Kamis, 14 November 2013

IHSAN



BAB II
PEMBAHASAN
B.     DefinisiIhsan
 Ihsan berasal dari kata husn, yang artinya menunjuk pada kualitas sesuatu yang baik dan indah.Dictionary menyatakan bahwa kata husn, dalam pengertian yang umum, bermakna setiap kualitas yang positif (kebajikan, kejujuran, indah, ramah, menyenangkan, selaras, dll). Selain itu, bisa dikatakan bahwa ihsan (bahasa Arab: احسان ) adalah kata dalam bahasa Arab yang berarti kesempurnaan atau terbaik. Dalam terminologi agama islam, ihsan berarti seseorang menyembah Allah seolah-olah ia melihatNya, dan jika ia tidak mampu membayangkan malihatNya, maka orang tersebut mambayangkan bahwa sesungguhnya Allah melihat perbuatannya. Dengan kata lain ikhlas dalam beribadah atau ikhlas dalam melaksanakan islam dan iman. Jadi ihsan menunjukkan satu kondisi kejiwaan manusia, berupa penghayatan bahwa dirinya senantiasa diawasi oleh Allah. Perasaan ini akan melahirkan sikap hati-hati waspada dan terkendalinya suasana jiwa.
Kata husn sering disamakan dengan kata khayr.Namun perlu diketahui bahwa husn adalah kebaikan yang tidak dapat dilepaskan dari keindahan dan sifat sifat yang memikat, sementara itu khayr merupakan suatu kebaikan yang memberikan kegunaan konkrit, sekalipun sesuatu tersebut tidak indah dan tidak bersifat memikat.Jadi bisa dikatakan bahwa husn lebih dari sekedar khair (baik).
Kata ihsan adalah sebuah kata kerja yang berarti berbuat atau menegakkan sesuatu yang baik atau indah.Al-Qur’an menggunakan kata ini dan bentuk aktifnya (fa’il) muhsin (orang yang mengerjakan sesuatu yang indah) dalam 70 ayat.Secara ku sesuatu yang indah, sehingga Muhsin merupakan salah satu dari nama-nama ketuhanan.
Ihsan secara ringkas adalah ketulusan dari kehendak dari intelegensi, ia adalah keterikatan total kita kepada kebenaran dan kepatuhan sepenuhnya kepada hukum, yang berarti bahwa kita disatu pihak mengenal kebenaran sepenuhnya bukan hanya sebagian, dan dipihak lain mematuhi hukum dengan selureuh keberadaan kita yang terdalam dan tidak hanya dengan setengah-setengah dan pura-pura.[1]







Para ulama sufi dalam mengartikan Ihsan  menjadi dua pengertian. Di antara mereka ada yang mengartikannya dengan pemahaman benar yang tidak melenceng dari makna hadits (Lihat arti ihsan sebagaimana yang dikatakan oleh al Kasani dalam Mu’jamul Istilaahat As Sufiyah al Kasani hal 286), dan banyak di antara mereka yang berani mengartikan kata ihsan dengan pemahaman wahdatul wujud.
Mereka mengatakan yang dimaksud ihsan pada pemahaman kedua yang salah bahwa ihsan adalah, “penglihatan diri Allah kepada hamba-Nya, dan penglihatan diri hamba kepada Rabbnya.Semisal suatu cermin di mana seorang dapat melihat dirinya di cermin tersebut.Orang yang Muhsin dia adalah seseorang yang dapat melihat al-Haq/Allah yang bersifatkan dengan sifat seorang hamba, maka hamba melihat-Nya berada dibalik sifat-sifatnya dengan tanpa perbedaan, dengan penuh keyakinan. Maka ia tidaklah melihat al haqiqah dengan haqiqah. Karena Allah ta’ala yang memperlihatkan sifat padanya dengan sifatnya.”(Lihat Istilah Al Kasani hal 53).
Di mana dalam pengertian di atas mereka telah menjadikan makna muraqabah / perasaan diri terhadap pengawasan Allah dengan penglihatan kepada Allah yang sebenarnya di segala hal (Lihat Lathaaif I’lam, 1/178).[2]
1.      Perbedaan Ihsan dengan Tasawuf
Ihsan dalam islam adalah tingkatan tertinggi di mana seorang hamba merasakan seakan dilihat dan diawasi oleh Allah, sehingga berpengaruh       dari setiap perilakunya. Namun ia tidak berkeyakinan bahwa ia bias            melihat Allah, karena Allah tidak mungkin dilihat di dunia ini.                    Sebagaimana kisah Nabi Musa yang ingin melihat Allah, maka Allah   mengatakan: “Kamu sekali-kali tak sanggup untuk melihat-Ku, tapi      lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala)      niscaya kamu dapat melihat-Ku. Tatkala Rabbnya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan.” (QS. Al-A’raf :143)                                                              
Karenanya, ihsannya islam adalah merupakan dari realisasi akidah yang kuat, sedangkan ihsannya sufi atau di dalam ajaran sufi secara umum telah banyak dilumuri dengan kesyirikan dan penyimpangan dalam berakidah. Dengan pengartian kata ihsan kepada wihdatul wujud atau penglihatan mata telanjang hamba kepada dzat Allah di dunia ini, atau dengan membayangkan dzat wali-wali mereka ketika shalat.
Islam Tidak Mengenal Ilmu LadunyKaporta ihsan juga diartikan lain oleh orang-orang sufi dengan keyakinan dan pemahaman mereka dengan adanya ilmu laduny. Di mana di antara mereka mengaku bahwa ia mendapat ilmu langsung dari Allah tanpa melalui Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibnu ‘Arabi mengatakan: “Dan di kalangan kami ada yang mengambil ilmu langsung dari Allah, maka ia menjadi pengganti Allah (Khalifatullah).”
Ini adalah ucapan yang batil, karena Al-Qur’an menjelaskan bahwa perintah dan larangan Allah disampaikan melalui Rasul-Nya, sebagaimana firman-Nya, yang artinya: “Hai Rasul, sampaikan apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu.” (QS. Al-Maidah: 67)
Ibnu ‘Arabi berkata: “Tuhan itu memang benar ada dan hamba itu juga benar ada Wahai kalau demikian siapa yang dibebani syariat? Bila engkau katakan yang ada ini adalah hamba, maka hamba itu mati atau (bila) engkau katakan yang ada ini adalah Tuhan lalu mana mungkin Dia dibebani syariat?”(Fushulul Hikam hal. 90).

2.      Kiat Menggapai Ihsan
Di dalam memahami kata ihsan sebagaimana yang telah Rasulullah sebutkan, dapat direalisasikan makna ihsan dalam tiga keadaan:
a.      Ihsan dalam niat dan tujuan. Ihsan dalam hal ini dengan tiga cara:
    • Membersihkan diri dengan ilmu di mana ia berusaha mengikuti konsekuensi dari ilmu yang ia ketahui, dengan berusaha mengikuti perintah dan syariat.
    • Memantapkan tekad dan kekuatan, yang tidak dihinggapi dengan futur dan kelemahan.
    • Membersihkan dan membereskan keadaannya. Di mana keadaan dia bersih dari kotoran dan kejelekan niat serta perbuatannya.
b.      Ihsan dalam segala keadaan, di mana ia akan menjaga keadaan dia dengan sebaik baiknya. Juga ia berusaha menutupi keadaan antara dia dengan Allah, di mana ia tidak akan menampakkannya kecuali memang diperlukan, juga senantiasa berusaha untuk terus memperbaiki keadaan dirinya dalam mewujudkan sesuatu yang diinginkan.
c.    Ihsan dalam segala waktunya, Sehingga tiada hilang perasaan bahwa Allah senantiasa mengawasi dia dalam setiap waktu dan keadaannya, yang kemudian tidak mencampurkan keinginannya kepada seorang pun, menjadikan hijrahnya kepada kebenaran ada di setiap waktu, yang tidak akan berubah walau orang yang melihatnya telah berubah. Derajat ini tidak akan dapat didapatkan kecuali atas orang-orang yang berhasil menaklukkan jiwa-jiwa mereka, telah mengarungi panjangnya perjalanan antara dia dan hati, dan panjangnya perjalanan antara hati dan Allah dengan berjuang untuk menaklukkan jarak tersebut dengan hati ikhlas kepada allah ta’ala (Lihat penjelasan ini semua dalam kitab Madaarijus Saalikiin Hal 388-377 cet. Darul Hadist Mesir)[3].
Pada saat Malaikat Jibril bertanya tentang konsep Iman, Islam dan           ihsan, Rasulullah SAW menjawab :”Bahwa Iman ialah hendaklah Engkau mengimankan Allah, Malaikat Allah, Kitab kitab Allah, para Uusan Allah, Hari Qiyamat, dan mengimankan Taqdir, baik dan buruknya adalah ketentuan Allah. Islam ialah hendaklah engkau bersaksi bahwasanya tidak ada Tuhan yang patut disembah melainkan Allah, dan nabi Muhammad adalah UtusaNYA, mendirikan Shalat, Menunaikan Zakat, berpuasa Ramadhan, dan berangkat Haji bila telah mampu. Sedangkan Ihsan yaitu hendaklah engkau beribadah kepada Allah seperti engkau melihatNYA, apabila tidak bias demikian ,maka sesungguhnya Allah melihat engkau”.
Melihat makna Hadist yang diriwayatkan Imam Bukhari diatas, Iman berarti kepercayaan hati dibarengi dengan membenarkan segala apa yang disampaikan Rasulullah. Islam berarti kepatuhan dan penyeragan lahiriyah dengan mengucapkan kalimat syahadat.Dan Ihsan berarti, kejernihan dan keihlasan hati beribadah karena Allah dengan sungguh sungguh. Antara ketiga kekuatan itu saling kerja sama dan saling membutuhkan dalam mencapai puncak kerelaan Allah.
Iman sebagai landasan Islam dan Ihsan, Islam sebagai bentuk manifestasi Iman dan Ihsan, sedangkan Ihsan mengusahakan agar keimanan dan keislaman yang sempurna. Secara lahiriyah orang tidak dapat dikatakan Islam manakala tidak mengucapkan syahadat, ibadah shalat, zakat berpuasa ramadhan, dan menunaikan haji yang merupakan pelaksanaan Ihsan secara lahiriyah, atau kesempurnaan Islam itu sama sekali tidak berarti, jika tidak dilandasi Iman ( Tashdiq ) dan Islam ( membaca syahadat ). Ibadah shalat, zakat, puasa, haji dan lain lain akan menjadi berarti manakala ada Iman dan Islam, karena syarat Ihsan secara lahiriyah harus dengan Iman dan Islam, meskipun sahnya Iman dan Islam itu tidak harus dengan Ihsan.
Memang Iman dan Islam itu otonom jika dilihat dari keabsahanya, karena Iman dan Islam sudah merupakan jaminan keselamatan dunia dan ahirat. Iman yang benar dapat menyelamatkan dari keabadian siksa Neraka, sedangkan Islam dapat menjaga hak hidup lahiriyah yang berhubungan dengan agama dan Mu’amalah, Munakahat, Waris mewaris dan lain sebagainya. Tetapi kemungkinan Iman dan Islam itu akan menjadi kering kerontang, bahkan musnah sama sekali dari lubuk hati, manakala tidak mengakui atas segala dosa dosa yang telah dilakukanya, karena suatu dosa lambat laun akan menyeret pelakunya pada kekufuran, jika tidak lekas di taubati.  Oleh sebab itu sebagai Mukmin yang baik disamping beriman dan berislam, hendaklah melaksanakan segala kewajiban dan menjauhi segala larangan Allah SWT, secara sadar, agar memperoleh Ihsan yang sebenarnya.[4]
C.    Keterkaitan Antara Ihsan Dengan Iman dan Islam
Iman, islam dan ihsan adalah 3 pilar bangunan islam. Sehingga ihsan tidak bisa dilepaskan dari rukun iman dan rukun islam. Ketiganya saling melengkapi. Kalau diilustrasikan fondasinya adalah rukun iman, pilar-pilar dengan keseluruhan bangunan diatasnya adalah rukun islam dan ihsan sebagai ruhnya. Jadi ihsan adalah penentu hadir dan tidaknya ruh seorang muslim dalam menjalankan aturan islam. Ketika sesorang beriman, berislam namun tidak berihsan, maka saat itu ia belum sampai pada ruh ajaran islam.
Islam memberitahukan kita tentang apa yang harus dikerjakan, sedang iamn memberikan mereka sebuah pemahaman mengapa hal itu penting untuk dikerjakan. Dan ihsan akan menghadirkan motivasi serta kualita spsikologis seseorang menjadi selaras (harmonis) dengan perbuatan dan pemahamannya.
Ihsan menambahkan kepada islam dan iman sebuah fokus niat (kehendak hati). Ia menghendaki manusia agar mengarahkan kembali kehendak dan pilihan mereka berdasarkan akan kehadiran Tuhan di dalam segala sesuatu.
Iman mengajarkan manusia mengapa mereka harus menjadi hamba Allah dan menunjukkan jalan yang harus mereka lewati untuk menjadi khalifah Allah. Ia menjelaskan bahwa perbuatan manusia secara mendasar berakar di dalam Yang Maha Nyata (the real), dan bahwasanya kelak setelah kematian perbuatan manusia akan menimbulkan dampak yang berlangsung terus menerus.[5]

B.Muraqabah
Dalam bahasa Arab arti muraqabah adalah awas mengawasi, berintai-intaian. Dalam istilah Tasawwuf menurut al Qusyairy arti muraqabah ialah: keadaan seseorang meyakini sepenuh hati bahwa Allah selalu melihat dan mengawasi kita. Tuhan mengetahui seluruh ge rak-gerik kita dan bahkan apa-apa yang terlintas dalam hati kita diketahui Allah.
Menurut imam al Ghazali, perkataan muraqabah sama artinya dengan ihsan. Dan menurut Abu Zakariya Anshari, kata muraqabah jika dilihat dari segi bahasanya (etimologi) dapat diartikan dengan selalu memperlihatkan yang diperlihatkan. Sedang menurut istilahnya (terminologi) dikatakan, senantiasa memandang dengan hati kepada Allah dan selalu memperhatikan apa yang diciptakanNya dan tentang hukum-hukumNya. Jadi bisa dikatakan bahwa muraqabah merupakan suatu sikap mental seseorang yang merasa dirinya diawasi, merasa selalu berhadapan dengan Tuhan dalam kondisi apapun, kapanpun dan dimanapun.
Muraqabah merupakan pokok pangkal kebaikan, dan hal ini baru dicapai oleh seseorang apabila sudah mengadakan muhasabah (memperhitungkan) terhadap amal perbuatan sendiri.Jadi muraqabah merupakan hasil dari pengetahuan dan pengenalan seseorang terhadap Allah, hukum-hukumNya dan ancaman-ancamanNya. Apabila sikap muraqabah ini telah berakar kuat dalam jiwa seseorang, seluruh budi pekertinya menjadi baik, selamatlah ia dari bencana akhirat dan di dunia ini ia menjadi orang yang betul-betul beriman.
Dalam kitab Iqazdul Himam, muraqabah dibagi atas tiga tingkatan: pertama: Muraqabatul Qalbi, yaitu kewaspadaan dan peringatan terhadap hati, agar tidak keluar dari kehadirannya dengan Allah. Kedua: Muraqabatur Ruhi, yaitu: kewaspadaan dan peringatan terhadap ruh, agar selalu merasa dalam pengawasan dan pengintaian Allah. Ketiga: Muraqabatus Sirri, yaitu, kewaspadaan dan peringatan terhadap sir atau rahasia agar selalu mengingatkan amal ibadahnya dan memperbaiki adabnya.
B.  Ikhlas
Secara umum ikhlas berarti hilangnya rasa pamrih atas segala sesuatu yang diperbuat.Menurut kaum Sufi, seperti dikemukakan Abu Zakariya al Anshari, orang yang ikhlas adalah orang yang tidak mengharapkan apa-apa lagi.Ikhlas itu bersihnya motif dalam berbuat, semata-mata hanya menuntut ridha Allah tanpa menghiarukan imbalan dari selainNya.Dzun Al-Nun Al Misri mengatakan ada tiga ciri orang ikhlas, yaitu; seimbang sikap dalam menerima pujian dan celaan orang, lupa melihat perbuatan dirinya, dan lupa menuntut balasan di akhirat kelak. Jadi dapat dikatakan bahwa ikhlas merupakan keadaan yang sama dari sisi batin dan sisi lahir. Ikhlas dibagi 2, yaitu ikhlas mencari pahala dan ikhlas amal.
Demikian halnya ihsan tidak cukup hanya dengan kebaikan perbuatan lahiriah yakni islam), melainkan dengan pikiran dan sikap batiniah yang selaras dengan perbuatan lahiriah. Tidak boleh ada pertentangan antara apa yang dipikirkan manusia dengan apa yang dikerjakannya, atau antara diri mereka sendiri dengan apa yang ada dalam pikiran mereka. Kepribadian manusia membutuhkan keharmonisan, keseimbangan dan keutuhan, tanpa kecenderungan dan gejolak yang mendorong menuju sejumlah arah yang saling bertentangan.Harmonitas pribadi sering disebut sincerity (ketulusan)[6].
Ikhlas dalam perspektif sufistik, ikhlas di samping sebagai bagian dari maqam yang perlu dilalui oleh seorang sufi untuk mendekatkan diri kepada allah SWT, juga merupakan syarat sahnya suatu ibadah. Jika amal perbuatan diibaratkan sebagai badan jasmani, maka ikhlas adalah roh atau jiwanya. Hal ini  berbeda sekali dengan pandangan ulama fiqh yang menganggap bahwa ikhlas bukanlah syarat sahnya suatu ibadah.
Kata ikhlas dikhususkan untuk memurnikan tujuan dalam beribadah kepada allah SWT, yaitu memurnikan dari segala macam campur tangan sesama makhluk. Sebab jika tujuan peribadatan itu sudah dicampurolehb riya’ (pamer), sombong, dan lain – lain  itu merupakan godaan hati.[7]Maka amalan seperti itu tentulah sudah keluar dari pengertian ikhlas.
Hadits nabi yang dijadikan landasan tentang niat yang ikhlas adalah hadits riwayat bukhari :” Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niat, sungguh bagi seseorang melakukan perbuatan itu tergantung pada niat, sungguh bagi seseorang melakukan perbuatan menurut niatnya. Barangsiapa hijrah kepada allah dan rasulNya, maka ia berhijrah kepada allah ia akan memperolehnya, atau kepada perempuan yang ia nikahi, maka hijrahnya adalah kepada yang diniatkannya itu” (HR.Bukhari).
Jadi, seorang yang ikhlas dalam beramalnya semata- mata mendorong hidupnya untuk  bertaqarrub kepada allah karena ingin mendapat ridhoNYA. Keikhlasan  yang demikian  tidak akan tercipta  melainkan dari seorang yang betul – betul cinta kepada allah SWT. Dan tidak ada tempat sedikitpun dalam hatinya  untuk mencintai harta kduniaan. Dan untuk memperoleh cinta allah, usaha yang  kita lakukan  adalah memperbanyak berbuat baik kepada sesama manusia, khususnya kaum duafa. Dengan seringnya  kita berbuat baik kepada sesama manusia berarti secara tidak Langsung  kita membuka dan sekaligus akan mrmperoleh sebuah rahasia allah yang disebut ikhlas.[8]
BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
1)   Iman, islam dalam ihsan adalah tiga pilar bangunan islam, sehingga ihsan tidak bisa dilepaskan dari rukun iman dan rukun islam. Ketiganya saling melengkapi. Ihsan adalah penentu hadir dan tidaknya ruh seorang muslim dalam menjalankan aturan islam. Ketika seorang beriman, berislam namun tidak berihsan, maka saat itu ia belum mencapai ruh ajaran islam dan belum mencapai nikmatnya agama
2) muraqabah merupakan hasil dari pengetahuan dan pengenalan seseorang terhadap Allah, hukum-hukumNya dan ancaman-ancamanNya. Apabila sikap muraqabah ini telah berakar kuat dalam jiwa seseorang, seluruh budi pekertinya menjadi baik.
3)   Seorang yang ikhlas dalam amalnya adalah seorang yang berbuat sesuatu  dan tidak ada pendorong karena dengan tujuan mendapat ridho kepada allah.
B.     SARAN
Hendaklah seseorang berusaha untuk mencapai ihsan, muqarabah, dan ikhlas agar manusia dapat mencapai nikmatnya iman dan islam. Semoga kita dijadikan orang yang selalu bertaqwa, ikhlas dalam segala sesuatu serta beramal sholeh.Dan semoga manusia dijauhkan dari segala hal yang dapat merusak dan meleburkan amal serta hati.Amin !!!





[1]Muhfathurrahman. Word press. Com  /2012 /09 /09 /ihsan
[2] Arrifalahmad.blogspot.com/2011/07/hand-out-Akhlak tasawuf-oleh-nur.html
[3] Arrifai ahmad.blogspot.com/2011/07/hand-out-Akkhlak-tasawuf-oleh-nur.html
[4]Pengkajian pelita hati.Word press. Com/2011/10/12/Iman-islam-ihsan
[5]Salafy muda.word press. Com
[6]Muhammad fathurrohman. Word press.com /2012/09/09/Ihsan
[7] Amin syukur,tasawuf konstektual (Yogyakarta : PUSTAKA PELAJAR, 2003), hal.121
[8] Ibid, hal.122

Tidak ada komentar:

Posting Komentar