Rabu, 10 Januari 2018

SUDAHKAH ANDA MENJADI MAHASISWA?



Diferensiasi Filsafat Mahasiswa dengan Masyarakat
Mahasiswa adalalah status yang banyak digemari oleh banyak orang namun hanya segelintir saja yang benar-benar menjadi mahasiswa. Secara bahasa mahasiswa adalah Individu yang terikat oleh lembaga perguruan tinggi sebagai peserta didik .
Dalam bermasyarakat, mahasiswa merupakan menjadi anggapan central dari segala aktifitas baik dari etika, cara bergaul, hingga jiwa sosial. Pada masyarakat rejotangan misalnya, ada beberapa istilah yang tidak asing “sudah mahasiswa berarti sudah bia mikir”. Pendapat  ini muncul karena mahasiswa dianggap sebagai mahasiswa yang yang kreatif dan inovatif. Proses berfikir semenjak awal yakni sejak bangku SD, hingga jenjang SLTA sehingga memberikan pandangan orang bahwasannnya mahasiswa identik dengan daya kritis yang tinggi
Merujuk pada istilah “sudah mahasiswa berarti bisa mikir” ini bias dikaitkan dengan berfikir. Tentu ini bukan sekadar berfikir melainkan berfikir secara kritis dan komprehensif. Sebenarnya fungsi filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan memang diakui. Kata-kata “mikir” itu merupakan salah satu contoh dan orang yang melestarikan pendapat ini berarti juga menjadi dalah satu bagian dari kegiatan berfilsafat. (kegiatan berfilsafat). Namun, filsafat dikalangan masyarakat berbeda dengan filsafat mahasiswa. Masyarakat umum hanya berfikir secara logika yang dikaitkan dengan mitos catatan sejarah lokal. Misalnya perihal ramalan Raja Jaya baya yang membumi di tanah jawa. Ada ramalan yang mengatakan bahwa pada zaman yang sudah ramai nanti banyak orang yang tertawa sendiri, ada suara tetapi tidak wujud manusia, manusia bisa terbang dan lain-lain. Masyarakat awam dulu boleh jadi mengatakan iya dan tidak. Kalaupun iya berarti alasannya juga berlandaskan mitos. Orang yang mampu mengerjakan suatu aktifitas diluar akal umum hanya orang-orang yang mempunyai kelebihan khusus atau istilahnya “Ajian”, contoh Ajian Makhlik rupa (berganti bentuk), Ajian Halimunan (untuk menghilang). Ajianpun jika ditarik kesimpulan adalah mitos. Perihal etika, misal “Jangan menikah dengan menikah dengan orang yang tempat tinggalnya ada kesamaan bunyi kata atau suku kata (contoh: Padangan dengan kalangan). Adab ini kalau dilanggar akan menimbulkan bencania atau kematian. Filsafat memandang ini sebuah mitos, tetapi kenyataan lapangan memang seperti itu terlebih masyarakat jawa majapahitan.
Lain halnya dengan filsafat mahasiswa. Mahasiswa belajar filsafat secara ilmiah menjadi suatu kewajiban. Cara berfikir mahasiswa pun berbeda dengan masyarakat awam. Filsafat mahasiswa tidak hanya menggunakan mitos-mitos tetapi membuktikan bahwasanya mitos itu termasuk bagian dari filsafat. Filsafat mahasiswa berarti berfilsafat sesuai dengan definisinya yakni suatu cara berfikir yang radikal dan menyeluruh, suatu cara berfikir yang mengupas sesuatu sedalam-dalamnya.[1]   Pengetahuan-pengetahuan Filsafat mahasiswa tidak bersifat umum tapi sudah khusus. Pembahasan sudah bersifat mengerucut. Pembahasan filsafat bagi  mahasiswa itu tidak berifat “Intinya Adalah” melainkan “hal ini terjadi karena”. Titik perbedaan mencolok filsafat -filsafat mahasiswa terletak pada  metode metode ataupun kerangka berfikir secara ilmiah. Adapun dalam hal ini berarti maahasiswa individu ataupun golongan kelompok muda yang kritis, universal, menggunakan rasionalitasnyadalam melihat permasalahan atau fakta yang ada didepannya.
Tidak jauh berbeda dengan plato, socrates, dsb. Mereka sudah sangat pantas mendapatkan gelar filosof karena kejeniusannya dalam mengembangkan pemikirannya. Apakah dia mengenyam pendidikan? Pastinya iya. Mereka mampu mengombinasikan dan mengembangkan pemikirannya sendiri dengan metode yang mereka rasa benar. Mereka semua tidak menafikan akal budi sebagai corak berfikir mereka. Terbukti, pemikiran-pemikiranya sudah membaur di segala lapisan masyarakat dan mahasiswa. Baik secara langsung maupun tidak langsung.
Mahasiswa dianggap kaum yang mencapai akal teoritis
Mahasiswa secara psikologi sudah mumpuni untuk berfilsafat, berdialektika, ataupun mensintensiskan masalah-masalah yang ada dengan masalah yang ada sebelumnya. Secara psikologis mahasiswa berarti individu yang sudah mencapai tingkatan dewasa. Kategori individu yang dewasa berarti mampu berfikir dan memecahkan masalah yang ada dengan pengetahuan dan kematangan berfikir. Mahasiswa biasanya disominasi oleh remaja akhir. Pada tahap ini, logika remaja mulai berkembang dan digunakan. Cara berifikir abstrak mulai dimengerti. Ia mulai suka membuat teori tentang segala sesuatu yang dihadapi. Pikirannya sudah melampaui waktu dan tempat, tidak hanya terikat pada hal yang sudah dialami, tetapi juga berfikir mengenai sesuatu yang akan datang karena sudah dapat berfikir secara hipotesis. Sehingga menurut Geinsburg dan Opper dalam Paul, remaja pada tahap ini suah mempunyai tingkat equibilirium yang tinggi. Remaja pada tahap ini sudah dapat berfikir fleksibel dan efektif, serta mampu berhadapan dengan persoalan yang kompleks.[2]
Dalam dunia mahasiswa tentu tidak dinafikan pula bahwasannya banyak mahasiswa level lanjut (Dewasa). Sebagai kelanjutan masa  remaja, masa dewasa memiliki cirri-ciri berikut:
1.      Usia reproduktif atau Reproductive Age
2.      Usia memnatapkan letak kedudukan atau Suttling Down Age
3.      Usia banyak masalah atau Problem Age
4.      Usia Tegang dalam emosi atau Emotional Hussion.[3]
Mahasiswa bisa di qiaskan dengan jiwa yang berakal teoritis. Berarti akal jiwa ini melewati tahap akal praktis dimana akal yang hanya melakukan hal-hal yang bersifat praktis. Ibu sina dalam dunia mahasiswa memberikan menyumbangkan pemikirannya. Beliau berpendapat jiwa hewan dan tumbuhan dengan manusia, juga terdapat potensi berfikir praktis (tingkah laku untuk membenahi badan), dan berfikir teoritis (untuk mengungkap makna-makna yang abstrak. Kemampuan berfikir teoritis ini pada taraf potensi disebut akal potensial (al-‘aql al-hayulani), setelah berkembang pada taraf berikutnya disebut akal malakah (al-‘aql bi al-Malakah), yaitu akal yang mampu menegtahui prinsip-prinsip dasar tanpa perlu argumentasi atau renungan, seperti prinsip keseluruhan lebih dari bagiannya. Selanjutnya kemampuan itu bia berkembang ke taraf akal Aktua (al-‘Aql bi al-Fill) dan pada taraf ini akal telah terlatih tanpa melalui renungan atau argumentasi  untuk berfikir tentang prinsip-prinsip yang diabstrasikan dari realita empiris. Selanjutnya kemampuannya dapat meningkat taraf akal Mustafad (al-“aqlu al-Mustafad). yang pada taraf itupun mampu meniru limpahan pengetahuan tentang subtansi-subtansi imateri dari akal Aktif (al-aql nal-faan).[4] Setidaknya mahasiswa, sekarang mampu mencapai akal aktual.

Kesalahan Filsafat dikehidupan sekitar
Mahasiswa dalam memahami konteks filsafat seringkali salah. Banyak factor yang melandasi, seperti pemahaman yang sulit terhadap pembahasan filsafat itu sendiri. Selain pemahaman filsafat yang setengah-setengah juga menjadikan kesalahan yang fatal juga. Namun, mahasiswa sering egois dalam dialihkan kejalur yang lurus karena mengakar kuatnya pemahaman filsafat tersebut dan terlanjur dipraktekkan setiap hari.
 “Mahasiswa dan Filsafat” apakah gelar ini pantas tersandang? Disatu sisi “sudah” tetapi untuk seglintir saja. Sisanya “banyak” masih belum. Alasan yang muncul, tugas mahasiswa adalah kuliah, mengerjakan makalah, presentasi, UTS, UAS, mendapatkan KHS, libur dan selanjutnya terus berulang hingga berujung pada skripsi dan mendapatkan gelar Sarjana. Semoga artikel ini salah sehingga dapat disimpulkan bahwa mahasiswa sekarang adalah filosof abad 21.

Oleh Rizal Fatkur Rochimin
Fakultas Adab dan Da’wah
Tafsir Haits 2 B


[1] Jujun S. Suriasumantri,Ilmu dalam Perspektif (Jakarta: Yayasan Obor, 2003), hlm. 4
[2] Elfi Yuliani Rohmah, Psikologi Perkembangan (Ponorogo: STAIN Press, 2005) hlm. 198
[3] Andi Map Piare, Psikologi Orang Dewasa (Surabaya: Usaha Nasional, 2000) hlm. 21
[4] Ensiklopedia, Dunia Islam Pemikiran dan peradaban , Jilid 4 (PT: Ikhtiar Baru Van Hoeve), hlm. 200

Tidak ada komentar:

Posting Komentar