Minggu, 10 November 2013

ilmu kalam: Khawarij dan Murjiah



MAKALAH
KHAWARIJ DAN MURJIAH

Diajukan untuk memenuhi tugas salah satu mata kuliah “Ilmu Kalam semester satu

Dosen Pengampu:
Ahmad Fauqi, Lc, MHI
                                                                                            





Disusun oleh:
1.      Rizal Fatkur Rochimin
(2831133047)
2.      Sidiq Darmanto
(2831133050)



JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) TULUNGAGUNG

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Kita sudah tahu apa yang terjadi ketika peperangan Shiffin antara Sayidina Ali dengan Sayidina Muawiyah ra. Pihak Sayidina Muawiyah hampir kalah lalu mereka mengangkat Mushaf pada ujung tombak dan menyerukan perhentian peperangan dengan bertahkim.Akibat itu golongan Ali terbagi menjadi dua golongan yaitu golongan yang setuju dengan tahkim dan golongan yang tidak setuju dengan tahkim. Mereka yang tidak setuju dengan tahkim beralasan bahwa orang yang mau berdamai pada ketika pertempuran adalah orang yang ragu akan pendiriannya, dalam kebenaran peperangan yang ditegakkannya. Hukum Allah sudah nyata kata mereka, siapa yang melawan khalifah yang sah harus diperangi.Kaum inilah yang dinamakan kaum Khawarij yaitu kaum yang keluar yakni keluar dari Saidina Muawiyah dan keluar dari Saidina Ali.
Kemudian selain Khawarij, umat islam juga mengenal aliran Murji’ah. Aliran Murji’ah ini merupakan golongan yang tak sepaham dengan kelompok Khawarij dan Syi’ah. Pengertian Murji’ah sendiri adalah penangguhan vonis hukuman atas perbuatan seseorang sampai di pengadilan Allah SWT, sehingga seorang muslim sekalipun berdosa besar dalam kelompok ini tetap diakui sebagai muslim dan mempunyai harapan untuk bertobat.
B.     Rumusan Masalah
a.       Bagaimana sejarah kemunculan Khawarij?
b.      Bagaimana pemikiran dan doktrin-doktrin Khawarij?
c.       Bagaimana perkembangan Khawarij?
d.      Bagaimana sejarah kemunculan Murji’ah?
e.       Bagaimana pemikiran dan doktrin-doktrin Murji’ah?
f.       Apa saja sekte-sekte Murji’ah?
g.      Perbandingan antara Khawarij dan Murji’ah.

C.    Tujuan Penulisan
Dalam penulisan makalah ini, kami mencoba mengulas tentang sejarah kemunculan khawarij, pemikiran dan doktrin-doktrin khawarij, perkembangan khawarij, sejarah kemunculan murji’ah, pemikiran dan doktrin-doktrin murji’ah, dan sekte-sekte murji’ah.
BAB II
PEMBAHASAN

A.       Khawarij
1.      Latar Belakang dan sejarah munculnya Khawarij.
Khawarij adalah aliran dalam teologi Islam yang pertama kali muncul. Menurut Ibnu Abi Bakar Ahmad al-Syahrastani, bahwa yang disebut Khawarij adalah setiap orang yang keluar dar imam yang hak dan telah disepakati para jama’ah, baik ia keluar pada masa Khulafaur Rasyidin, atau pada masa tabi’in secara baik-baik[1]. Nama Khawarij berasal dari kata “kharaja”  berarti keluar. Nama itu diberikan kepada mereka yang keluar dari barisan Ali.[2]
Khawarij sebagai sebuah aliran telogi adalah kaum yang terdiri dari pengikut Ali bin Abi Thalib yang meninggalkan barisannya, karena tidak setuju tehadap sikap Ali bin abi Thalib yang menerima arbitrase sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan khalifah dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Adapun yang dimaksud khawarij dalam terminology ilmu kalam adalah suatu sekte/kelompok/aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan barisan karena ketidaksepakatan terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase (tahkim), dalam perang Shiffin pada tahun 37/648 M dengan kelompok Muawiyah bin Abu Sufyan perihal persengketaan khalifah.
Kelompok Khawarij pada mulanya memandang Ali dan pasukannya berada di pihak yang benar karena Ali merupakan khalifah sah yang telah di bai’at mayoritas umat Islam, sementara Muawiyah berada di pihak yang salah karena memberontak khalifah yang sah.
Ali sebenarnya sudah mencium kelicikan di balik ajakan damai kelompok Muawiyah sehingga ia bermaksud menolak permintaan itu. Namun, karena  desakan pengikutnya seperti Al-asy’ats bin Qais, Mas’ud bin Fudaki at-Tamimi, dan Zaid bin Husein ath-Tha’I dengan sangat terpaksa Ali memerintahkan Al-Asytar (komandan pasukanya) untuk menghentikan peperangan.[3]
Setelah menerima ajakan damai, Ali bermaksud mengirimkan Abdullah bin Abbas sebagai delegasi juru damainya, tetapi orang-orang khawarij menolaknya. Mereka beranggapan bahwa Abdullah bin Abbas berasal dari kelompok Ali sendiri. Kemudian mereka mengusulkan agar Ali mengirim Abu Musa Al-Asy’ari dengan harapan dapat memutuskan perkara berdasarkan kitab Allah.Keputusan tahkim, yakni Ali diturunkan dari jabatannya sebagai khalifah oleh utusannya dan mengangkat Muawiyah menjadi khalifah pengganti Ali sangat mengecewakan kaum khawarij sehingga mereka membelot dan mengatakan,”mengapa kalian berhukum kepada manusia. Tidak ada hukum lain selain hukum yang ada disisi Allah”. Imam Ali menjawab, “itu adalah ungkapan yang benar, tetapi mereka artikan keliru”.Pada saat itu juga orang-orang khawarij keluar dari pasukan Ali dan langsung menuju Hurura.
Dengan arahan Abdullah al-Kiwa mereka smpai di Harura. Di Harura, kelompok khawarij ini melanjutkan perlawanan kepada Muawiyah dan juga Ali. Mereka mengangkat seorang pemimpin bernama Abdullah bin Shahab Ar-Rasyibi.[4]
2.      Doktrin-doktrin pokok Khawarij.
a.       Khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat islam.
b.      Khalifah tidak harus berasal dari keturunan Arab. Dengan demikian setiap orang muslim berhak menjadi khalifah apabila sudah memenuhi syarat.
c.       Khalifah dipilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syari’at Islam. Ia harus dijatuhkan bahkan dibunuh kalau melakukan kezaliman.
d.      Khalifah sebelum Ali (Abu Bakar, Umar, Utsman) adalah sah, tetapi setelah tahun ketujuh dari masa kekhalifahannya Utsman ra dianggap telah menyeleweng.
e.       Khalifah Ali adalah sah tetapi setelah terjadi arbitrase (tahkim), ia dianggap telah menyeleweng.
f.       Muawiyah dan Amr bin Ash serta Abu Musa Al-Asy’ari juga dianggap menyeleweng dan telah menjadi kafir.
g.      Pasukan perang Jamal yang melawan Ali juga kafir.
h.      Seseorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim sehingga harus dibunuh. Yang sangat anarkis (kacau) lagi, mereka menganggap bahwa seorang muslim dapat menjadi kafir apabila ia tidak mau membunuh muslim lain yang telah dianggap kafir dengan risiko ia menanggung beban harus dilenyapkan pula.
i.        Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka. Bila tidak mau bergabung, ia wajib diperangi karena hidup dalam dar al-harb (Negara musuh), sedang golongan mereka sendiri dianggap berada dalam dar al-islam (Negara islam).
j.        Seseorang harus menghindar dari pimpinan yang menyeleweng.
k.      Adanya wa’ad dan wa’id (orang yang baik harus masuk surga, sedangkan orang yang jahat harus masuk ke dalam neraka).
l.        Amar ma’ruf nahyi munkar.
m.    Memalingkan ayat-ayat Al-quran yang tampak mutasabihat (samar)
n.      Quran adalah makhluk.
o.      Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari Tuhan.
3.      Perkembangan Khawarij
Perkembangan khawarij semakin meluas dan terbagi menjadi dua golongan yang pertama bermarkas di sebuah negeri Bathaih yang menguasai dan mengontrol kaum Khawarij yang berada di Persia yang dikepalai oleh Nafi bin Azraq dan Qathar bin Faja’ah, dan golongan yang kedua bermuara di Arab daratan yang menguasai kaum khawarij yang berada di Yaman, Handharamaut, dan Thaif yang dikepalai oleh Abu Thalif, Najdah bin ‘Ami, dan abu Fudaika.
Terlepas dari berapa banyak subsekte pecahan Khawarij, tokoh-tokoh seperti Al-Bagdadi dan Al-Asfarayani, sepakat bahwa subsekte khawarij yang besar terdiri dari delapan macam, yaitu:
1.         Al-Muhakkimah                5. Al-Ajaridah
2.         Al-Azriqah                        6. As-Saalabiyah
3.         An-Nadjat                         7. Al-Abadiyah
4.         Al-Baihasiyah                   8. As-Sufriyah
Semua subsekte itu membicarakan persoalan hukum bagi orang yang berbuat dosa besar, apakah ia masih dianggap mukmin atau telah menjadi kafir. Tampaknya doktrin teologi ini tetap menjadi primadona dalam pemikiran mereka, sedangkan doktrin-doktrin lain hanya sebagai pelengkap saja.
Semua aliran yang bersifat radikal, pada perkembangan lebih lanjut, dikategorikan sebagai khawarij, selama didalamnya terdapat indikasi doktrin yang identik dengan aliran ini. Berkenaan dengan ini Harun Nasution mengidentifikasi beberapa indikasi aliran yang dapat dikategorikan sebagai aliran khawarij, yaitu:
a.       Mudah mengafirkan orang yang tidak segolongan dengan mereka walaupun orang itu adalah penganut agama Islam.
b.      Islam yang benar adalah islam yang mereka pahami dan amalkan.
c.       Orang-orang islam yang tersesat dan menjadi kafir perlu dibawa kembali pada islam yang sebenarnya, yaitu islam yang seperti mereka pahami dan amalkan.
d.      Karena pemerintahan dan ulama yang tidak sefaham dengan mereka adalah sesat, maka mereka memilih imam dari golongan mereka sendiri.
e.       Mereka bersifat fanatic dalam paham dan tidak segan-segan menggunakan kekerasan dan membunuh untuk tujuan mereka.
B.     Murji’ah
1.      Sejarah Kemunculan Murji’ah
Nama Murji’ah diambil dari kata irja atau arja’a yang bermakna penundaan, penangguhan, dan pengharapan.Kata arja’a mengandung pula arti memberi harapan, yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah.Selain itu, arja’a berarti pula meletakan di belakang atau mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan amal dari iman.Oleh karena itu, Murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing ke hari kiamat kelak.[5]
Aliran Murji’ah ini muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya kafir mengkafirkan terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana hal itu dilakukan oleh aliran khawarij. Mereka menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu.dihadapan Tuhan, karena hanya Tuhan-lah yang mengetahui keadaan iman seseorang.Demikian pula orang mukmin yang melakukan dosa besar masih dianggap mukmin dihadapan mereka.
Ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul Murji’ah. Teori pertama mengatakan bahwa gagasan irja atau arja’a dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam ketika terjadi pertikaian politik dan juga bertujuan untuk menghindari sekretarianisme (terikat pada satu aliran saja), baik sebagai kelompok politik maupun teologis.
Awal mula timbulnya Murji’ah adalah sebagai akibat dari gejolak dan ketegangan pertentangan politik yaitu soal khilafah (kekhalifahan) yang kemudian mengarah ke bidang teologi. Pertentangan politik ini terjadi sejak meninggalnya Khalifah Usman yang berlanjut sepanjang masa Khalifah Ali dengan puncak ketegangannya terjadi pada waktu perang Jamal dan perang Shiffin. Setelah terbunuhnya Khalifah Utsman Ibn Affan, umat islam terbagi menjadi dua golongan yaitu kelompok Ali dan Muawiyyah. Kelompok Ali lalu terpecah menjadi dua yaitu Syi’ah dan Khawarij.
Setelah wafatnya Ali, Muawiyyah mendirikan Dinasti Bani Umayyah (661M). Kaum Khawarij dan Syi’ah yang saling bermusuhan, mereka sama-sama menentang kekuasaan Bani Umayyah itu. Syi’ah menganggap bahwa Muawiyyah telah merampas kekuasaan dari tangan Ali dan keturunannya. Sementara itu, Khawarij tidak mendukung Muawiyyah karena ia dinilai telah menyimpang dari ajaran islam. Di antara ke tiga golongan itu terjadi saling mengkafirkan.
Dalam suasana pertentangan ini, timbul satu golongan baru yaitu Murji’ah yang ingin bersikap netral, tidak mau turut dalam praktek kafir mengkafirkan yang terjadi antara golongan yang bertentangan itu. Bagi mereka, sahabat-sahabat yang bertentangan itu merupakan orang-orang yang dapat dipercayai dan tidak keluar dari jalan yang benar. Oleh karena itu, mereka tidak mengeluarkan pendapat tentang siapa yang sebenarnya salah dan memandang lebih baik menunda penyelesaian persoalan ini ke hari perhitungan di hadapan Tuhan.
Dari persoalan politik mereka tidak dapat melepaskan diri dari persoalan teologis yang muncul di zamannya. Waktu itu terjadi perdebatan mengenai hukum orang yang berdosa besar. Persoalan dosa besar yang ditimbulkan kaum Khawarij mau tidak mau menjadi bahan perhatian dan pembahasan bagi mereka. Terhadap orang yang berbuat dosa besar, kaum Khawarij menjatuhkan hukum kafir sedangkan kaum Murji’ah menjatuhkan hukum mukmin. Argumentasi yang mereka ajukan dalam hal ini bahwa orang islam yang  berdosa besar itu tetap mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah Rasul-nya. Dengan kata lain, orang yang mengucapkan kedua kalimat syahadat menjadi dasar utama dari iman. Oleh karena itu, orang berdosa besar menurut pendapat golongan ini tetap mukmin dan bukan kafir.[6]
Aliran Murji’ah ini berkembang sangat subur pada masa pemerintahan Dinasti bani Umayyah, karena bersifat netral dan tidak memusuhi pemerintahan yang sah. Dalam perkembangan berikutnya, lambat laun aliran ini tak mempunyai bentuk lagi, bahkan beberapa ajarannya diakui oleh aliran kalam berikutnya. Sebagai aliran yang berdiri sendiri, golongan Murji’ah ekstrim pun sudah hilang  dan tidak bisa ditemui lagi sekarang. Namun ajaran-ajarannya yang masih ekstrim itu masih didapati pada sebagian umat Islam yang menjalankan ajaran-ajarannya. Kemungkinan mereka tidak sadar bahwa mereka sebenarnya mengikuti ajaran-ajaran golongan Murji’ah ekstrim.
2.      Pemikiran Dan Doktrin-Doktrin Murji’ah
Berkaitan dengan teologi Murji’ah, W. Montgomery Watt merincinya sebagai berikut :[7]
a.       Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Muawiyah hingga Allah memutuskannya di akhirat kelak.
b.      Penangguhan Ali untuk menduduki rangking keempat dalam peringkat Al-Khalifah Ar-Rasyidun.
c.       Pemberian harapan (giving of hope) terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
d.      Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai pengajaran (madzhab) para skeptis dan empiris dari kalangan Helenis.[8]
e.       Masih berkaitan dengan doktrin teologi Murji’ah, Harun Nasution menyebutkan empat ajaran pokoknya, yaitu :[9]
1)      Menunda hukuman atas Ali, Muawiyah, Amr bin Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ary yang terlibat tahkim dan menyerahkannya kepada Allah di hari kiamat kelak.
2)      Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.
3)      Meletakkan (pentingnya) imal daripada amal.
4)      Memberikan pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
Sementara itu, Abdul A’la al-Maududi menyebut ajaran Murji’ah dalam dua doktrin pokok, yaitu:
a.       Iman adalah percaya kepada Allah dan Rasul-nya saja. Adapun amal atau perbuatan tidak merupakan suatu keharusan bagi adanya iman. Berdasarkan hal ini, seseorang tetap dianggap mukmin walaupun meninggalkan perbuatan yang difardhukan dan melakukan dosa besar.
b.      Dasar keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada iman di hati, setiap maksiat tidak dapat mendatangkan madharat ataupun gangguan atas seseorang. Untuk dapat pengampunan, manusia cukup hanya dengan menjauhkan diri dari syirik dan mati dalam keadaan aqidah tauhid.
3.      Sekte-Sekte Murji’ah
Kemunculan sekte-sekte dalam kelompok Murji’ah tampaknya dipicu oleh perbedaan pendapat di kalangan para pendukung Murji’ah sendiri. Dalam hal ini, terdapat problem yang cukup mendasar ketika para pengamat mengklasifikasikan sekte-sekte Murji’ah. Kesulitannya antara lain karena ada beberapa tokoh aliran pemikiran tertentu yang diklaim oleh pengamat lain. Tokoh yang dimaksud antara lain Washil bin Atha dari Mu’tazilah dan Abu Hanifah dari ahlus Sunnah.[10]
Pimpinan dari kaum Murji’ah adalah Hasan Ibn Bilal al-Muzni, Abu Salat as-Saman, Tsauban, Dirar Ibn Umar. Penyair mereka yang  terkenal pada masa Bani Umayyah adalah Tsabit Ibn Quthanah yang mengarang sebuah syair tentang I’tiqad dan kepercayaan kaum Murji’ah.
Secara garis besar, kelompok Murji’ah terbagi kepada dua golongan yakni golongan moderat dan golongan ekstrim. Golongan Murji’ah moderat tetap teguh berpegang pada doktrin Murjiah di atas. Sementara itu, golongan Murji’ah ekstrim memiliki doktrin masing-masing. Yang termasuk golongan Murji’ah ekstrim antara lain:
a.       Golongan al-Jahmiyah yang dipelopori oleh Jahm Ibn Sofwan. Berpendapat bahwa iman adalah mempercayai Allah SWT, rasul-rasul-Nya, dan segala sesuatu yang datang dari Allah SWT. Sebaliknya, kafir adalah tidak mempercayai hal-hal tersebut di atas. Apabila seseorang sudah mempercayai Allah SWT, rasul-rasul-Nya, dan segala sesuatu yang datang dari Allah SWT, berarti ia mukmin meskipun ia menyatakan dalam perbuatannya hal-hal yang bertentangan dengan imannya, seperti berbuat dosa besar, menyembah berhala, dan minum minuman keras. Golongan ini juga meyakini bahwa surga  dan neraka itu tidak abadi, karena keabadian hanya bagi Allah SWT semat.
b.      Golongan al-Salihiyah dengan tokohnya  Abu Hasan as-Sahili. Sama dengan pendapat al-Jahmiyah, golongan ini berkeyakinan bahwa iman adalah semata-mata makrifat (mengetahui) kepada Allah SWT, sedangkan kufur (kafir) adalah sebaliknya yakni tidak mengetahui Allah SWT. Iman dan kufur itu tidak bertambah dan tidak berkurang. Menurut mereka, shalat itu tidak merupakan ibadah kepada Tuhan, karena yang disebut ibadah itu adalah beriman kepada Tuhan dalam arti mengetahui Tuhan.
c.       Golongan Yunusiah pengikut Yunus Ibn an-Namiri. Berpendapat bahwa iman adalah totalitas dari pengetahuan tentang Tuhan, kerendahan hati, dan tidak takabur. Kufur adalah kebalikan dari itu. Iblis dikatakan kafir bukan karena tidak  percaya kepada Tuhan, melainkan karena ketaburannya. Mereka juga percaya bahwa perbuatan jahat dan maksiat sama sekali tidak merusak iman.
d.      Golongan al-Ubaidiyah dipelopori oleh Ubaid al-Maktaib. Pendapatnya pada dasarnya sama dengan golongan al-Yunusiah. Sekte ini berpendapat bahwa jika seseorang meninggal dunia dalam keadaan beriman, semua dosa dan perbuatan jahatnya tidak akan merugikannya. Perbuatan jahat, banyak atau sedikit tidak merusak iman. Sebaliknya, perbuatan baik, banyak atau sedikit tidak akan memperbaiki posisi orang kafir.
e.       Golongan al-Gailaniyah dipelopori oleh Gailan al-Dimasyaqi. Berpendapat bahwa ima adalah makrifat (mengetahui) kepada Allah SWT melalui nalar dan menunjukkan sikap mahabbah (cinta) dan tunduk kepada-Nya.
f.       Golongan al-Saubaniyah dipimpin oleh Abu Sauban. Prinsip ajaranya sama dengan sekte al-Gailaniyah, namun mereka menambahkan bahwa yang termasuk iman adalah mengetahui dan mengakui sesuatu yang menurut akal wajib dikerjakan. Dengan demikian, sekte ini mengakui adanya kewajiban-kewajiban yang dapat diketahui akal sebelum datangnya syari’at.
g.      Golongan al-Marisiyah dipelopori oleh Bisyar al-Marisi. Berpendapat bahwa iman di samping meyakini dalam hati bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad SAW itu rasul-nya, juga harus diucapkan secara lisan. Jika tidak diyakini dalam hati dan diucapkan dengan lisan, maka bukan iman namanya. Sementara itu, kufur merupakan kebalikan dari iman.
h.      Golongan al-Karamiyah dipelopori oleh Muhammad Ibn Karram. Berpendapat bahwa iman adalah pengakuan secara lisan dan kufur adalah pengingkaran secara lisan. Mukmin dan kafirnya seseorang dapat diketahui melalui pengakuannya secara lisan.
i.        Golongan al-Khassaniyah. Berpendapat jika seseorang mengatakan, “saya tahu bahwa Tuhan melarang makan babi, tetapi saya tak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini”, orang yang demikian tetap mukmin dan bukan kafir. Jika seseorang mengatakan, “saya tahu Tuhan mewajibakan naik haji ke Ka’bah tetapi saya tak tahu apakah Ka’bah di India atau di tempat lain”, orang demikian juga tetap mukmin.
Menyikapi ajaran-ajaran Murji’ah yang ekstrim itu, menurut Harun Nasution ada bahayanya karena dapat membawa pada moral latitude, sikap memperlemah ikatan-ikatan moral atau masyarakat yang bersifat permissive, masyarakat yang dapat mentolelir penyimpangan-penyimpangan dari norma-norma akhlak yang berlaku. Karena yang dipentingkan hanyalah iman, norma-norma akhlak bisa dipandang kurang penting dan diabaikan oleh orang-orang yang menganut faham demikian. Oleh karena itu, nama Murji’ah pada akhirnya mengandung arti tidak baik dan tidak disenangi oleh mayoritas umat islam.

C.     Perbandingan Antara Khawarij dan Murji’ah.
Untuk melihat gambaran perbedaan pendapat antara aliran yang  terdapat dalam aliran Khawarij dan Murji’ah, berikut ini akan dipaparkan kembali berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, meliputi: Pelaku dosa besar, iman dan kufur.
Dalam hal menyikapi pelaku dosa besar, aliran Khawarij langsung memfonis bahwa semua pelaku dosa besar (murtabb al-kabirah), kecuali sekte al-Najdah, adalah kafir atau murtad sehingga wajib dibunuh dan akan disiksa di neraka selama-lamanya. Sekte al-Azariqah, menggunakan istilah musyrik, yaitu memandang musyrik terhadap yang tidak mau bergabung dengan barisan mereka dan yang tidak sefaham dengan mereka. Pelaku dosa besar (membunuh, berzina, dll) dalam pandangan mereka telah beralih status keimanannya menjadi kafir millah (agama) yang berarti telah keluar dari Islam, kekal di neraka bersama orang-orang kafir lainnya. Sekte al-Muhakimat menyatakan, Ali, Muawiyah, Amr bin Ash, Abu Musa al-Asy’ari, dan semua orang yang menyetujui arbitrase adalah bersalah dan menjadi kafir termasuk orang yang berbuat dosa besar (berzina, membunuh manusia tanpa sebab, dosa besar lainnya).
Sedangkan aliran Murji’ah memberikan pengharapan kepada masyarakat. Sekte Murji’ah ekstrim terkenal dengan kredonya bahwa perbuatan maksiat tidak dapat membawa kekufuran. Menurut mereka, keimanan terletak di dalam kalbu, adapun ucapan dan perbuatan tidak selamanya merupakan refleksi dari apa yang ada di dalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agam tidak berarti telah menggeser atau merusak keimanannya, bahkan keimanannya masih sempurna di mata tuhan. Mereka memandang pelaku dosa besar tidak akan disiksa di neraka. Adapun sekte Murji’ah moderat berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa dalam neraka, ia tidak kekal di dalamnya, bergantung pada ukuran dosa yang dilakukannya. Masih terbuka kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya hingga ia bebas dari siksaan neraka. Abu Hanifah dan pengikutnya termasuk pada sekte Murji’ah moderat ini.
Kemudian pendapat dalam hal menyikapi iman dan kufur, aliran Khawarij memandang masalah iman dan kufur lebih bertendensi politik ketimbang ilmiah-teoritis. Menurutnya, iman tidak semata-mata percaya kepada Allah. Mengerjakan segala perintah kewajiban agama juga merupakan bagian dari keimanan. Oleh karena itu, Khawarij menganggap kafir bagi siapapun yang beriman kepada Allah dan Muhammad Rasul-Nya, namun tidak melaksanakan perintah kewajiban agama dan malah melakukan dosa.
Aliran Murji’ah yang ekstrim berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam kalbu. Segala ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti menggeser atau merusak keimanannya, bahkan keimanannya masih sempurna dalam pandangan Tuhan. Sementara itu, Murji’ah moderat berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir meskipun  disiksa dalam neraka, ia tidak kekal di dalamnya, bergantung pada dosa yang dilakukannya.
BAB III
KESIMPULAN
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa :
a.       Khawarij sebagai sebuah aliran telogi adalah kaum yang terdiri dari pengikut Ali bin Abi Thalib yang meninggalkan barisannya, karena tidak setuju tehadap sikap Ali bin abi Thalib yang menerima arbitrase sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan khalifah dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
b.      Khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat islam, khalifah tidak harus berasl dari keturunan Arab, khalifah dipilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syariat, khalifah sebelum Ali adalah sah tetapi setelah tahun ketujuh dari masa khalifahnya, utsman ra dianggap menyeleweng,  Khalifah Ali adalah sah tetapi setelah terjadi arbitrase (tahkim) ia dianggap telah menyeleweng, Muawiyah dan Amr bin Al-Ash serta Abu Musa Al-Asy’ari juga dianggap menyeleweng dan telah menjadi kafir, Pasukan perang Jamal yang melawan Ali juga kafir, Seseorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim sehingga harus dibunuh, Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka, Seseorang harus menghindar dari pimpinan yang menyeleweng, Adanya wa’ad dan wa’id (orang yang baik harus masuk surga, sedangkan orang yang jahat harus masuk ke dalam neraka), Amar ma’ruf nahyi munkar, Memalingkan ayat-ayat Al-quran yang tampak mutasabihat (samar), Al-Quran adalah makhluk, Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari Tuhan.
c.       Perkembangan khawarij semakin meluas dan terbagi menjadi dua golongan yang pertama bermarkas di sebuah negeri Bathaih yang menguasai dan mengontrol kaum khawarij yang berada di Persia yang dikepalai oleh Nafi bin azraq dan Qathar bin Faja’ah, dan golongan yang kedua bermuara di Arab daratan yang menguasai kaum khawarij yang berada di Yaman, Handharamaut, dan Thaif yang dikepalai oleh Abu Thalif, Najdah bin ‘Ami, dan abu Fudaika.
d.      Aliran Murji’ah ini muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya kafir mengkafirkan terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana hal itu dilakukan oleh aliran khawarij. Mereka menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu.  dihadapan Tuhan, karena hanya Tuhan-lah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula orang mukmin yang melakukan dosa besar masih dianggap mukmin dihadapan mereka.
e.       Menurut W. Montgomery Watt merincinya sebagai berikut penangguhan keputusan terhadap Ali dan Muawiyah hingga Allah memutuskannya di akhirat kelak, Penangguhan Ali untuk menduduki rangking keempat dalam peringkat Al-Khalifah Ar-Rasyidun, Pemberian harapan (giving of hope) terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah, Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai pengajaran (madzhab) para skeptic dan empiris dari kalangan Helenis.
f.       Muhammad Imarah menyebutkan 12 sekte Murji’ah yaitu : Al-Jahmiyah, pengikut Jahm bin Shufwan; Ash-Shaliyah, pengikut Abu Musa Ash-Shalahi; Al-Yunushiyah pengikut Yunus As-Samary; As-Samriyah pengikut Abu Samr dan Yunus; Asy-Syaubaniyah pengikut Abu Syauban; Al-Ghailaniyah pengikut Abu Marwan al-Ghailan bin Marwan Ad-Dimsaqy; An-Najariyah pengikut Al-Husain bin Muhammad An-Najr; Al-Hanafiyah pengikut Abu Hanifah An-Nu’man; Asy-Syabibiyah pengikut Muhammad bin syabib; Al-Mu’aziyah pengikut Muadz Ath-Thaumi; Al-Murisiyah pengikut Basr Al-Murisyi; Al-Karamiyah pengikut Muhammad bin Karam As-Sijistany.

DAFTAR PUSTAKA
Abbas Siradjuddin. I’tiqad ahlussunnah wal jamaah, Pustaka Tarbiyah Baru, Jakarta, 2008.
Nata Abuddin. Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998.
Rozak Abdul, Rosihon Anwar. Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung, 2001.
Hamdani, Maslani, Ratu Suntiah. Ilmu Kalam, Sega Asry, 2011.



[1] Ibnu Abi Bakar Ahmad al-Syahratani, al-Milal wa al-Nihal, Dar al-Fikr, Libanon, Beirut, tt. Hlm. 114.
[2] Prof. Dr. Harun Nasution, Theology Islam, UI Press, Jakarta, cet.II, 1972, hlm. 11.
[3] Amir-Najjar, Al-Khawarij: Aqidatan wa fikratan wa falsafatan terj. Afif Muhammad dkk., Lentera. Cet I. Bandung, 1993, hlm. 5.
[4] Ibrahim Madzkur, Fi Al-falsafah Al-Islamiyah, Manhaj wa Tathbiquh, Juz II, Dar Al-Ma’arif, Mesir 1947, hlm. 109.

[5] Cyril Glasse, The concise Encyclopedia of Islam, Staceny international, London, 1989, hlm. 288-9; Departemen Agama RI, Ensiklopedi islam, 1990, hlm. 633-6; Ahmad Amin, Fajrul Islam, jilid I, Islam, Ej. Srill Leiden, 1961, hlm. 412
[6] Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Univesitas Indonesia, Jakarta, 1978), hlm. 23.
[7] W. Montgomery Watt. Early Islam: Collected Articels, Eidenburg, 1990, hlm. 181
[8] Helenis, Helenistik: Istilah yang dipakai secara tradisional oleh orang Yunani sendiri untuk menyebutkan nama etnik mereka. Mula-mula istilah tersebut digunakan oleh ahli sejarah Jerman Johan Gustav Droysen merujuk pada penyebaran peradaban Yunani pada bangsa bukan Yunani yang ditaklukkan oleh Alexander agung. Menurut Droysen, peradaban Helenistik adalah fusi atau gabungan dari peradaban Yunani dengan peradaban timur dekat. Pusat kebudayaan utama berkembang dari daratan Yunani ke Pergamon, Rhodes, Antioch dan Alexandria/Iskandariyah.
[9] Nasution, Teologi Islam, op. cit. hlm. 22-23
[10] Abul A’la Al-Maudidi, Al-Khalifah wa Al-Mulk, terj. Muhammad Al-baqir, Mizan, Bandung, 1994, hlm. 279-80

Tidak ada komentar:

Posting Komentar