Judul Buku : Antropologi al-Qur’an : Model Dialektika
Wahyu dan Budaya
Penulis :
Dr. Ali Sodiqin
Penerbit :
Ar-Ruzz Media
Tebal : Sampul + 234 halaman + 1 lembar
kosong di bagian belakang
Buku
ini merupakan seri disertasi dari penulis, di dalam buku tersebut terdiri dari
lima bab yaitu Bab I Prolog, yang terdiri dari tiga sub bab yaitu Wacana
Autentisitas al-Quran, Fokus Kajian dan Tujuan Pembahasan, Serta Kerangka
Teoritik aan Metode Penelitian. Lalu Bab II Kondisi Masyarakat Arab Pra-Islam
yang terdiri dari empat sub bab yakni, Kondisi Geografis, Struktur Sosial
Masyarakat Arab, Pluralitas Keagamaan dan yang terakhir Pranata-Pranata Sosial
dan Hukum. Selanjutnya Bab III al-Qur’an dan Reformasi Sosial-Budaya yang
tersusun dari empat sub bab, yang pertama Muhammad sebagai Agen Sosial-Budaya,
disusul dengan Reformasi Fase Makkah, selanjutnya Reformasi Fase Madinah dan
yang terakhir adalah Karakter Reformasi al-Qur’an. Kemudian Bab IV Dialektika
al-Qur’an dengan Tradisi Arab yang dibagi menjadi tiga sub bab yaitu Model
dialektika, al-Qur’an dan Formasi Sosial Masyarakat Arab, serta Sikap Masyarakat
Arab. Dan ditutup dengan Bab V Dialektika dan Implikasinya pada Masa
Kontemporer yang disusun menjadi tiga sub bab, yang pertama : Enkulturasi dan
Problem Keautentikan, kedua : Al-Qur’an dan Reproduksi Kebudayaan, yang
terakhir : Dialektika Islam dan Budaya Lokal pada Masa Kini.
Dalam
Bab Pertama yaitu Prolog, di awal penjelasan dipaparkan problem
mengenai keautentikan al-Qur’an, serta dijelaskan pula bagaimana al-Qur’an
diturunkan sehingga memunculkan konsep makkiyah-madaniyah,
asbab al-nuzul, dan nasikh mansukh. Konsep
makiyyah-madaniyah tersebut tidak
hanya sekedar pengategorian ayat berdasarkan tempat turunnya saja, tetapi
pesannya juga terkait dengan problem kemasyarakatan di wilayah tersebut, begitu
pula dengan konsep asbab al-nuzul yang mengindikasikan adanya proses resiprokasi
antara wahyu dengan realitas, yang seakan-akan wahyu memandu dan memberikan
solusi terhadap problem-problem sosial yang muncul saat itu. Di sisi lain, nasikh mansukh merupakan proses
penahapan pengiriman pesan ilahi dengan penyesuaian terhadap realitas yang
berkembang.
Buku
ini memfokuskan kajian pada tiga rumusan permasalahan yaitu :
1.
Mengapa
al-qur’an mengadopsi berbagai tradisi Arab dalam proses pewahyuannya?
2.
Mengapa
terjadi perbedaan respons al-Qur’an terhadap tradisi Arab? Apa alasan dan
faktor yang mempengaruhinya?
3.
Bagaimana
implikasi dari enkulturasi al-Qur’an terhadap kedudukan tradisi tersebut dalam
ajaran Islam?
Kemudian
alat analisis yang digunakan adalah Teori Models
Pf Reality Dan Models For Reality Clifford
Geertz, selain itu juga menggunakan Teori Asbab
al-Nuzul, serta yang terakhir adalah Teori Enkulturasi Budaya. Kelebihan
dari buku ini adalah kaya akan referensi dan penjabaran yang mudah dipahami.
Selanjutnya
yakni Bab Kedua, menjelaskan Kondisi Masyarakat Arab Pra-Islam.
Kondisi Geografis, Jazirah arab, tempat pertama kali al-Quran
diturunkan, adalah sebuah wilayah yang berbentuk semenanjung. Semenanjung arab
atau disebut juga semenanjung barat daya Asia, merupakan semenanjung terbesar
dalam peta dunia. Sebagian ahli menggambarkan wilayah ini berbentuk bujur
sangkar dengan panjang kurang lebih 1300 mil dan lebar 750 mil. Wilayahnya
membentang disebelah tenggara Fertile Crescent atau ddi sebelah barat daya
benua Asia.
Secara geografis, daerah ini terbagi
menjadi tiga wilayah, yaitu:
1.
Arabia
Petrix atau Petraea, yang terletak di barat daya padang pasir Syria. Wilayah
ini berpusat di dataran Sinia, daerah kerajaan Nabasia yang beribukota di Petra.
2.
Arabia
Deserta, yakni sebutan lain untuk daerah padang pasir Suriah sampai Mesopotamia
(Badiyah)
3.
Arabia
Felix, yaitu daerah Yaman. Wilayah ini adalah yang paling subur, dimana kaum
Ma’in dan Saba’ bertempat tinggal dan membangun peradaban.
Sedangkan secara politis, wilayah
ini merupakan daerah yang terisolasi, dalam arti tidak menjadi bagian dari
kerajan-kerajaan disekelilingnya. Pada saat itu terdapat tiga kerajaan besar
yang ingin memperluas wilayah, yaitu Kekaisaran Persia, Kerajaan Romawi, dan
Abyssinia.
Meskipun Arabia tidak berada dibawah
pemerintahan suatu kerajaan, namun wilayah ini terbagi dalam beberapa daerah
provinsi. Provinsi-provinsi tersebut adalah:
1.
Tihama,
merupakan dataran rendah yang terbentang sepanjang pantai laut Merah dari
Yanbu’ sampai Najran di Yaman.
2.
Hijaz,
terletak di sebelah utara Yaman dan timur Tihama.
3.
Nejed,
yang membentang antara Yaman di selatan dan padang pasir Syria di utara serta
Arud dan Iraq di sebelah timur.
4.
Yaman,
yang membentang dari Nejed sampai lautan India di selatan dan laut Merah di
sebelah barat.
5.
Al-Arudl,
yang terdiri dari kota Yamamah dan Bahrain.
Kota
makkah, tempat kelahiran Nabi Muhammad SAW., berada disekeliling gurun pasir
Arab. Gurun pasir ini begitu luas dan tak berpenghuni sehingga dikenal dengan sebutan al-Rab
al-Khali atau tempat yang sunyi. Kondisi geografis di Makkah tidak
menguntungkan untuk pengembangan pertanian. Masyarakatnya kebanyakan berprofesi
sebagai pedagang, tukang kayu, pandai besi, pembuat pedang, penyamak kulit,
penjahit, penenun, dan money leendders.
Berbeda dengan Makkah, kota Madinah
merupakan wilayah yang subur dan menjadi pusat hasil pertanian. Kota ini
terletak 250 mil sebelah utara Makkah dan merupakan daerah agrikultur yang kaya
oasis.
Selain itu ada kota yang bernama
Thaif yang terletak disekitar wilayah yang ditumbuhi pepohonan lebatdi sebelah
tenggara kota Makkah. Keindahan alamnya menjadi tempat penginapan bagi kalangan
aristocrat Makkah pada musim panas.
Secara kultural, Semenanjung Arab
berada ditengah impitan budaya-budaya Mesir, Babilonia, dan Punjab. Sedangkan
dari segi pengaruh kebudayaan luar, wilayah semenanjung Arab terbagi menjadi
dua bagian, yakni kawasan-kawasan yang sedikit sekali terkena dampak budaya
luar. Kawasan ini berada di jantung semenanjung Arabia. Yang kedua adalah
kawaasan-kawasan yang mempunyai hubungan eratdengan duunia luar. Daerah ini
berada di perkotaan dan wilayah-wilayah yang dekat dengan Negara-negara besar.
Struktur
Sosial Masyarakat Arab, Bangsa Arab
termasuk dalam ras Semit. Bahasa dan bangsa semit adalah istilah yang diberikan
para sejarawan terhadap bangsa-bangsa yang berbahasa Arab, Ibrani, Ethiopia,
Phoenisia, Assyria, dan Aramea. Sedangkan secara umum, penduduk Arab terbagi
menjadi dua kelompok, yaitu ‘Arab atau penduduk kota dan A’rab atau
penduduk desa.
Organisasi
kesukuan dibangun berdasarkan system demokrasi. Struktur kekuasaan
tertinggi dipegang oleh kepala suku yang
disebut dengan syaikh. Kepala suku dipilih berdasrkan keturunan atau
sifat kebangsawanannya. Organisasi kesukuan yang ada hanya berlaku untuk satu
suku saja, karena mereka alergi terhadap institusi yang berskala luas.
Organisasi suku memiliki kedudukan yang vital dalam struktur masyarakat Arab.
Seseorang akan diakui hak-haknya kalau dia bergabung atau menjadi anggota salah
satu suku.
Sedangkan
struktur kekerabatan masyarakat Arab adalah matriarchal dan patriarchal.
Sistem matriarchal ditandai dengan adanya nama-nama feminim yang disandang
beberappa klan. Indikasi lain terdapat dalam pembagian warisan, system balas
dendam (blood-feud) , dan perkawinan. Nasab seseorang dalam sistem ini
dinisbahkan kepada keluarga ibu. Sedangkan sistem patriarchal dominan berlaku
di Makkah. Garis laki-laki dalam system ini menjadi penentu nasb seseorang.
Secara politis wilayah Arabia,
khususnya Hijaz, merupakan wilayah merdeka. Wilayah ini tidak berada di bawah
kekuasaan kerajaan asing waktu itu, baik kerajaan Romawi Bizantium, Abyssinia,
maupun kekaisaran Persia.
Selain orang-orang Arab asli,
dikenal juga kelompok mawali. Kelompok ini merupakan orang-orang
non-Arab yang terdiri dari:
1.
Orang
yang menggantungkan diri pada suatu kaum, tetapi bukan berasall dari
golongannya
2.
Orang
Arab tapi keturunan dari suku lain. Mereka meninggalkan sukunya ssendiri dan
bergabung dengan suku yang lainnya.
3.
Tawanan
perang yang sudah dibebaskan oleh tuuan-tuannya.
4.
Orang-orang
non-Arab (al-A’’ajim) yang memiliki kepandaian dan keahlian.
Dalam
sub bab tersendiri ada penjelasan mengenai Pluralitas
Keagamaan. Pertama, yakni keberagamaan
masyarakat Dalam masalah religiusitas. masyarakat Arab sudah memiliki
konsep-konsep keberagamaan yang plural. Kepercayaan animisme, dinamisme,
totemisme, dan politeisme terdapat dalam masyarakat. Disamping itu kepercayaan
terhadap mnoteisme juga banyak penganutnya, baik yang beragama Kristen, Yahudi,
Zoroaster, maupun penganut agama hanif. Disamping itu kepercayaan
totemisme juga berkembang di kalangan bangsa Arab. Banyak suku yang menyembah
dewa binatang sebagai pelindung dan pemelihara kehidupan mereka.
Penganut politeisme kebanyakan
adalah masyarakat suku Badui. Hal ini terkait dengan sifat hidup mereka yang
tergantung sepenuhnya pada alam. Mereka juga memiliki dewa-dewa yang terkait
dengan penghidupan mereka , seperti Dewi Manath, al-Lat, dan al-Uzza.
Di samping dewa-dewa yang terkait dengan kehidupan, masyarakat Arab juga
mengenal dewa-dewa dalam bentuk abstrak, seperti dewa waktu (dahr,zamman),
keberuntungan (sa’d), karunia (rida), dan persahabatan (wadd).
Akan tetapi meskipun masyarakat Arab menganut politeisme, namun mereka memiliki
kepercayaan terhadap kekuatan adikodrati yang lebih tinggi.
Disamping kepercayaan lokal,
terdapat pula penganut agama-agama Ibrahim, seperti Yahudi, Nasrani, dan
Zoroaster. Agama Yahudi berkembang di seanjang kota-kota oasis yang membentang
dari seltan hingga pesisir utara laut Merah, termasuk kota Khaibar dan Yatsrib,
sedangkan penganut Agama Nasrani tidak terlalu banyak di kalangan masyarakat
Arab. Kebanyakan mereka berasal dari Syria dan Abyssinia dan tinggal di selatan
Arabia. Yang terakhir adalah agama Zoroaster. Agama penyembah api ini
berkembang di daerah-daerah yang berada dalam
kekuasaan kekaisaran Sasaniah di Persia.
Agama-agama diatas, baik Yahudi,
Nasrani maupun Zoroaster tidak banyak berkembang di Arab disebabkan karena
sifat dan sikap orang Arab yang tidak mudah menerima pengaruh asing, termasuk
keyakinan agama.
Meskipun tidak menganut salah satu
dari ketiga agama tersebut, orang Arab memiliki kepercayaan monoteisme yang
disebut dengan agama hanif. Hanif merupakan kelompok beriman kepada
Tuhan Yang Maha Esa, tetapi belum memeluk keyakinan tertentu.
Kedua
yakni, tradisi keagamaan. Tradisi keagamaan yang sudah dipraktikkan
suku Arab antar lain adalah haji dan umrah,
memuliakan hari jumat, sakralisasi bulan Ramadhan, dan mengagungkan bulan-bulan
haram, yaitu: Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab.
Haji dan umrah yang di lakukan oleh
orang Arab pra-Islam juga seperti yang dipraktikkan umat Islam pada saat ini.
Selain itu masyarakat Arab juga melakukan pertemuan umum pada hari jumat.
Kalangan mutahannifin (pengikut tradisi agama hanif) mensakralkan bulan
Ramadhan dan mengagungkan bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram karena
ketiga bulan tersebut merupakan rentang waktu pelaksanaan ibadah haji.sedangkan
bulan Rajab merupakan bulan untuk melakukan umrah. Keempat bulan tersebut
dimuliakan dan disepakati untuk tidak melakkukan perang pada bulan-bulan
tersebut.
Keempat,
pranata-pranata sosial dan hukum. kesatuan
masyarakat Arab adalah suku atau kabilah, bukan keluarga.masing-masing suku
tidak ada hubungan, bahkan kadang terjadi perselisihan. Hal ini dikarenakan
tidak adanya otoritas yang berwenang dalam menyelesaikan
perkara dan perselisihan yang timbul antar suku atau antar kabilah diselesaikan
dengan peperangan.hal ini terjadi karena tidak adanya perundang-undangan yang
tertulis yang dapan dijadikan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah.
Perjanjian antar suku yang sering
timbul mengakibatkan dimunculkannya perjanjian antar suku yang disebut dengan Hilf
al-Fudhul atau perjanjian istimewa.perjanjian ini berisikan kesepakatan
untuk saling memberikan pertolongan dalam kehidupan dan mengembalikan
keseimbangan sosial.
Upaya untuk membentuk institusi yang
mampu menangani persoalan kemasyarakatan Arab sebenarnya sudah dilakukan Qushay
bin Kilab, nenek moyang suku Quraisy, mendirikan Dar al-Nadwah dan
melalui lembaga tersebut di bentuklah pemerintahan yang dikenal dengan istilah Mala.
Semua
personil Mala berasal dari berbagai klan yang termasuk dalam suku
Quraisy dan dari lembaga inilah pranata-pranata social dan hukum yang berlaku
di Arab dapat dilacak.Di antara pranata-pranata social dan hokum yang berlaku
di masyarakat Arab adalah:
a.
Lembaga
perkawinan Masyarakat Arab
sudah mengenal lembaga perkawinan dengan aturan-aturan yang khas. Model
perkawinan yang dipraktikkan pada masa jahiliyah antara lain: perkawinan biasa
seperti yang di kenal sekarang, poligami, poliandri, Mut’ah (pernikahan
sesuai dengan kesepakatan ), Al-Sabyu (perkawinan laki-laki dengan
perempuan dari suku yang kalah perang), perkawinan dengan budak, Al-Maqtu(perkawinan
antara anak laki-laki dengan ibu tirinya karena bapaknya meninggal),
Al-Istibda’(seorang laki-laki menyuruh istrinya bersetubuh dengan laki-laki
lain), Al-Syighar, Mengawini dua orang perempuan bersaudara (adik kakak)
dalam waktu yang sama.
b.
Hukum
waris, Kelompok yang dapat mewarisi harta
warisan adalah keluarga atau kerabat laki-laki yang memiliki kedekatan hubungan
darah dengan pewaaris
c.
Adopsi atau mengangkat anak
d.
Hokum Qishash-Diyat
e.
Sistem transaksi
f.
Pasar raya
Selanjutnya,
Bab Ketiga merupakan penjabaran mengenai diskursus reformasi
budaya yang ada di Arap mulai dari kelahiran Nabi Saw hingga periode madinah.
Bab ini bernamakan al-Qur’an dan Reformasi Sosial-Budaya. Penjabaran Bernuansa
sejarah perkembangan al-Qur’an, dan memasukkan argmen-argumen Barat.
Sub
bab Pertama berisikan sejarah kelahiran rasulullah, profil sebelum diangkat
menjadi rasulullah yang meliputi statusnya sebagai yatim piatu, dan bergonta
ganti pengasuh hingga akhirnya menikahdengan siti khadijah. Selanjutnya yakni
penjelasan mengenai prosesi Muhammad mendapat Risalah agama Islam. Rasul mulai
menyebarkan agama Islaam dengan sembunyi-sembunyi, dan secara terang-terangan.
Penolakan terjadi dikalangan masyarakat Arab,
hingga Rasul memutuskan untuk berhijarah bersamaa pengikutnya ke
Abbsyinia dengan pertimbangan, Pertama,
wilayaah Abbysinia jauh dari pengganggu. Kedua, penguasa Absinia,
berpenduduk mayoritas kristen yang terkenal keramahannya. Ketiga, Rasul
sudah mengenal daerah ini dan sering melakukan kontak perdagangan degan Makkah.
Setelah
berhasil berhasil berhijrah, Rasul mendapat cobaan yakni ditinggal wafad
dua pelindung dirinya yaitu, Khadijah
dan Abu Thallib. sekian tahun berda’wah di Makkah tidak memberikan hasil yang
siginifikan, Rasul Muhammad dan rombongannya berhijrah ke Yatsrib (620 M).
Disana, kedatangannya mendapat respon yang baik dari kalangan masyarakat
Yatsrib bahkan Rasul diutus untuk menyatukan Perseteruan dua suku mengenai
permasalahan sosial politik.
Di
Yatsrib Rasul memunculkan konsepp Ummah, yang secara sederhana yakni
suatu sistem kesatuan masyarakat yang
didasarkn pada kesetiaan terhadap kebenaran dan saling menolong. Aplikasinya
dapat dilihat dalam pembentukan Piagam Madinah.
Rasul
di Yatsrib juga menggalang kekuatan untuk mengantisipasi serangan dari Makkah.
Kesangsian Rasul akhirnya terjadi, Makkah melakukan perlawanan-perlawanan yang
dimulai dengan perang Badar, Uhud,
khandaq. Selanjutnya, Rasul
menginginkan untuk menakhlukkan makkah yang dikenal dengan periatiwa Fatkhul
Makkah. Keinginan pun terlaksana, akan tetapi Rasul tetap menghadapi
perang-perang lagi seperti,Perang Khaibar, perang Hunayn (Syawal 8 H/31 januari
630),
Sub
bab kedua, Reformasi Fase Makkah. Ali Shadiqin mendiskripsikan
bahwaasannya pesan-pesan al-Qur’an turun dimakkah menekankan pada ketauhidan,
ketaqwaan, masalah eksatologi,ibadah ritual, dan etika sosial. Hal ini sangat
relevan dengan realitas masyaarakat Makkah yang menyembah berhala (politeisme),
orientasi pada kehidupan propan, dan melakukan praktik-praktik sosial yang
eksploratif.
Al-qur’an
mengenalkan keesaan Tuhan mula-mula dengan penyebutan tentang perbuatan dan
sifat Tuhan. Internalisasi ajaran tauhid kedalam masyarakat Arab ditujukan
untuk membebaskan mereka dari kettergantungan terhadap segala aspek, baik
ekonomi, politik, sosial budaya. Ajaran ini menuju pembentukan masyarakat yang
mengakui persamaan, persaudaraan, dan berkeadilan.
Berhala
dimusnahkan sebagai tanda habisnya masa
paganisme dan menggantinya dengan monotheisme. Dari segi praktik ibadah diganti
dengan perintah sholat. Hal seperti ini mudah ditangkab bagi mereka yang
notabene adalah kalangan ekonomi lemah sebab tradisi Jahiliyah mengajarkan
Stratifikasi yang berimbas pada segala aspek kehidupan, baik ekonomi politik
maupun sosil.
Sub
bab Ketiga mendiskripsikan Reformasi Fase Madinah. Fase yang menjadi
kelanjutan dari Fase Makkah yang secara historis dimulai semenjak rasul
berhijrah ke Yatsrib/wilayah yang kental dengan heterogenitas suku-sukunya (622
M). Fokus bergati yaitu membangun ideologi masyarakat baru berdaasarkan
pesan-pesan al-Qur’an. Ayat-ayat al-Qur’an yang turun pada fase Madinah
kebanyakan berisi tentang panduan untuk membangun komunitas sosial politik. Di
samping itu, juga menekankan status Muhammad sebagai teladan, pemberi putusan,
dan seorang reformer. Banyak aturan politik, ekonomi, dan sosial yang terdapat
dalam ayat-ayat Madaniyah. Salah satu yang terlihat yaitu konsep Ummah
yakni ikatan persaudaraan komuntas Islam berdasarkan loyalitas keagamaan. Dari
segi ekonomi, dengan munculnya larangan riba,
segi politik ditandai dengan munculnya aturan Qishash. Aspek
Ritual al-Qur’an mengenalkan kewajiban sholat, zakat puasa, dan haji dll. Aspek-aspek
seperti ini menjadi rujukan pembangunan masyarakat sekarang.
Sub bab Keempat mendiskripsikan karakter
Reformasi al-Qur’an. Pesaan-pesan yang terdapat dalam al-Qur’an yang diwahyukan
selama kerasulan Muhammad telah berhasil mereformasi sejumlah sistem masyarakat
arab. Secara umum, risalah al-Qur’an
bertujuan untuk menegakan tata masyarakat yang etis dan egalitarian.
Karakteristik-karakteristik reformasi ataupun transformasi al-Qur’an yang
memberikan nilai-nilai baru, yakni:
1. Dekonstruksi Sistem
keyakinan, sangat nampak dari sisi keyakinan Politheisme dan Paganisme diganti
oleh al-Qur’an dengan mengganti dengan paham Monotheisme. Al-Qur’an
berusaaha mengubah pola pemikiran misti-irrasional masyarakat Arab
dengan pola pikir logis-irrasional. Selain itu, al—Qur’an memperkenalkan
konsep hari akhir disamping mengubah orientasi kehidupan, juga
memperbaikikualitas tindakan manusia. dengan demikian, konsep tauhid atau
monotheisme memiliki implikasi pada sistem keyakinan, pola pemikiran, serta
tindakan masyarakat.
2. Transformasi
Nilai-nilai Modernitas, sistem yang berkembang di Arabia adalah sistem kesukuan
yang bersifat tradisional. Hukum yang dipakai masih menggunakan hukum rimba.
Kedudukan ditentukan dengan banyak sedikitnya harta yang dimiliki. Oleh karena
itu, al-Qur’an membentuk konsep Ummah. Konsep yang berprinsip pada
persaaudaraan seagama dan toleransi terhadap agama lain.
Transformasi
modernitas lain yang diusung oleh al-qur’an yakni bidang ekonomi. Permasalahan
yang disoroti adalah praktik riba. Riba di benahi dengan konsep keseimbangan
kekayaan di kalangan masyarakat. Praktik riba yang eksploratif ditandingi
dengan konsep zakat dan shadaqah yang humanis. Al-Qur’an juga melakukan
transformasi nilai-nilai modernitas terhadap kaum perempuan yang mendapatkan
perlakuan diskrimanatif..
3. Rekonstruksi sistem
hukum, Masyarakat sudah memiliki pranata-pranata sosial dan hukum yang mapan.
Aturan-aturan yang berlaku sebelum islam masih terikat dengan tradisi atau
kesukuan. Aturan-aturan yang digunakan yakni aturan kesukuan. Al-Qur’an tidak
membuang aturan-aturan yang sudah ada seperti persoalan hukum perdata dan
pidana akan tetapi, ayat-ayat al-Qur’an tidak membuang atau membongkarnya, akan
tetapi l-Qur’anbersikap menata ulang atau memodifikasi. Rekonstruksi sistem
al-Qur’an didasarkan pada prinsip kesamaan derajat, keadilan, dan nilai-nilai
modernitas. Misalnya, tradisi jahiliyah sangat marak dengan kasus poligami dan
poli andri, lalu al-Qur’an membahas hukum-hukum pada masing-masing kasus.
Selanjutnya yakni Bab
Keempat, Dialektika al-Qur’an dengan Tradisi Arab. Bab ini akan
menjelaskan tentang bagaimana pandangan Al Qur’an terhadap tradisi yang berlaku
pada masyarakat Arab, sebai mana yang tertuang pada ayat-ayat nya. Alisis
terhadap formasi ssosial yang dilakukan Al Quran melalui peran Nabi Muhammad
didalamnya, untuk melihat bagaimana Al Qur’an membangan masyarakat yang telah
berbudaya tanpa harus menghilangkan kebudayaan. Ajaran yang bersifat
instrumental adalah bentuk-bentuk ajaran yang memiliki keterkaitan dengan adat
istiadat yang sudah ada, atau ajaran yang dibangun menggunakan simbul budaya.
Tetapi simbul itu bukan inti atas risalah tersebut, akan tetapi menjadi media
yang menghubungkan antara Tuhan sebagai pengiri pesan dengan masyarakat Arap
sebagai penerima pesan. Dlam teori komunikasi, efektifitas komunikasi dapat
terjadi apabila antara pihak yang berkomunikasi menggunakan media yang bisa
dipahami keduanya
Pemilihan ajaran
fundamental denga ajaran instrumental dari perspektif historis-antropologi akan
membantu dalam upaya dalam melakukan dialok agama dan budaya. Hal yang tidak
kalah penting yakni melihat bagaimana respon masyarakat Arab terhadap upaya
enkulturasi tersebut. dalam bab ini akan menganalisis 3 hal; yang pertama sikap
Al Quran dalam tradisi Arab. Kedua formasi sosial masyarakat yang dilakukan
oleh Al Quran. Ketiga respon masyarakat Arab terhadap ajaran Al Qur’an.
A.
Model dialektika
Penjelasan
terhadap sikap al quran terhadap keberadaan adat istiadat masyarakat Arab.
Toshihiko Izutsu mengklasifikasikan kosep system sosial kedalam 7 sub-bidang.
1) hubungan perkawinan 2)hubungan orang tuan dan anak 3)hokum waris 4) hokum
criminal 5)hubungan bisnis 6) hokum tentang derma 7) hukum yang menyangkut
keperudakan.
Konsep
dalam Al qura’an akan dilihat apakah memiliki keterkaitan dengan sebelumnya
atau tidak. Secara umum sikap al quran dalam merespon keberadn tradisi Arab
dapat dikelompokan menjdi 3 yaitu.
1.
Tahmil
(adoptive-complement), Tahmil atau apresiatif sebagai sikap menerima atau
membiarkan berlakunya sebuuah tradisi.
a.
Sistem perdagangan,.Dalam
masyarakat Arab kususnya Makah perdagangan sudah menjadi bagian dari kehidupan
orang Arab. Respon al qur’an daam masalah ini terlihat apresiatif dalam
pesan-pesanya. Ayat-ayat yang membahas tentang hal ini lebih bnyak terdapat
pada surah Madaniah, terutama surah Al BAqoroh.
b.
Penghormatan
terhadap Bulan-bulan Haram, Dalam bidang keagamaan tradisi yang diterima dan
juga di apresiasi oleh al quran yani menghormati bulan bulan haram.
Respon al quran dalam meng hrmati
bulan bulan-bulan haram ini bersifat apresiatif yani melanjutkan dan
mengbsahkan keberlakuannya.
2.
Tahrim
(destructive), yakni sikap yang menolak keberlakuan sebuah tradisi
masyarakat. Yang termasuk dalam kategori
ini yaitu kebiasaan berjudi, minum khamer, praktik riba, dan perbudakkan.
3.
Taghyir
(adoptive-reconstructive), adalah sikap al qur’an yang menerima tradisi arap
tetapi memodifikasinya sedemikian rupa sehingga berubah karakter dasarnya.
Diantara tradisi Arab yang termasuk daam golongan ini adalah pakaian dan aurat
perempuan, lembaga perkawian, anak angkat, hukum waris, dan qishos –diyat.
B.
Al Quran dan
Formasi Sosian Masyarakat Arab
1.
Sasaran
Enkulturasi Al-quran, Enkulturasi adalah proses pembudayaan nilai-nilai baru
kedadal sau masyarakat yang sudah memilikki adat istiadat. Dalam hal ini al quran berdialog dengan
masyaraat tentang arti pentingnya nilai yang ditrasformasiakn sebagai suatu
kebenaran.
a.
Enkulturasi
alquran dalam pembinaan keluarga
Dalam pembinaan kkeluarga yang menjadi
sasaran adalah masalah perkawinan dan kewarisan
b.
Enkulturasi
alquran dalam penataan ketertiban sosisal, Sasaran al quran dalam bidang
penataan ketertiban sosial adalah kebiasaan berjudi, minum minuman keras,
praktik riba, dll.
c.
Enkulturasi al
quran dalam masalah perlindungan harta dan kehidupan, Pembudayan al qur’an
dalam hal nini meliputi pengaturan terhadap tindak kkriminalitas, mulai dari
pencurian, pemerkosaan, hingga pembunuhan.
2.
Dasar
Pelaksanaan Enkulturasi, Konsep dasar islam yang dikandung oleh al quran dan
disebar luaskan oleh Nabi Muhammad adalah monoteisme atau tauhid. Prinsip
inilah yang kemudian menjadi ajaran Islam dan mendasari semua bentuk ketetapan
baik dalam masalah ibadah maupun muamalah.
a.
Kesetaraan
sosial (social equity), Sejajar dengan konsep tauhid yang mendasarkan keyainan
pada satu tuhan. Manusia sebagai mahluk tuhan memilii hak dan kewajiban yang
sama, tanpa dipengaruhii status sosial maupun suku asal.
b.
Humanisasi
tradisi, Humanisasi tradisi yang dimaksut yakni menjadikan sebuah tradisi atau
kebiasaan masyarakat menjadi lebih manusiawi.
C. Sikap Masyarakat Arab
Terhadap al-Qur’an.
Sub
bab ketiga yakni Sikap masyarakat Arab terhadap usaha enkulturasi yang
dilakukan Rasulullah berdaarkaan al-Qur’an. Ketika Rasulullah menerima wahyu
untuk disebarkan kepada masyarakat arab, respon yang diterimanya ada dua macam
yakni menerima dan menolak. Kelompok ini
berasal dari dua kelompok yang berbeda dari segi stratifikasi sosial. Kelompok
yang menerima sebagian besaar berasal dari kalangan masyarakat bawah, yaitu
mereeka yang berasal dari kalangan masyarakat yang secara ekonomi dan politik
kondisinya memprihatinkan. Sedangkan kelompok selanjutnya yakni dari kalangan
penentang ajaran al-Qur’an. Mereka malah yang berasal dari kalangan aristokrat,
bangsawan, tokoh yang sangat berpengaruh diberbagai aspek (sosial,
politik,ekonomi, budaya, Agama), Penolakan-penolakan terhadap ajaran yang
dijabarkan oleh al-Qur’an disebabkan karena faktor politik. Mereka tidak mau
kehilangan posisi centra atau posisi paling berpengaruh.
Pada
bab kelima (Dialektika
Dan Implikasinya Pada Masa Kontemporer) dalam buku ini menceritakan dialektika
logis bagaimana al-Quran membentuk sebuah budaya. Dialektika antara wahyu
dengan budaya lokal arab mengindikasikan adanya Enkulturasi, yakni proses
dimana seseorang memperoleh pemahaman, orientasi, dan kemampuan
dalam menerima dunia ideasional yang mendasari kebudayaannya sendiri. Dalam
bahasa lain enkulturasi dapat diartikan juga penanaman nialai-niali al-Qur’an
kedalam tradisi, dalam hal ini tradisi arab. Yang pada akhirnya, enkulturasi
menuntut lahirnya produk budaya baru yang mensinergikan norma wahyu dengan
budaya setempat.
Tentu,
dalam proses enkulturasi tidak seperti menedipkan mata langsung jadi, pada
sub-bab selanjutnya di jelaskan tahapan-tahapan bersenyawanya nilai-nilai
al-Qur’an dengan tradisi arab. Proses
Pertama “Pengadopsian”, yakni upaya al-Qur’an membuka diri bagi kebudayaan
setempat sehingga menarik bagi masyarakat penerimanya Bagi suku-suku Arab yang
sulit menerima pengaruh luar, baik berupa kepercayaan, norma, maupun pranata, upaya al-Qur’an dianggap sebagai
penghargaan terhadap tradisi mereka. Mereka juga tidak mengalami shock culture, karena berhadapan dengan
sesuatu yang asing.
Proses yang kedua, “Pengolahan
tradisi” dengan mengenkulturasikan sejumlah nilai baru kedalamnya. Dalam tahap
ini al-Qur’an memasukkan sejumlah aturanb baru berupa asas keadilan, kesetaraan
social, pertanggung jawaban pribadi, dan etika penegakan hukumnya. Sosialisai
nilai-nilai ini dilakukan secara bertahap sesuai dengan kepentingan hukum
masyarakat yang tercermin dari problem social yang muncul. Saat itulah ayat-ayat al-Quran diturubkan
untuk memberikan solusi sekaligus memberrikan pembelajaran bagi mereka. Tradisi
yang sudah ada di fungsikan untuk mengatur berbagai kepentingan dan kebutuhan hidup masyarakat.
Hasil
dari Proses asimilasi tersebut
menghasilkan sebuah produk budaya baru yang merupakan hasil dialektika
wahyu dan budaya. Wahyu menanamkan nilai-nilai baru ke dalam tatanan budaya
lama sehingga menampakkan wujud baru yang berbeda. Dari enkulturasi yang
dilakukan al-Qur’an berhasil menundukkan tatanan lama ke dalam inti ajarannya
tanpa mengubah wujud simboliknya. Dari pandangan buku ini, kita bisa mulai
memilah mana yang autentik wahyu (sesuatu yang murni bersifat universal dari
tuhan bukan hasil cipta dan karsa) dan mana yang merupakan budaya arab.
Nabi
Muhammad diutus sebgai agen tuhan dalam rangka mereformasi tatanan social
budaya masyarakat yang penuh penyimpangan. Tuhan memandu Nabi untuk melakukan
serangkaian perubahan social dalam masyarakat Arab. Al-Qur’an berusaha menarik
orang-orang arab dengan mengadopsi kebiasaan mereka, pengadopsian ini terkait
dengan ide perubahan social, dimana dalam masyarakat sebuah tradisi, norma, dan
nilai memiliki kedudukan yang sentral. Ketika berhadapan dengan masyarakat yang
berbudaya arab, maka terjadi arabisasi wahyu, yaitu wahyu yang bercorak budaya
arab. Hal ini merupakan konsekuensi dari enkulturasi yang menggunakan symbol
lokal sebagai media transformasinya.
Dengan
demikian, tujuan al-Qur’an diwahyukan bukanlah nuntuk arabisasi, tetapi
melakukan islamisasi kedalam system social budaya masyarakat arab. Di sinilah
perlunya memilih antara yang universal dengan yang particular, anatara yang
autentik islam dengan dengan yang tradisi arab.
Keauntentikan
wahyu terletak pada sifat yang universal dan transcendental. Dimensi universal
ini memberikan nilai-nilai yang sangat umum dan nilai-nilai kemanusiaan yang
melampui ruang dan waktu. Nilai-nilai inlah yang harus di implementasikan ke
dalam berbagai pranata social, hukum, dan budaya masyarakat di sepanjang waktu
dan di semua tempat, sehingga yang autentik dan universal adalah ajaran tentang
keadilan, kesetaraan, moralitas, dan dipertanggung jawabkan individu. Setiap
pranata social harus dalam masyarakat harus mengacu pada asas keadilan, di
tegakkan atas dasar kesetaraan social, berdasarkan moralitas, dan di berlakukan
hanya kepada pelakunya. Ajaran inilah yang harus diimplementasikan, sedangkan
bentuk atau pranata yang menjadi wadahnya diserahkan kepada kesepakatan
masyarakat yang bersangkutan.
Ajaran al-Qur’an yang berhubungan dengan
budaya lokal ibarat pisau bermata dua. Sisi pertama al-Qur’an mengoreksi,
memodernisasi, dan menjastifikasi keberadaan keberadaan pranata-pranata lama.
Tujuannnya adalah untuk menyelesaikan problem social budaya masyarakat saat itu
sesuai dengan kebiasaan yang sudah ada. Sisi pertama ini bersifat particular
karena untuk kepentingan dan konteks tertentu. Menganggap yang particular
sebagai yang universal adalah mempersenpit ruang gerak ajartan al-Qur’an,
karena yang particular dikondisikan oleh konteks masyarakat waktu al-Qur’an di
wahyukan.
Sisi
kedua adalah al-Qur’an meletakkan niali-nilai baru yang universal dalam
menyelesaikan persoalan umat manusia. Dalam konteks ini, nilai yang di
enkulturasikan bersifat substansial, karena berupa prinsip dasar yang universal
dan dan dapat di aplikasikan sepanjang masa. Prinsip daasar inilah yang harus
selalu di terjemahkan, di rumuskan, dan diimplementasikan ke dalam system
social budaya masyarakat sekarang. Targetntya bukan hanya masyarakat islam, tetapi
untuk seluruh umat manusia berdasarkan ke universalan ajaran al-Qur’an sendiri.
Enkulturasi
ajaran al-Qur’an dalam masyarakat modern tidak mengharuyskan adanya pendirian
Negara islam. Artinya ajaran-ajaran al-Qur’an dapat diadaptasikan dalam system
social buday tanpa harus mengubah bentuk sebuah Negara. Prinsip-prinsip dasar
dalam al-Qur’an bukan semata-mata di tujukan untuk umat islam saja, tetapi
untuk semua umat manusia di dunia. Di samping itu, umat islam juga tidak
semuanya tinggal di Negara islam, namun mereka tetap memiliki kewajiban
religious. Karena itu, transformasi ajaran islam tidak hanya menjadi kebutuhan
umat islam, tetapi menjadi sebuah keharusan bagi mereka dimanapun berada. Hal
ini dapat diartikan sebagai upaya memberikan kontribusi membangun masyarakat
yang berasaskan keadilan dan kesetaraan.
Di
akhir bab ini penulis ingin menyampaikan bahwa ajaran al-Quran yangt menjadi
induk dari ajaran islam hendaknya menjadi media untuk menyatukan berbagai
kepentingan, mengkombinasikan berbagai gagasan, dan menjembatani berbagai
perbedaan diantara umat islam maupun umat manusia. Kandunganya harus selalu di
gali untuk mewujudkan kemaslahatan umum bukan menguatkan kebenran kelompok
tertentu. Sifat universalnya harus diaplikasikan untuk membangun sikap toleran,
dan bukan untuk menunjukkan sikap
arogan. Dari awal di wahyukannya hingga sampai akhir zaman nanti, al-Qur’an
harus tetap menjadi rahmatan lil ‘alamin.
Kelebihan
karya ini yakni memetakan pola pikir pembaca dalam memahami peristiwa yang
melingkupi peristiwa turunnya al-Qur’an yang dikaitkan dengan tradisi-tradisi
yang ada dan berkembang di sekitar Arab. Sehingga menyadarkan pembaca akan
kehebatan al-Qur’an yang mampu mengubah tradisi jahiliyah menjadi Arab yang
beradap dari berbagai aspek. Nilai tambah lainnya yakni penyusun menyajikan
penjelasan dengan menggunakan bahasa yang ringan.