Selasa, 29 November 2016

RESENSI ANTROPOLOGI AL_QUR”AN “Menguak Pandangan Pemikir timur tentang al-Qur’an dan budaya Arab”



Judul Buku     : Antropologi al-Qur’an : Model Dialektika Wahyu dan Budaya
Penulis                                                       : Dr. Ali Sodiqin
Penerbit                                                     : Ar-Ruzz Media
Tebal             : Sampul + 234 halaman + 1 lembar kosong di bagian belakang



Buku ini merupakan seri disertasi dari penulis, di dalam buku tersebut terdiri dari lima bab yaitu Bab I Prolog, yang terdiri dari tiga sub bab yaitu Wacana Autentisitas al-Quran, Fokus Kajian dan Tujuan Pembahasan, Serta Kerangka Teoritik aan Metode Penelitian. Lalu Bab II Kondisi Masyarakat Arab Pra-Islam yang terdiri dari empat sub bab yakni, Kondisi Geografis, Struktur Sosial Masyarakat Arab, Pluralitas Keagamaan dan yang terakhir Pranata-Pranata Sosial dan Hukum. Selanjutnya Bab III al-Qur’an dan Reformasi Sosial-Budaya yang tersusun dari empat sub bab, yang pertama Muhammad sebagai Agen Sosial-Budaya, disusul dengan Reformasi Fase Makkah, selanjutnya Reformasi Fase Madinah dan yang terakhir adalah Karakter Reformasi al-Qur’an. Kemudian Bab IV Dialektika al-Qur’an dengan Tradisi Arab yang dibagi menjadi tiga sub bab yaitu Model dialektika, al-Qur’an dan Formasi Sosial Masyarakat Arab, serta Sikap Masyarakat Arab. Dan ditutup dengan Bab V Dialektika dan Implikasinya pada Masa Kontemporer yang disusun menjadi tiga sub bab, yang pertama : Enkulturasi dan Problem Keautentikan, kedua : Al-Qur’an dan Reproduksi Kebudayaan, yang terakhir : Dialektika Islam dan Budaya Lokal pada Masa Kini.
Dalam Bab Pertama yaitu Prolog, di awal penjelasan dipaparkan problem mengenai keautentikan al-Qur’an, serta dijelaskan pula bagaimana al-Qur’an diturunkan sehingga memunculkan konsep makkiyah-madaniyah, asbab al-nuzul, dan nasikh mansukh. Konsep makiyyah-madaniyah tersebut tidak hanya sekedar pengategorian ayat berdasarkan tempat turunnya saja, tetapi pesannya juga terkait dengan problem kemasyarakatan di wilayah tersebut, begitu pula dengan konsep asbab al-nuzul  yang mengindikasikan adanya proses resiprokasi antara wahyu dengan realitas, yang seakan-akan wahyu memandu dan memberikan solusi terhadap problem-problem sosial yang muncul saat itu. Di sisi lain, nasikh mansukh merupakan proses penahapan pengiriman pesan ilahi dengan penyesuaian terhadap realitas yang berkembang.
Buku ini memfokuskan kajian pada tiga rumusan permasalahan yaitu :
1.      Mengapa al-qur’an mengadopsi berbagai tradisi Arab dalam proses pewahyuannya?
2.      Mengapa terjadi perbedaan respons al-Qur’an terhadap tradisi Arab? Apa alasan dan faktor yang mempengaruhinya?
3.      Bagaimana implikasi dari enkulturasi al-Qur’an terhadap kedudukan tradisi tersebut dalam ajaran Islam?
Kemudian alat analisis yang digunakan adalah Teori Models Pf Reality Dan Models For Reality Clifford Geertz, selain itu juga menggunakan Teori Asbab al-Nuzul, serta yang terakhir adalah Teori Enkulturasi Budaya. Kelebihan dari buku ini adalah kaya akan referensi dan penjabaran yang mudah dipahami.
Selanjutnya yakni Bab Kedua,  menjelaskan Kondisi Masyarakat Arab Pra-Islam. Kondisi Geografis, Jazirah arab, tempat pertama kali al-Quran diturunkan, adalah sebuah wilayah yang berbentuk semenanjung. Semenanjung arab atau disebut juga semenanjung barat daya Asia, merupakan semenanjung terbesar dalam peta dunia. Sebagian ahli menggambarkan wilayah ini berbentuk bujur sangkar dengan panjang kurang lebih 1300 mil dan lebar 750 mil. Wilayahnya membentang disebelah tenggara Fertile Crescent atau ddi sebelah barat daya benua Asia.
            Secara geografis, daerah ini terbagi menjadi tiga wilayah, yaitu:
1.      Arabia Petrix atau Petraea, yang terletak di barat daya padang pasir Syria. Wilayah ini berpusat di dataran Sinia, daerah kerajaan Nabasia yang beribukota di Petra.
2.      Arabia Deserta, yakni sebutan lain untuk daerah padang pasir Suriah sampai Mesopotamia (Badiyah)
3.      Arabia Felix, yaitu daerah Yaman. Wilayah ini adalah yang paling subur, dimana kaum Ma’in dan Saba’ bertempat tinggal dan membangun peradaban.
            Sedangkan secara politis, wilayah ini merupakan daerah yang terisolasi, dalam arti tidak menjadi bagian dari kerajan-kerajaan disekelilingnya. Pada saat itu terdapat tiga kerajaan besar yang ingin memperluas wilayah, yaitu Kekaisaran Persia, Kerajaan Romawi, dan Abyssinia.
            Meskipun Arabia tidak berada dibawah pemerintahan suatu kerajaan, namun wilayah ini terbagi dalam beberapa daerah provinsi. Provinsi-provinsi tersebut adalah:
1.      Tihama, merupakan dataran rendah yang terbentang sepanjang pantai laut Merah dari Yanbu’ sampai Najran di Yaman.
2.      Hijaz, terletak di sebelah utara Yaman dan timur Tihama.
3.      Nejed, yang membentang antara Yaman di selatan dan padang pasir Syria di utara serta Arud dan Iraq di sebelah timur.
4.      Yaman, yang membentang dari Nejed sampai lautan India di selatan dan laut Merah di sebelah barat.
5.      Al-Arudl, yang terdiri dari kota Yamamah dan Bahrain.
Kota makkah, tempat kelahiran Nabi Muhammad SAW., berada disekeliling gurun pasir Arab. Gurun pasir ini begitu luas dan tak berpenghuni sehingga dikenal dengan sebutan al-Rab al-Khali atau tempat yang sunyi. Kondisi geografis di Makkah tidak menguntungkan untuk pengembangan pertanian. Masyarakatnya kebanyakan berprofesi sebagai pedagang, tukang kayu, pandai besi, pembuat pedang, penyamak kulit, penjahit, penenun, dan money leendders.
            Berbeda dengan Makkah, kota Madinah merupakan wilayah yang subur dan menjadi pusat hasil pertanian. Kota ini terletak 250 mil sebelah utara Makkah dan merupakan daerah agrikultur yang kaya oasis.
            Selain itu ada kota yang bernama Thaif yang terletak disekitar wilayah yang ditumbuhi pepohonan lebatdi sebelah tenggara kota Makkah. Keindahan alamnya menjadi tempat penginapan bagi kalangan aristocrat Makkah pada musim panas.
            Secara kultural, Semenanjung Arab berada ditengah impitan budaya-budaya Mesir, Babilonia, dan Punjab. Sedangkan dari segi pengaruh kebudayaan luar, wilayah semenanjung Arab terbagi menjadi dua bagian, yakni kawasan-kawasan yang sedikit sekali terkena dampak budaya luar. Kawasan ini berada di jantung semenanjung Arabia. Yang kedua adalah kawaasan-kawasan yang mempunyai hubungan eratdengan duunia luar. Daerah ini berada di perkotaan dan wilayah-wilayah yang dekat dengan Negara-negara besar.
Struktur Sosial Masyarakat Arab, Bangsa Arab termasuk dalam ras Semit. Bahasa dan bangsa semit adalah istilah yang diberikan para sejarawan terhadap bangsa-bangsa yang berbahasa Arab, Ibrani, Ethiopia, Phoenisia, Assyria, dan Aramea. Sedangkan secara umum, penduduk Arab terbagi menjadi dua kelompok, yaitu ‘Arab atau penduduk kota dan A’rab atau penduduk desa.
Organisasi kesukuan dibangun berdasarkan system demokrasi. Struktur kekuasaan tertinggi  dipegang oleh kepala suku yang disebut dengan syaikh. Kepala suku dipilih berdasrkan keturunan atau sifat kebangsawanannya. Organisasi kesukuan yang ada hanya berlaku untuk satu suku saja, karena mereka alergi terhadap institusi yang berskala luas. Organisasi suku memiliki kedudukan yang vital dalam struktur masyarakat Arab. Seseorang akan diakui hak-haknya kalau dia bergabung atau menjadi anggota salah satu suku.
Sedangkan struktur kekerabatan masyarakat Arab adalah matriarchal dan patriarchal. Sistem matriarchal ditandai dengan adanya nama-nama feminim yang disandang beberappa klan. Indikasi lain terdapat dalam pembagian warisan, system balas dendam (blood-feud) , dan perkawinan. Nasab seseorang dalam sistem ini dinisbahkan kepada keluarga ibu. Sedangkan sistem patriarchal dominan berlaku di Makkah. Garis laki-laki dalam system ini menjadi penentu nasb seseorang.
            Secara politis wilayah Arabia, khususnya Hijaz, merupakan wilayah merdeka. Wilayah ini tidak berada di bawah kekuasaan kerajaan asing waktu itu, baik kerajaan Romawi Bizantium, Abyssinia, maupun kekaisaran Persia.
            Selain orang-orang Arab asli, dikenal juga kelompok mawali. Kelompok ini merupakan orang-orang non-Arab yang terdiri dari:
1.      Orang yang menggantungkan diri pada suatu kaum, tetapi bukan berasall dari golongannya
2.      Orang Arab tapi keturunan dari suku lain. Mereka meninggalkan sukunya ssendiri dan bergabung dengan suku yang lainnya.
3.      Tawanan perang yang sudah dibebaskan oleh tuuan-tuannya.
4.      Orang-orang non-Arab (al-A’’ajim) yang memiliki kepandaian dan keahlian.
Dalam sub bab tersendiri ada penjelasan mengenai Pluralitas Keagamaan. Pertama, yakni keberagamaan masyarakat Dalam masalah religiusitas. masyarakat Arab sudah memiliki konsep-konsep keberagamaan yang plural. Kepercayaan animisme, dinamisme, totemisme, dan politeisme terdapat dalam masyarakat. Disamping itu kepercayaan terhadap mnoteisme juga banyak penganutnya, baik yang beragama Kristen, Yahudi, Zoroaster, maupun penganut agama hanif. Disamping itu kepercayaan totemisme juga berkembang di kalangan bangsa Arab. Banyak suku yang menyembah dewa binatang sebagai pelindung dan pemelihara kehidupan mereka.
            Penganut politeisme kebanyakan adalah masyarakat suku Badui. Hal ini terkait dengan sifat hidup mereka yang tergantung sepenuhnya pada alam. Mereka juga memiliki dewa-dewa yang terkait dengan penghidupan mereka , seperti Dewi Manath, al-Lat, dan al-Uzza. Di samping dewa-dewa yang terkait dengan kehidupan, masyarakat Arab juga mengenal dewa-dewa dalam bentuk abstrak, seperti dewa waktu (dahr,zamman), keberuntungan (sa’d), karunia (rida), dan persahabatan (wadd). Akan tetapi meskipun masyarakat Arab menganut politeisme, namun mereka memiliki kepercayaan terhadap kekuatan adikodrati yang lebih tinggi.
            Disamping kepercayaan lokal, terdapat pula penganut agama-agama Ibrahim, seperti Yahudi, Nasrani, dan Zoroaster. Agama Yahudi berkembang di seanjang kota-kota oasis yang membentang dari seltan hingga pesisir utara laut Merah, termasuk kota Khaibar dan Yatsrib, sedangkan penganut Agama Nasrani tidak terlalu banyak di kalangan masyarakat Arab. Kebanyakan mereka berasal dari Syria dan Abyssinia dan tinggal di selatan Arabia. Yang terakhir adalah agama Zoroaster. Agama penyembah api ini berkembang di daerah-daerah yang berada dalam  kekuasaan kekaisaran Sasaniah di Persia.
            Agama-agama diatas, baik Yahudi, Nasrani maupun Zoroaster tidak banyak berkembang di Arab disebabkan karena sifat dan sikap orang Arab yang tidak mudah menerima pengaruh asing, termasuk keyakinan agama.
            Meskipun tidak menganut salah satu dari ketiga agama tersebut, orang Arab memiliki kepercayaan monoteisme yang disebut dengan agama hanif. Hanif merupakan kelompok beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, tetapi belum memeluk keyakinan tertentu.
Kedua yakni, tradisi keagamaan. Tradisi keagamaan yang sudah dipraktikkan suku Arab antar lain adalah  haji dan umrah, memuliakan hari jumat, sakralisasi bulan Ramadhan, dan mengagungkan bulan-bulan haram, yaitu: Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab.
            Haji dan umrah yang di lakukan oleh orang Arab pra-Islam juga seperti yang dipraktikkan umat Islam pada saat ini. Selain itu masyarakat Arab juga melakukan pertemuan umum pada hari jumat. Kalangan mutahannifin (pengikut tradisi agama hanif) mensakralkan bulan Ramadhan dan mengagungkan bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram karena ketiga bulan tersebut merupakan rentang waktu pelaksanaan ibadah haji.sedangkan bulan Rajab merupakan bulan untuk melakukan umrah. Keempat bulan tersebut dimuliakan dan disepakati untuk tidak melakkukan perang pada bulan-bulan tersebut.
Keempat, pranata-pranata sosial dan hukum. kesatuan masyarakat Arab adalah suku atau kabilah, bukan keluarga.masing-masing suku tidak ada hubungan, bahkan kadang terjadi perselisihan. Hal ini dikarenakan tidak adanya otoritas yang berwenang dalam menyelesaikan perkara dan perselisihan yang timbul antar suku atau antar kabilah diselesaikan dengan peperangan.hal ini terjadi karena tidak adanya perundang-undangan yang tertulis yang dapan dijadikan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah.
            Perjanjian antar suku yang sering timbul mengakibatkan dimunculkannya perjanjian antar suku yang disebut dengan Hilf al-Fudhul atau perjanjian istimewa.perjanjian ini berisikan kesepakatan untuk saling memberikan pertolongan dalam kehidupan dan mengembalikan keseimbangan sosial.
            Upaya untuk membentuk institusi yang mampu menangani persoalan kemasyarakatan Arab sebenarnya sudah dilakukan Qushay bin Kilab, nenek moyang suku Quraisy, mendirikan Dar al-Nadwah dan melalui lembaga tersebut di bentuklah pemerintahan yang dikenal dengan istilah Mala.
            Semua personil Mala berasal dari berbagai klan yang termasuk dalam suku Quraisy dan dari lembaga inilah pranata-pranata social dan hukum yang berlaku di Arab dapat dilacak.Di antara pranata-pranata social dan hokum yang berlaku di masyarakat Arab adalah:
a.       Lembaga perkawinan Masyarakat Arab sudah mengenal lembaga perkawinan dengan aturan-aturan yang khas. Model perkawinan yang dipraktikkan pada masa jahiliyah antara lain: perkawinan biasa seperti yang di kenal sekarang, poligami, poliandri, Mut’ah (pernikahan sesuai dengan kesepakatan ), Al-Sabyu (perkawinan laki-laki dengan perempuan dari suku yang kalah perang), perkawinan dengan budak, Al-Maqtu(perkawinan antara anak laki-laki dengan ibu tirinya karena bapaknya meninggal), Al-Istibda’(seorang laki-laki menyuruh istrinya bersetubuh dengan laki-laki lain), Al-Syighar, Mengawini dua orang perempuan bersaudara (adik kakak) dalam waktu yang sama.
b.      Hukum waris, Kelompok yang dapat mewarisi harta warisan adalah keluarga atau kerabat laki-laki yang memiliki kedekatan hubungan darah dengan pewaaris
c.       Adopsi atau mengangkat anak
d.      Hokum Qishash-Diyat
e.       Sistem transaksi
f.        Pasar raya
Selanjutnya, Bab Ketiga merupakan penjabaran mengenai diskursus reformasi budaya yang ada di Arap mulai dari kelahiran Nabi Saw hingga periode madinah. Bab ini bernamakan al-Qur’an dan Reformasi Sosial-Budaya. Penjabaran Bernuansa sejarah perkembangan al-Qur’an, dan memasukkan argmen-argumen Barat.
Sub bab Pertama berisikan sejarah kelahiran rasulullah, profil sebelum diangkat menjadi rasulullah yang meliputi statusnya sebagai yatim piatu, dan bergonta ganti pengasuh hingga akhirnya menikahdengan siti khadijah. Selanjutnya yakni penjelasan mengenai prosesi Muhammad mendapat Risalah agama Islam. Rasul mulai menyebarkan agama Islaam dengan sembunyi-sembunyi, dan secara terang-terangan. Penolakan terjadi dikalangan masyarakat Arab,  hingga Rasul memutuskan untuk berhijarah bersamaa pengikutnya ke Abbsyinia dengan pertimbangan,  Pertama, wilayaah Abbysinia jauh dari pengganggu. Kedua, penguasa Absinia, berpenduduk mayoritas kristen yang terkenal keramahannya. Ketiga, Rasul sudah mengenal daerah ini dan sering melakukan kontak perdagangan degan Makkah.
Setelah berhasil berhasil berhijrah, Rasul mendapat cobaan yakni ditinggal wafad dua  pelindung dirinya yaitu, Khadijah dan Abu Thallib. sekian tahun berda’wah di Makkah tidak memberikan hasil yang siginifikan, Rasul Muhammad dan rombongannya berhijrah ke Yatsrib (620 M). Disana, kedatangannya mendapat respon yang baik dari kalangan masyarakat Yatsrib bahkan Rasul diutus untuk menyatukan Perseteruan dua suku mengenai permasalahan sosial politik.
Di Yatsrib Rasul memunculkan konsepp Ummah, yang secara sederhana yakni suatu sistem  kesatuan masyarakat yang didasarkn pada kesetiaan terhadap kebenaran dan saling menolong. Aplikasinya dapat dilihat dalam pembentukan Piagam Madinah.
Rasul di Yatsrib juga menggalang kekuatan untuk mengantisipasi serangan dari Makkah. Kesangsian Rasul akhirnya terjadi, Makkah melakukan perlawanan-perlawanan yang dimulai dengan perang Badar, Uhud,  khandaq.  Selanjutnya, Rasul menginginkan untuk menakhlukkan makkah yang dikenal dengan periatiwa Fatkhul Makkah. Keinginan pun terlaksana, akan tetapi Rasul tetap menghadapi perang-perang lagi seperti,Perang Khaibar, perang Hunayn (Syawal 8 H/31 januari 630),
Sub bab kedua, Reformasi Fase Makkah. Ali Shadiqin mendiskripsikan bahwaasannya pesan-pesan al-Qur’an turun dimakkah menekankan pada ketauhidan, ketaqwaan, masalah eksatologi,ibadah ritual, dan etika sosial. Hal ini sangat relevan dengan realitas masyaarakat Makkah yang menyembah berhala (politeisme), orientasi pada kehidupan propan, dan melakukan praktik-praktik sosial yang eksploratif.
Al-qur’an mengenalkan keesaan Tuhan mula-mula dengan penyebutan tentang perbuatan dan sifat Tuhan. Internalisasi ajaran tauhid kedalam masyarakat Arab ditujukan untuk membebaskan mereka dari kettergantungan terhadap segala aspek, baik ekonomi, politik, sosial budaya. Ajaran ini menuju pembentukan masyarakat yang mengakui persamaan, persaudaraan, dan berkeadilan.
Berhala dimusnahkan sebagai tanda habisnya  masa paganisme dan menggantinya dengan monotheisme. Dari segi praktik ibadah diganti dengan perintah sholat. Hal seperti ini mudah ditangkab bagi mereka yang notabene adalah kalangan ekonomi lemah sebab tradisi Jahiliyah mengajarkan Stratifikasi yang berimbas pada segala aspek kehidupan, baik ekonomi politik maupun sosil.
Sub bab Ketiga mendiskripsikan Reformasi Fase Madinah. Fase yang menjadi kelanjutan dari Fase Makkah yang secara historis dimulai semenjak rasul berhijrah ke Yatsrib/wilayah yang kental dengan heterogenitas suku-sukunya (622 M). Fokus bergati yaitu membangun ideologi masyarakat baru berdaasarkan pesan-pesan al-Qur’an. Ayat-ayat al-Qur’an yang turun pada fase Madinah kebanyakan berisi tentang panduan untuk membangun komunitas sosial politik. Di samping itu, juga menekankan status Muhammad sebagai teladan, pemberi putusan, dan seorang reformer. Banyak aturan politik, ekonomi, dan sosial yang terdapat dalam ayat-ayat Madaniyah. Salah satu yang terlihat yaitu konsep Ummah yakni ikatan persaudaraan komuntas Islam berdasarkan loyalitas keagamaan. Dari segi ekonomi, dengan munculnya larangan riba,  segi politik ditandai dengan munculnya aturan Qishash. Aspek Ritual al-Qur’an mengenalkan kewajiban sholat, zakat puasa, dan haji dll. Aspek-aspek seperti ini menjadi rujukan pembangunan masyarakat sekarang.
Sub  bab Keempat mendiskripsikan karakter Reformasi al-Qur’an. Pesaan-pesan yang terdapat dalam al-Qur’an yang diwahyukan selama kerasulan Muhammad telah berhasil mereformasi sejumlah sistem masyarakat arab.  Secara umum, risalah al-Qur’an bertujuan untuk menegakan tata masyarakat yang etis dan egalitarian. Karakteristik-karakteristik reformasi ataupun transformasi al-Qur’an yang memberikan nilai-nilai baru, yakni:
1.      Dekonstruksi Sistem keyakinan, sangat nampak dari sisi keyakinan Politheisme dan Paganisme diganti oleh al-Qur’an dengan mengganti dengan paham Monotheisme. Al-Qur’an berusaaha mengubah pola pemikiran misti-irrasional masyarakat Arab dengan pola pikir logis-irrasional. Selain itu, al—Qur’an memperkenalkan konsep hari akhir disamping mengubah orientasi kehidupan, juga memperbaikikualitas tindakan manusia. dengan demikian, konsep tauhid atau monotheisme memiliki implikasi pada sistem keyakinan, pola pemikiran, serta tindakan masyarakat.
2.      Transformasi Nilai-nilai Modernitas, sistem yang berkembang di Arabia adalah sistem kesukuan yang bersifat tradisional. Hukum yang dipakai masih menggunakan hukum rimba. Kedudukan ditentukan dengan banyak sedikitnya harta yang dimiliki. Oleh karena itu, al-Qur’an membentuk konsep Ummah. Konsep yang berprinsip pada persaaudaraan seagama dan toleransi terhadap agama lain.
Transformasi modernitas lain yang diusung oleh al-qur’an yakni bidang ekonomi. Permasalahan yang disoroti adalah praktik riba. Riba di benahi dengan konsep keseimbangan kekayaan di kalangan masyarakat. Praktik riba yang eksploratif ditandingi dengan konsep zakat dan shadaqah yang humanis. Al-Qur’an juga melakukan transformasi nilai-nilai modernitas terhadap kaum perempuan yang mendapatkan perlakuan diskrimanatif..
3.      Rekonstruksi sistem hukum, Masyarakat sudah memiliki pranata-pranata sosial dan hukum yang mapan. Aturan-aturan yang berlaku sebelum islam masih terikat dengan tradisi atau kesukuan. Aturan-aturan yang digunakan yakni aturan kesukuan. Al-Qur’an tidak membuang aturan-aturan yang sudah ada seperti persoalan hukum perdata dan pidana akan tetapi, ayat-ayat al-Qur’an tidak membuang atau membongkarnya, akan tetapi l-Qur’anbersikap menata ulang atau memodifikasi. Rekonstruksi sistem al-Qur’an didasarkan pada prinsip kesamaan derajat, keadilan, dan nilai-nilai modernitas. Misalnya, tradisi jahiliyah sangat marak dengan kasus poligami dan poli andri, lalu al-Qur’an membahas hukum-hukum pada masing-masing kasus.
Selanjutnya yakni Bab Keempat, Dialektika al-Qur’an dengan Tradisi Arab. Bab ini akan menjelaskan tentang bagaimana pandangan Al Qur’an terhadap tradisi yang berlaku pada masyarakat Arab, sebai mana yang tertuang pada ayat-ayat nya. Alisis terhadap formasi ssosial yang dilakukan Al Quran melalui peran Nabi Muhammad didalamnya, untuk melihat bagaimana Al Qur’an membangan masyarakat yang telah berbudaya tanpa harus menghilangkan kebudayaan. Ajaran yang bersifat instrumental adalah bentuk-bentuk ajaran yang memiliki keterkaitan dengan adat istiadat yang sudah ada, atau ajaran yang dibangun menggunakan simbul budaya. Tetapi simbul itu bukan inti atas risalah tersebut, akan tetapi menjadi media yang menghubungkan antara Tuhan sebagai pengiri pesan dengan masyarakat Arap sebagai penerima pesan. Dlam teori komunikasi, efektifitas komunikasi dapat terjadi apabila antara pihak yang berkomunikasi menggunakan media yang bisa dipahami keduanya
Pemilihan ajaran fundamental denga ajaran instrumental dari perspektif historis-antropologi akan membantu dalam upaya dalam melakukan dialok agama dan budaya. Hal yang tidak kalah penting yakni melihat bagaimana respon masyarakat Arab terhadap upaya enkulturasi tersebut. dalam bab ini akan menganalisis 3 hal; yang pertama sikap Al Quran dalam tradisi Arab. Kedua formasi sosial masyarakat yang dilakukan oleh Al Quran. Ketiga respon masyarakat Arab terhadap ajaran Al Qur’an.
A.    Model dialektika
Penjelasan terhadap sikap al quran terhadap keberadaan adat istiadat masyarakat Arab. Toshihiko Izutsu mengklasifikasikan kosep system sosial kedalam 7 sub-bidang. 1) hubungan perkawinan 2)hubungan orang tuan dan anak 3)hokum waris 4) hokum criminal 5)hubungan bisnis 6) hokum tentang derma 7) hukum yang menyangkut keperudakan.
Konsep dalam Al qura’an akan dilihat apakah memiliki keterkaitan dengan sebelumnya atau tidak. Secara umum sikap al quran dalam merespon keberadn tradisi Arab dapat dikelompokan menjdi 3 yaitu.
1.      Tahmil (adoptive-complement), Tahmil atau apresiatif sebagai sikap menerima atau membiarkan berlakunya sebuuah tradisi.
a.       Sistem perdagangan,.Dalam masyarakat Arab kususnya Makah perdagangan sudah menjadi bagian dari kehidupan orang Arab. Respon al qur’an daam masalah ini terlihat apresiatif dalam pesan-pesanya. Ayat-ayat yang membahas tentang hal ini lebih bnyak terdapat pada surah Madaniah, terutama surah Al BAqoroh.
b.      Penghormatan terhadap Bulan-bulan Haram, Dalam bidang keagamaan tradisi yang diterima dan juga di apresiasi oleh al quran yani menghormati bulan bulan haram.
Respon al quran dalam meng hrmati bulan bulan-bulan haram ini bersifat apresiatif yani melanjutkan dan mengbsahkan keberlakuannya.  
2.      Tahrim (destructive), yakni sikap yang menolak keberlakuan sebuah tradisi masyarakat.  Yang termasuk dalam kategori ini yaitu kebiasaan berjudi, minum khamer, praktik riba, dan perbudakkan.
3.      Taghyir (adoptive-reconstructive), adalah sikap al qur’an yang menerima tradisi arap tetapi memodifikasinya sedemikian rupa sehingga berubah karakter dasarnya. Diantara tradisi Arab yang termasuk daam golongan ini adalah pakaian dan aurat perempuan, lembaga perkawian, anak angkat, hukum waris, dan qishos –diyat.
B.     Al Quran dan Formasi Sosian Masyarakat Arab
1.      Sasaran Enkulturasi Al-quran, Enkulturasi adalah proses pembudayaan nilai-nilai baru kedadal sau masyarakat yang sudah memilikki adat istiadat.  Dalam hal ini al quran berdialog dengan masyaraat tentang arti pentingnya nilai yang ditrasformasiakn sebagai suatu kebenaran.
a.       Enkulturasi alquran dalam pembinaan keluarga
Dalam pembinaan kkeluarga yang menjadi sasaran adalah masalah perkawinan dan kewarisan
b.      Enkulturasi alquran dalam penataan ketertiban sosisal, Sasaran al quran dalam bidang penataan ketertiban sosial adalah kebiasaan berjudi, minum minuman keras, praktik riba, dll.
c.       Enkulturasi al quran dalam masalah perlindungan harta dan kehidupan, Pembudayan al qur’an dalam hal nini meliputi pengaturan terhadap tindak kkriminalitas, mulai dari pencurian, pemerkosaan, hingga pembunuhan.
2.      Dasar Pelaksanaan Enkulturasi, Konsep dasar islam yang dikandung oleh al quran dan disebar luaskan oleh Nabi Muhammad adalah monoteisme atau tauhid. Prinsip inilah yang kemudian menjadi ajaran Islam dan mendasari semua bentuk ketetapan baik dalam masalah ibadah maupun muamalah.
a.       Kesetaraan sosial (social equity), Sejajar dengan konsep tauhid yang mendasarkan keyainan pada satu tuhan. Manusia sebagai mahluk tuhan memilii hak dan kewajiban yang sama, tanpa dipengaruhii status sosial maupun suku asal.
b.      Humanisasi tradisi, Humanisasi tradisi yang dimaksut yakni menjadikan sebuah tradisi atau kebiasaan masyarakat menjadi lebih manusiawi.
C.     Sikap Masyarakat Arab Terhadap al-Qur’an.
Sub bab ketiga yakni Sikap masyarakat Arab terhadap usaha enkulturasi yang dilakukan Rasulullah berdaarkaan al-Qur’an. Ketika Rasulullah menerima wahyu untuk disebarkan kepada masyarakat arab, respon yang diterimanya ada dua macam yakni menerima dan menolak.  Kelompok ini berasal dari dua kelompok yang berbeda dari segi stratifikasi sosial. Kelompok yang menerima sebagian besaar berasal dari kalangan masyarakat bawah, yaitu mereeka yang berasal dari kalangan masyarakat yang secara ekonomi dan politik kondisinya memprihatinkan. Sedangkan kelompok selanjutnya yakni dari kalangan penentang ajaran al-Qur’an. Mereka malah yang berasal dari kalangan aristokrat, bangsawan, tokoh yang sangat berpengaruh diberbagai aspek (sosial, politik,ekonomi, budaya, Agama),   Penolakan-penolakan terhadap ajaran yang dijabarkan oleh al-Qur’an disebabkan karena faktor politik. Mereka tidak mau kehilangan posisi centra atau posisi paling berpengaruh.
Pada bab kelima (Dialektika Dan Implikasinya Pada Masa Kontemporer) dalam buku ini menceritakan dialektika logis bagaimana al-Quran membentuk sebuah budaya. Dialektika antara wahyu dengan budaya lokal arab mengindikasikan adanya Enkulturasi, yakni proses dimana seseorang memperoleh pemahaman, orientasi, dan kemampuan dalam menerima dunia ideasional yang mendasari kebudayaannya sendiri. Dalam bahasa lain enkulturasi dapat diartikan juga penanaman nialai-niali al-Qur’an kedalam tradisi, dalam hal ini tradisi arab. Yang pada akhirnya, enkulturasi menuntut lahirnya produk budaya baru yang mensinergikan norma wahyu dengan budaya setempat.
Tentu, dalam proses enkulturasi tidak seperti menedipkan mata langsung jadi, pada sub-bab selanjutnya di jelaskan tahapan-tahapan bersenyawanya nilai-nilai al-Qur’an dengan tradisi arab. Proses Pertama “Pengadopsian”, yakni upaya al-Qur’an membuka diri bagi kebudayaan setempat sehingga menarik bagi masyarakat penerimanya Bagi suku-suku Arab yang sulit menerima pengaruh luar, baik berupa kepercayaan, norma, maupun pranata, upaya al-Qur’an dianggap sebagai penghargaan terhadap tradisi mereka. Mereka juga tidak mengalami shock culture, karena berhadapan dengan sesuatu yang asing.
Proses yang kedua, “Pengolahan tradisi” dengan mengenkulturasikan sejumlah nilai baru kedalamnya. Dalam tahap ini al-Qur’an memasukkan sejumlah aturanb baru berupa asas keadilan, kesetaraan social, pertanggung jawaban pribadi, dan etika penegakan hukumnya. Sosialisai nilai-nilai ini dilakukan secara bertahap sesuai dengan kepentingan hukum masyarakat yang tercermin dari problem social yang muncul. Saat itulah ayat-ayat al-Quran diturubkan untuk memberikan solusi sekaligus memberrikan pembelajaran bagi mereka. Tradisi yang sudah ada di fungsikan untuk mengatur berbagai kepentingan  dan kebutuhan hidup masyarakat.
Hasil dari Proses asimilasi tersebut  menghasilkan sebuah produk budaya baru yang merupakan hasil dialektika wahyu dan budaya. Wahyu menanamkan nilai-nilai baru ke dalam tatanan budaya lama sehingga menampakkan wujud baru yang berbeda. Dari enkulturasi yang dilakukan al-Qur’an berhasil menundukkan tatanan lama ke dalam inti ajarannya tanpa mengubah wujud simboliknya. Dari pandangan buku ini, kita bisa mulai memilah mana yang autentik wahyu (sesuatu yang murni bersifat universal dari tuhan bukan hasil cipta dan karsa) dan mana yang merupakan budaya arab.
Nabi Muhammad diutus sebgai agen tuhan dalam rangka mereformasi tatanan social budaya masyarakat yang penuh penyimpangan. Tuhan memandu Nabi untuk melakukan serangkaian perubahan social dalam masyarakat Arab. Al-Qur’an berusaha menarik orang-orang arab dengan mengadopsi kebiasaan mereka, pengadopsian ini terkait dengan ide perubahan social, dimana dalam masyarakat sebuah tradisi, norma, dan nilai memiliki kedudukan yang sentral. Ketika berhadapan dengan masyarakat yang berbudaya arab, maka terjadi arabisasi wahyu, yaitu wahyu yang bercorak budaya arab. Hal ini merupakan konsekuensi dari enkulturasi yang menggunakan symbol lokal sebagai media transformasinya.
Dengan demikian, tujuan al-Qur’an diwahyukan bukanlah nuntuk arabisasi, tetapi melakukan islamisasi kedalam system social budaya masyarakat arab. Di sinilah perlunya memilih antara yang universal dengan yang particular, anatara yang autentik islam dengan dengan yang tradisi arab.
Keauntentikan wahyu terletak pada sifat yang universal dan transcendental. Dimensi universal ini memberikan nilai-nilai yang sangat umum dan nilai-nilai kemanusiaan yang melampui ruang dan waktu. Nilai-nilai inlah yang harus di implementasikan ke dalam berbagai pranata social, hukum, dan budaya masyarakat di sepanjang waktu dan di semua tempat, sehingga yang autentik dan universal adalah ajaran tentang keadilan, kesetaraan, moralitas, dan dipertanggung jawabkan individu. Setiap pranata social harus dalam masyarakat harus mengacu pada asas keadilan, di tegakkan atas dasar kesetaraan social, berdasarkan moralitas, dan di berlakukan hanya kepada pelakunya. Ajaran inilah yang harus diimplementasikan, sedangkan bentuk atau pranata yang menjadi wadahnya diserahkan kepada kesepakatan masyarakat yang bersangkutan.
 Ajaran al-Qur’an yang berhubungan dengan budaya lokal ibarat pisau bermata dua. Sisi pertama al-Qur’an mengoreksi, memodernisasi, dan menjastifikasi keberadaan keberadaan pranata-pranata lama. Tujuannnya adalah untuk menyelesaikan problem social budaya masyarakat saat itu sesuai dengan kebiasaan yang sudah ada. Sisi pertama ini bersifat particular karena untuk kepentingan dan konteks tertentu. Menganggap yang particular sebagai yang universal adalah mempersenpit ruang gerak ajartan al-Qur’an, karena yang particular dikondisikan oleh konteks masyarakat waktu al-Qur’an di wahyukan.
Sisi kedua adalah al-Qur’an meletakkan niali-nilai baru yang universal dalam menyelesaikan persoalan umat manusia. Dalam konteks ini, nilai yang di enkulturasikan bersifat substansial, karena berupa prinsip dasar yang universal dan dan dapat di aplikasikan sepanjang masa. Prinsip daasar inilah yang harus selalu di terjemahkan, di rumuskan, dan diimplementasikan ke dalam system social budaya masyarakat sekarang. Targetntya bukan hanya masyarakat islam, tetapi untuk seluruh umat manusia berdasarkan ke universalan ajaran al-Qur’an sendiri.
Enkulturasi ajaran al-Qur’an dalam masyarakat modern tidak mengharuyskan adanya pendirian Negara islam. Artinya ajaran-ajaran al-Qur’an dapat diadaptasikan dalam system social buday tanpa harus mengubah bentuk sebuah Negara. Prinsip-prinsip dasar dalam al-Qur’an bukan semata-mata di tujukan untuk umat islam saja, tetapi untuk semua umat manusia di dunia. Di samping itu, umat islam juga tidak semuanya tinggal di Negara islam, namun mereka tetap memiliki kewajiban religious. Karena itu, transformasi ajaran islam tidak hanya menjadi kebutuhan umat islam, tetapi menjadi sebuah keharusan bagi mereka dimanapun berada. Hal ini dapat diartikan sebagai upaya memberikan kontribusi membangun masyarakat yang berasaskan keadilan dan kesetaraan.
Di akhir bab ini penulis ingin menyampaikan bahwa ajaran al-Quran yangt menjadi induk dari ajaran islam hendaknya menjadi media untuk menyatukan berbagai kepentingan, mengkombinasikan berbagai gagasan, dan menjembatani berbagai perbedaan diantara umat islam maupun umat manusia. Kandunganya harus selalu di gali untuk mewujudkan kemaslahatan umum bukan menguatkan kebenran kelompok tertentu. Sifat universalnya harus diaplikasikan untuk membangun sikap toleran, dan bukan  untuk menunjukkan sikap arogan. Dari awal di wahyukannya hingga sampai akhir zaman nanti, al-Qur’an harus tetap menjadi rahmatan lil ‘alamin.
Kelebihan karya ini yakni memetakan pola pikir pembaca dalam memahami peristiwa yang melingkupi peristiwa turunnya al-Qur’an yang dikaitkan dengan tradisi-tradisi yang ada dan berkembang di sekitar Arab. Sehingga menyadarkan pembaca akan kehebatan al-Qur’an yang mampu mengubah tradisi jahiliyah menjadi Arab yang beradap dari berbagai aspek. Nilai tambah lainnya yakni penyusun menyajikan penjelasan dengan menggunakan bahasa yang ringan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar