menjadi pengganti Allah (Khalifatullah).”
Ini
adalah ucapan yang batil, karena Al-Qur’an menjelaskan bahwa perintah dan
larangan Allah disampaikan melalui Rasul-Nya, sebagaimana firman-Nya,
yang artinya: “Hai Rasul, sampaikan apa yang diturunkan kepadamu dari
Rabbmu.” (QS. Al-Maidah: 67)
Ibnu
‘Arabi berkata: “Tuhan itu memang benar ada dan hamba itu juga benar ada Wahai
kalau demikian siapa yang dibebani syariat? Bila engkau katakan yang ada ini
adalah hamba, maka hamba itu mati atau (bila) engkau katakan yang ada ini
adalah Tuhan lalu mana mungkin Dia dibebani syariat?”(Fushulul Hikam
hal. 90).
2.
Kiat
Menggapai Ihsan
Di
dalam memahami kata ihsan sebagaimana yang telah Rasulullah sebutkan, dapat
direalisasikan makna ihsan dalam tiga keadaan:
a.
Ihsan
dalam niat dan tujuan.
Ihsan dalam hal ini dengan tiga cara:
- Membersihkan diri dengan ilmu di mana ia berusaha mengikuti konsekuensi dari ilmu yang ia ketahui, dengan berusaha mengikuti perintah dan syariat.
- Memantapkan tekad dan kekuatan, yang tidak dihinggapi dengan futur dan kelemahan.
- Membersihkan dan membereskan keadaannya. Di mana keadaan dia bersih dari kotoran dan kejelekan niat serta perbuatannya.
b. Ihsan dalam segala keadaan, di mana ia akan menjaga keadaan
dia dengan sebaik baiknya. Juga ia berusaha menutupi keadaan antara dia dengan
Allah, di mana ia tidak akan menampakkannya kecuali memang diperlukan, juga
senantiasa berusaha untuk terus memperbaiki keadaan dirinya dalam mewujudkan
sesuatu yang diinginkan.
c. Ihsan dalam segala waktunya, Sehingga tiada hilang perasaan
bahwa Allah senantiasa mengawasi dia dalam setiap waktu dan keadaannya, yang
kemudian tidak mencampurkan keinginannya kepada seorang pun, menjadikan
hijrahnya kepada kebenaran ada di setiap waktu, yang tidak akan berubah walau
orang yang melihatnya telah berubah. Derajat ini tidak akan dapat didapatkan
kecuali atas orang-orang yang berhasil menaklukkan jiwa-jiwa mereka, telah
mengarungi panjangnya perjalanan antara dia dan hati, dan panjangnya perjalanan
antara hati dan Allah dengan berjuang untuk menaklukkan jarak tersebut dengan
hati ikhlas kepada allah ta’ala (Lihat penjelasan ini semua dalam kitab Madaarijus
Saalikiin Hal 388-377 cet. Darul Hadist Mesir)[3].
Pada saat
Malaikat Jibril bertanya tentang konsep Iman, Islam dan ihsan, Rasulullah SAW menjawab
:”Bahwa Iman ialah hendaklah Engkau mengimankan Allah, Malaikat Allah, Kitab
kitab Allah, para Uusan Allah, Hari Qiyamat, dan mengimankan Taqdir, baik dan
buruknya adalah ketentuan Allah. Islam ialah hendaklah engkau bersaksi
bahwasanya tidak ada Tuhan yang patut disembah melainkan Allah, dan nabi
Muhammad adalah UtusaNYA, mendirikan Shalat, Menunaikan Zakat, berpuasa
Ramadhan, dan berangkat Haji bila telah mampu. Sedangkan Ihsan yaitu hendaklah
engkau beribadah kepada Allah seperti engkau melihatNYA, apabila tidak bias
demikian ,maka sesungguhnya Allah melihat engkau”.
Melihat makna
Hadist yang diriwayatkan Imam Bukhari diatas, Iman berarti kepercayaan hati
dibarengi dengan membenarkan segala apa yang disampaikan Rasulullah. Islam
berarti kepatuhan dan penyeragan lahiriyah dengan mengucapkan kalimat
syahadat.Dan Ihsan berarti, kejernihan dan keihlasan hati beribadah karena
Allah dengan sungguh sungguh. Antara ketiga kekuatan itu saling kerja sama dan
saling membutuhkan dalam mencapai puncak kerelaan Allah.
Iman sebagai
landasan Islam dan Ihsan, Islam sebagai bentuk manifestasi Iman dan Ihsan,
sedangkan Ihsan mengusahakan agar keimanan dan keislaman yang sempurna. Secara
lahiriyah orang tidak dapat dikatakan Islam manakala tidak mengucapkan
syahadat, ibadah shalat, zakat berpuasa ramadhan, dan menunaikan haji yang
merupakan pelaksanaan Ihsan secara lahiriyah, atau kesempurnaan Islam itu sama
sekali tidak berarti, jika tidak dilandasi Iman ( Tashdiq ) dan Islam ( membaca
syahadat ). Ibadah shalat, zakat, puasa, haji dan lain lain akan menjadi berarti
manakala ada Iman dan Islam, karena syarat Ihsan secara lahiriyah harus dengan
Iman dan Islam, meskipun sahnya Iman dan Islam itu tidak harus dengan Ihsan.
Memang Iman dan
Islam itu otonom jika dilihat dari keabsahanya, karena Iman dan Islam sudah
merupakan jaminan keselamatan dunia dan ahirat. Iman yang benar dapat
menyelamatkan dari keabadian siksa Neraka, sedangkan Islam dapat menjaga hak
hidup lahiriyah yang berhubungan dengan agama dan Mu’amalah, Munakahat, Waris
mewaris dan lain sebagainya. Tetapi kemungkinan Iman dan Islam itu akan menjadi
kering kerontang, bahkan musnah sama sekali dari lubuk hati, manakala tidak
mengakui atas segala dosa dosa yang telah dilakukanya, karena suatu dosa lambat
laun akan menyeret pelakunya pada kekufuran, jika tidak lekas di taubati.
Oleh sebab itu sebagai Mukmin yang baik disamping beriman dan berislam,
hendaklah melaksanakan segala kewajiban dan menjauhi segala larangan Allah SWT,
secara sadar, agar memperoleh Ihsan yang sebenarnya.[4]
C. Keterkaitan
Antara Ihsan Dengan Iman dan Islam
Iman, islam dan ihsan adalah 3 pilar bangunan islam.
Sehingga ihsan tidak bisa dilepaskan dari rukun iman dan rukun islam. Ketiganya
saling melengkapi. Kalau diilustrasikan fondasinya adalah rukun iman, pilar-pilar
dengan keseluruhan bangunan diatasnya adalah rukun islam dan ihsan sebagai
ruhnya. Jadi ihsan adalah penentu hadir dan tidaknya ruh seorang muslim dalam
menjalankan aturan islam. Ketika sesorang beriman, berislam namun tidak
berihsan, maka saat itu ia belum sampai pada ruh ajaran islam.
Islam memberitahukan kita tentang apa yang harus
dikerjakan, sedang iamn memberikan mereka sebuah pemahaman mengapa hal itu
penting untuk dikerjakan. Dan ihsan akan menghadirkan motivasi serta kualita
spsikologis seseorang menjadi selaras (harmonis) dengan perbuatan dan
pemahamannya.
Ihsan menambahkan kepada islam dan iman sebuah fokus niat
(kehendak hati). Ia menghendaki manusia agar mengarahkan kembali kehendak dan
pilihan mereka berdasarkan akan kehadiran Tuhan di dalam segala sesuatu.
Iman mengajarkan manusia mengapa mereka harus menjadi
hamba Allah dan menunjukkan jalan yang harus mereka lewati untuk menjadi
khalifah Allah. Ia menjelaskan bahwa perbuatan manusia secara mendasar berakar
di dalam Yang Maha Nyata (the real), dan bahwasanya kelak setelah kematian
perbuatan manusia akan menimbulkan dampak yang berlangsung terus menerus.[5]
B.Muraqabah
Dalam bahasa Arab arti muraqabah adalah awas mengawasi,
berintai-intaian. Dalam istilah Tasawwuf menurut al Qusyairy arti muraqabah
ialah: keadaan seseorang meyakini sepenuh hati bahwa Allah selalu melihat dan
mengawasi kita. Tuhan mengetahui seluruh ge rak-gerik kita dan bahkan apa-apa
yang terlintas dalam hati kita diketahui Allah.
Menurut imam al Ghazali, perkataan muraqabah sama artinya
dengan ihsan. Dan menurut Abu Zakariya Anshari, kata muraqabah jika dilihat
dari segi bahasanya (etimologi) dapat diartikan dengan selalu memperlihatkan
yang diperlihatkan. Sedang menurut istilahnya (terminologi) dikatakan,
senantiasa memandang dengan hati kepada Allah dan selalu memperhatikan apa yang
diciptakanNya dan tentang hukum-hukumNya. Jadi bisa dikatakan bahwa muraqabah
merupakan suatu sikap mental seseorang yang merasa dirinya diawasi, merasa
selalu berhadapan dengan Tuhan dalam kondisi apapun, kapanpun dan dimanapun.
Muraqabah merupakan pokok pangkal kebaikan, dan hal ini baru
dicapai oleh seseorang apabila sudah mengadakan muhasabah
(memperhitungkan) terhadap amal perbuatan sendiri.Jadi muraqabah merupakan
hasil dari pengetahuan dan pengenalan seseorang terhadap Allah, hukum-hukumNya
dan ancaman-ancamanNya. Apabila sikap muraqabah ini telah berakar kuat dalam
jiwa seseorang, seluruh budi pekertinya menjadi baik, selamatlah ia dari bencana
akhirat dan di dunia ini ia menjadi orang yang betul-betul beriman.
Dalam kitab Iqazdul Himam, muraqabah dibagi atas tiga
tingkatan: pertama: Muraqabatul
Qalbi, yaitu kewaspadaan dan peringatan terhadap hati, agar tidak keluar dari
kehadirannya dengan Allah. Kedua:
Muraqabatur Ruhi, yaitu: kewaspadaan dan peringatan terhadap ruh, agar selalu
merasa dalam pengawasan dan pengintaian Allah. Ketiga: Muraqabatus Sirri, yaitu, kewaspadaan dan peringatan
terhadap sir atau rahasia agar selalu mengingatkan amal ibadahnya dan
memperbaiki adabnya.
B. Ikhlas
Secara umum ikhlas berarti hilangnya rasa pamrih atas segala
sesuatu yang diperbuat.Menurut kaum Sufi, seperti dikemukakan Abu Zakariya al
Anshari, orang yang ikhlas adalah orang yang tidak mengharapkan apa-apa
lagi.Ikhlas itu bersihnya motif dalam berbuat, semata-mata hanya menuntut ridha
Allah tanpa menghiarukan imbalan dari selainNya.Dzun Al-Nun Al Misri mengatakan
ada tiga ciri orang ikhlas, yaitu; seimbang sikap dalam menerima pujian dan
celaan orang, lupa melihat perbuatan dirinya, dan lupa menuntut balasan di
akhirat kelak. Jadi dapat dikatakan bahwa ikhlas merupakan keadaan yang sama
dari sisi batin dan sisi lahir. Ikhlas dibagi 2, yaitu ikhlas mencari pahala
dan ikhlas amal.
Demikian halnya ihsan tidak cukup hanya dengan kebaikan
perbuatan lahiriah yakni islam), melainkan dengan pikiran dan sikap batiniah
yang selaras dengan perbuatan lahiriah. Tidak boleh ada pertentangan antara apa
yang dipikirkan manusia dengan apa yang dikerjakannya, atau antara diri mereka
sendiri dengan apa yang ada dalam pikiran mereka. Kepribadian manusia
membutuhkan keharmonisan, keseimbangan dan keutuhan, tanpa kecenderungan dan
gejolak yang mendorong menuju sejumlah arah yang saling bertentangan.Harmonitas
pribadi sering disebut sincerity (ketulusan)[6].
Ikhlas dalam perspektif sufistik, ikhlas di samping sebagai
bagian dari maqam yang perlu dilalui oleh seorang sufi untuk mendekatkan diri
kepada allah SWT, juga merupakan syarat sahnya suatu ibadah. Jika amal
perbuatan diibaratkan sebagai badan jasmani, maka ikhlas adalah roh atau
jiwanya. Hal ini berbeda sekali dengan
pandangan ulama fiqh yang menganggap bahwa ikhlas bukanlah syarat sahnya suatu
ibadah.
Kata ikhlas dikhususkan untuk memurnikan tujuan dalam
beribadah kepada allah SWT, yaitu memurnikan dari segala macam campur tangan
sesama makhluk. Sebab jika tujuan peribadatan itu sudah dicampurolehb riya’
(pamer), sombong, dan lain – lain itu
merupakan godaan hati.[7]Maka
amalan seperti itu tentulah sudah keluar dari pengertian ikhlas.
Hadits nabi yang dijadikan landasan tentang niat yang ikhlas
adalah hadits riwayat bukhari :” Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung
pada niat, sungguh bagi seseorang melakukan perbuatan itu tergantung pada niat,
sungguh bagi seseorang melakukan perbuatan menurut niatnya. Barangsiapa hijrah
kepada allah dan rasulNya, maka ia berhijrah kepada allah ia akan
memperolehnya, atau kepada perempuan yang ia nikahi, maka hijrahnya adalah
kepada yang diniatkannya itu” (HR.Bukhari).
Jadi, seorang yang ikhlas dalam beramalnya semata- mata
mendorong hidupnya untuk bertaqarrub
kepada allah karena ingin mendapat ridhoNYA. Keikhlasan yang demikian tidak akan tercipta melainkan dari seorang yang betul – betul
cinta kepada allah SWT. Dan tidak ada tempat sedikitpun dalam hatinya untuk mencintai harta kduniaan. Dan untuk
memperoleh cinta allah, usaha yang kita
lakukan adalah memperbanyak berbuat baik
kepada sesama manusia, khususnya kaum duafa. Dengan seringnya kita berbuat baik kepada sesama manusia
berarti secara tidak Langsung kita
membuka dan sekaligus akan mrmperoleh sebuah rahasia allah yang disebut ikhlas.[8]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1)
Iman, islam dalam ihsan adalah tiga pilar bangunan islam, sehingga ihsan
tidak bisa dilepaskan dari rukun iman dan rukun islam. Ketiganya saling
melengkapi. Ihsan adalah penentu hadir dan tidaknya ruh seorang muslim dalam
menjalankan aturan islam. Ketika seorang beriman, berislam namun tidak
berihsan, maka saat itu ia belum mencapai ruh ajaran islam dan belum mencapai
nikmatnya agama
2)
muraqabah merupakan hasil dari pengetahuan dan pengenalan seseorang terhadap
Allah, hukum-hukumNya dan ancaman-ancamanNya. Apabila sikap muraqabah ini telah
berakar kuat dalam jiwa seseorang, seluruh budi pekertinya menjadi baik.
3) Seorang yang ikhlas dalam amalnya adalah
seorang yang berbuat sesuatu dan tidak
ada pendorong karena dengan tujuan mendapat ridho kepada allah.
B.
SARAN
Hendaklah
seseorang berusaha untuk mencapai ihsan, muqarabah, dan ikhlas agar manusia
dapat mencapai nikmatnya iman dan islam. Semoga kita dijadikan orang yang
selalu bertaqwa, ikhlas dalam segala sesuatu serta beramal sholeh.Dan semoga
manusia dijauhkan dari segala hal yang dapat merusak dan meleburkan amal serta
hati.Amin !!!
[1]Muhfathurrahman. Word press. Com /2012 /09 /09 /ihsan
[2]
Arrifalahmad.blogspot.com/2011/07/hand-out-Akhlak tasawuf-oleh-nur.html
[3]
Arrifai ahmad.blogspot.com/2011/07/hand-out-Akkhlak-tasawuf-oleh-nur.html
[4]Pengkajian
pelita hati.Word press. Com/2011/10/12/Iman-islam-ihsan
[5]Salafy
muda.word press. Com
[6]Muhammad
fathurrohman. Word press.com /2012/09/09/Ihsan
[7] Amin syukur,tasawuf konstektual (Yogyakarta : PUSTAKA PELAJAR, 2003), hal.121
[8]
Ibid, hal.122
Tidak ada komentar:
Posting Komentar