Diferensiasi
Filsafat Mahasiswa dengan Masyarakat
Mahasiswa adalalah status
yang banyak digemari oleh banyak orang namun hanya segelintir saja yang
benar-benar menjadi mahasiswa. Secara bahasa mahasiswa adalah Individu yang
terikat oleh lembaga perguruan tinggi sebagai peserta didik .
Dalam bermasyarakat,
mahasiswa merupakan menjadi anggapan central dari segala aktifitas baik dari
etika, cara bergaul, hingga jiwa sosial. Pada masyarakat rejotangan misalnya,
ada beberapa istilah yang tidak asing “sudah mahasiswa berarti sudah bia
mikir”. Pendapat ini muncul karena
mahasiswa dianggap sebagai mahasiswa yang yang kreatif dan inovatif. Proses
berfikir semenjak awal yakni sejak bangku SD, hingga jenjang SLTA sehingga
memberikan pandangan orang bahwasannnya mahasiswa identik dengan daya kritis
yang tinggi
Merujuk pada istilah
“sudah mahasiswa berarti bisa mikir” ini bias dikaitkan dengan berfikir. Tentu
ini bukan sekadar berfikir melainkan berfikir secara kritis dan komprehensif. Sebenarnya
fungsi filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan memang diakui. Kata-kata “mikir”
itu merupakan salah satu contoh dan orang yang melestarikan pendapat ini
berarti juga menjadi dalah satu bagian dari kegiatan berfilsafat. (kegiatan
berfilsafat). Namun, filsafat dikalangan masyarakat berbeda dengan filsafat
mahasiswa. Masyarakat umum hanya berfikir secara logika yang dikaitkan dengan
mitos catatan sejarah lokal. Misalnya perihal ramalan Raja Jaya baya yang
membumi di tanah jawa. Ada ramalan yang mengatakan bahwa pada zaman yang sudah
ramai nanti banyak orang yang tertawa sendiri, ada suara tetapi tidak wujud
manusia, manusia bisa terbang dan lain-lain. Masyarakat awam dulu boleh jadi
mengatakan iya dan tidak. Kalaupun iya berarti alasannya juga berlandaskan
mitos. Orang yang mampu mengerjakan suatu aktifitas diluar akal umum hanya
orang-orang yang mempunyai kelebihan khusus atau istilahnya “Ajian”, contoh
Ajian Makhlik rupa (berganti bentuk), Ajian Halimunan (untuk menghilang).
Ajianpun jika ditarik kesimpulan adalah mitos. Perihal etika, misal “Jangan
menikah dengan menikah dengan orang yang tempat tinggalnya ada kesamaan bunyi
kata atau suku kata (contoh: Padangan dengan kalangan).
Adab ini kalau dilanggar akan menimbulkan bencania atau kematian. Filsafat
memandang ini sebuah mitos, tetapi kenyataan lapangan memang seperti itu
terlebih masyarakat jawa majapahitan.
Lain halnya dengan filsafat
mahasiswa. Mahasiswa belajar filsafat
secara ilmiah menjadi suatu kewajiban. Cara berfikir mahasiswa pun berbeda dengan
masyarakat awam. Filsafat mahasiswa tidak hanya menggunakan mitos-mitos tetapi
membuktikan bahwasanya mitos itu termasuk bagian dari filsafat. Filsafat
mahasiswa berarti berfilsafat sesuai dengan definisinya yakni suatu cara
berfikir yang radikal dan menyeluruh, suatu cara berfikir yang mengupas sesuatu
sedalam-dalamnya.[1] Pengetahuan-pengetahuan Filsafat mahasiswa tidak
bersifat umum tapi sudah khusus. Pembahasan sudah bersifat mengerucut.
Pembahasan filsafat bagi mahasiswa itu
tidak berifat “Intinya Adalah” melainkan “hal ini terjadi karena”. Titik
perbedaan mencolok filsafat -filsafat mahasiswa terletak pada metode metode ataupun kerangka berfikir secara
ilmiah.
Adapun dalam hal ini berarti maahasiswa individu ataupun golongan kelompok muda
yang kritis, universal, menggunakan rasionalitasnyadalam melihat permasalahan
atau fakta yang ada didepannya.
Tidak jauh berbeda dengan plato, socrates, dsb. Mereka sudah sangat pantas
mendapatkan gelar filosof karena kejeniusannya dalam mengembangkan pemikirannya.
Apakah dia mengenyam pendidikan? Pastinya iya. Mereka mampu mengombinasikan dan
mengembangkan pemikirannya sendiri dengan metode yang mereka rasa benar. Mereka
semua tidak menafikan akal budi sebagai corak berfikir mereka. Terbukti,
pemikiran-pemikiranya sudah membaur di segala lapisan masyarakat dan mahasiswa.
Baik secara langsung maupun tidak langsung.
Mahasiswa
dianggap kaum yang mencapai akal teoritis
Mahasiswa secara psikologi sudah mumpuni untuk berfilsafat, berdialektika,
ataupun mensintensiskan masalah-masalah yang ada dengan masalah yang ada sebelumnya.
Secara psikologis mahasiswa berarti individu yang sudah mencapai tingkatan
dewasa. Kategori individu yang dewasa berarti mampu berfikir dan memecahkan
masalah yang ada dengan pengetahuan dan kematangan berfikir. Mahasiswa biasanya
disominasi oleh remaja akhir. Pada tahap ini, logika remaja mulai berkembang
dan digunakan. Cara berifikir abstrak mulai dimengerti. Ia mulai suka membuat
teori tentang segala sesuatu yang dihadapi. Pikirannya sudah melampaui waktu
dan tempat, tidak hanya terikat pada hal yang sudah dialami, tetapi juga
berfikir mengenai sesuatu yang akan datang karena sudah dapat berfikir secara
hipotesis. Sehingga menurut Geinsburg dan Opper dalam Paul, remaja pada tahap
ini suah mempunyai tingkat equibilirium yang tinggi. Remaja pada tahap
ini sudah dapat berfikir fleksibel dan efektif, serta mampu berhadapan dengan
persoalan yang kompleks.[2]
Dalam dunia mahasiswa
tentu tidak dinafikan pula bahwasannya banyak mahasiswa level lanjut (Dewasa).
Sebagai kelanjutan masa remaja, masa
dewasa memiliki cirri-ciri berikut:
1. Usia
reproduktif atau Reproductive Age
2. Usia
memnatapkan letak kedudukan atau Suttling Down Age
3. Usia
banyak masalah atau Problem Age
4. Usia
Tegang dalam emosi atau Emotional Hussion.[3]
Mahasiswa bisa di qiaskan
dengan jiwa yang berakal teoritis. Berarti akal jiwa ini melewati tahap akal
praktis dimana akal yang hanya melakukan hal-hal yang bersifat praktis. Ibu
sina dalam dunia mahasiswa memberikan menyumbangkan pemikirannya. Beliau
berpendapat jiwa hewan dan tumbuhan dengan manusia, juga terdapat potensi
berfikir praktis (tingkah laku untuk membenahi badan), dan berfikir teoritis
(untuk mengungkap makna-makna yang abstrak. Kemampuan berfikir teoritis ini
pada taraf potensi disebut akal potensial (al-‘aql al-hayulani), setelah
berkembang pada taraf berikutnya disebut akal malakah (al-‘aql bi al-Malakah),
yaitu akal yang mampu menegtahui prinsip-prinsip dasar tanpa perlu argumentasi
atau renungan, seperti prinsip keseluruhan lebih dari bagiannya. Selanjutnya
kemampuan itu bia berkembang ke taraf akal Aktua (al-‘Aql bi al-Fill)
dan pada taraf ini akal telah terlatih tanpa melalui renungan atau
argumentasi untuk berfikir tentang
prinsip-prinsip yang diabstrasikan dari realita empiris. Selanjutnya
kemampuannya dapat meningkat taraf akal Mustafad (al-“aqlu al-Mustafad).
yang pada taraf itupun mampu meniru limpahan pengetahuan tentang
subtansi-subtansi imateri dari akal Aktif (al-aql nal-faan).[4]
Setidaknya mahasiswa, sekarang mampu mencapai akal aktual.
Kesalahan
Filsafat dikehidupan sekitar
Mahasiswa dalam memahami
konteks filsafat seringkali salah. Banyak factor yang melandasi, seperti
pemahaman yang sulit terhadap pembahasan filsafat itu sendiri. Selain pemahaman
filsafat yang setengah-setengah juga menjadikan kesalahan yang fatal juga.
Namun, mahasiswa sering egois dalam dialihkan kejalur yang lurus karena
mengakar kuatnya pemahaman filsafat tersebut dan terlanjur dipraktekkan setiap
hari.
“Mahasiswa dan Filsafat” apakah gelar ini
pantas tersandang? Disatu sisi “sudah” tetapi untuk seglintir saja. Sisanya
“banyak” masih belum. Alasan yang muncul, tugas mahasiswa adalah kuliah,
mengerjakan makalah, presentasi, UTS, UAS, mendapatkan KHS, libur dan
selanjutnya terus berulang hingga berujung pada skripsi dan mendapatkan gelar
Sarjana. Semoga artikel ini salah sehingga dapat disimpulkan bahwa mahasiswa
sekarang adalah filosof abad 21.
Oleh Rizal Fatkur
Rochimin
Fakultas Adab dan
Da’wah
Tafsir Haits 2 B
[1] Jujun S. Suriasumantri,Ilmu
dalam Perspektif (Jakarta: Yayasan Obor, 2003), hlm. 4
[2] Elfi Yuliani Rohmah, Psikologi
Perkembangan (Ponorogo: STAIN Press, 2005) hlm. 198
[3] Andi Map Piare, Psikologi
Orang Dewasa (Surabaya: Usaha Nasional, 2000) hlm. 21
[4] Ensiklopedia, Dunia Islam
Pemikiran dan peradaban , Jilid 4 (PT: Ikhtiar Baru Van Hoeve), hlm. 200
Tidak ada komentar:
Posting Komentar