Para ahli bidang ulumul hadits terlebih para kritikus hadits ternyata
menglasifikasikan Jarh wa Ta’dil dalam beberapa tingkatan. Mereka
menjelaskan dalam kitabnya masing-masing. Ibnu Abi Hatim dengan kitab Jarh
wa Ta’dil, Al-Dzahabi dalam kitab
Mizan ‘Itidal, al-Iraqi dalam Al-Fiyahnya, dan Imam Ibnu Hajar
al-Ashqalani dengan karyanya Taqrib al-Tahzib. Mereka membagi peringkat
dengan klasemen yang berbeda-beda. Hal ini dikarenakan perbedaan pendapat
antara satu kritikus dengan kritikus lain. Salah satu faktor adalah
problematika antara Jarh wa Ta’dil Problematika dalam Jarh waTa’dil itu sendiri. Dalam pembahasannya ada permasalahan
perowi yang majhul atau tidak, dan hukum perowi yang ahlulbid’ah.
Pengantar
Peringkat Jarh wa Ta’dil
Seringkali, kalitas periwayat hadis dikemukakan dalam bentukkata atau
kalimat tertentu oleh ulamaahli kritik hadis. Penggunaan kata aau kalimat
tertentu untuk menerangkan kualitas periwayat tersebut diperkenankan oleh
ulama, sepanjang kata atau kalimat itu telah memiliki pengertian jelas.
Disamping itu, acapkali juga ulama menggunakan kata atau kalimat berbeda untuk
menyebutkan satu macam kualitas periwayat. Misalnya, untuk menerangkan
periwayat yang haditsnya dapat dicacat
dan diperhatikan, menurut Abiy Hatim al-Raziy (wafat 327 H), kalangan ulama ada
yang memakai kata atau kalimat: صدوق, محلّة الصّدق atau لا بأس به . Tetapi pendapat
al-Raziy ini bukan merupakan kesepakatan ulama. Sebab menurut sebagian pendapat
ulama lainnya, periwayat yang disifati dengan kata: صدوق atau بهلابأس lebih tinggi kualitas
keterpujiannya daripada periwayat yang disifati dengan kata-kata الصّدق محلّة .
Karena periwayat hadits yang jumlahnya banyak dan
kualitasnya beragam, maka kata-kata atau kalimat yang dipakaikan untuk
menyifati mereka juga beragam. Ulama hadits telah mengelompokkan berbagai kata
atau kalimat tersebut dalam peringkat-peringkat tertentu. Pengelompokan dalam
berbagai peringkat itu melingkupi sifat-sifat terpuji para periwayat dan
ketercelaan mereka. Hal ini dalam ilmu hadits. Hal ini dalam ilmu
hadits biasa disebut dengan istilah Maratib alfazh al-ta’dil wa al-tajrihb (peringkat-peringkat
untuk berbagai lafal keterpujian dan ketercelaan periwayat), atau
istilah-istilah lain yang semakna.[1]
Abdurrahman dalam buku “Metode Kritik Hadits” menjelaskan lafal
tingkatan para pentajrih adalah:
1. Menunjuk
keterlaluan si rawi dalam cacatnya. Hal ini digambarkan dengan sighat af’al
al-tafdhil atau ungkapan yang menunjuk arti sejenis. Contoh:
اَوْضَعُ النَّاسٌ
|
(orang
yang paling dusta)
|
أَكْذبُ النّاس
|
(orang
yang paling bohong)
|
اِلَيهِ المُنْتَي في الوَضْعِ
|
(orang
yang paling mantap kebohongannya)
|
2. Menunjuk sangat
dalam kecacatannya. Hal ini biasanya digambarkan dalam sighat Mubalaghah.
Contoh:
كَذْابٌ
|
(orang yang pembohong)
|
دَجَالٌ
|
(orang
yang penipu)
|
3. Menunjuk pada
tuduhan dusta dan lain sebagainya. Contoh:
فُلانٌ مُتَّهَمٌ بِالكَذّبِ
|
(orang yang dituduh bohong)
|
فُلاَنٌ فيهِ النَّظّرُ
|
(orang
yang perlu diteliti)
|
فُلَانٌ سَاقَاطَ
|
(orang
yang gugur)
|
فُلَانٌ ذَاهِبُ الحَدِ يثِ
|
(orang
yang haditsnya hilang)
|
فُلَانٌ مَتْرُوكٌ الحِديثَ
|
(orang
yang ditinggalkan haditsnya)
|
4. Menunjuk pada
sangat dalam cacatnya atau lemahnya.
مُطرَّحُ الحَدِيثِ
|
(orang yang dilempar haditsnya)
|
فُلَانٌ ضَعِيْف
|
(orang
yang lemah)
|
فُلَانٌ مَرْدُودُ الحَدِيثِ
|
(orang
yang ditolak haditsnya)
|
5. Menunjuk pada
lemah dan kacaunya hafalan rawi. Contoh
فُلَانٌ لَا يُحْتَجُ بٍه
|
(orang yang haditsnya tidak bisa dijadikan Hujjah)
|
فُلَانٌ مَجْهُولٌ
|
(orang
yang tidak dikenal identitasnya)
|
فُلَانٌ مُنْكَرُ الحَديثِ
|
(orang
yang munkar hadisnya)
|
فُلَانٌ مُضْطَرِبُ الحَديثِ
|
(orang
yang kacau haditsnya)
|
فُلَانٌ وَاهٌ
|
Orang yang banyak duga-duga)
|
6. Menunjukkan
kelemahan rawi dengan sifat yang berdekatan dengan adil. Contohnya :
ضُعِّفَ حَديثُهُ
|
(orang yang didhaifkan haditsnya)
|
فُلَانٌ مَقَالٌ فِيهِ
|
(orang
yang diperbincangkan)
|
فُلَانٌ فيهِ خَلْفٌ
|
(orang
yang disingkirkan)
|
فُلَانٌ لَيِّنٌ
|
(orang
yang lunak)
|
فُلَانٌ لَيْسَ بِلْحُجَّةِ
|
(orang
yang haditsnya tidak bisa digunakan hujjah)
|
فُلَانٌ لَيْسَ بِلْقَوِّى
|
(orang
yang tidak kuat)
|
(halaman 153)
Sama dengan martabat atau peringkat Tajrih,
martabat Ta’dil menurut para
kritikus berbeda-beda. Ibnu Abi Hatim, Ibnu Shalah, al-Nawawi, mereka membagi
lafal-lafal itu atas 4 tingkatan. Al-Dzahabi dan al-Iraqi membagi lima tingkatan, dan Ibnu Hajar
membagi nya menjadi 6 tingkatan. Beberapa martabat Ta’dil secara garis besar menurut
Abdurrahman dalam buku yang sama “Metode
Kritik Hadits” antara lain:
1. Setiap lafal
yang menunjukkan keadilan dan keteguhan rawi; para muhaddisin menggunakan Shighat
af’al tafdlil atau menggunakan sighat yang menunjukkan sifat yang terpuji
dan tiada tandingannya dengan rawi yang
lain. sighat-sighat yang sepadan antara lain:
اثْبَتُ النَّاسِ, أصْدَقُ النَّاسِ, لَيْسَ لَهُ نَظِيْرٌ,
لاَ اَثْبَتَ مِنْهُ, فُلاَنٌ يُسْأَلُ عَنْهُ, الَيْهِ المُتَهِى فِى الْمُنْتَهَ
2. Setiap lafal
yang menunjukkan kebenaran rawi, keteguhan, ketsiqahan, kejujuran dan
keadilannya; lafal-lafal atau sighat
yang semakna biasana diulangi sebanyak dua kali atau lebih yang berfungsi
sebaagai pengokoh.
ثِقَةٌ ثِقَةٌ: ثِقَة: حَافِظٌ ثِقَةٌ
Lafal y ang
tidak diulangi dengan lafal yang sama adalah:
حُجَةٌ صا حِبُ الحَيث
3. Setiap lafal yang menunjukkan
kekokohan,keteguhan,keadilan dan kepercayaan rawi. Biasanya menggunakan bahasa pujian yang
senilai dengan kekokohan tersebut.
Sighat-sighat tersebut yaitu;
ثقة, مُتَّقِنْ, امامٌ, ثَا بِبٌ القَلْبِ و الْلِسَانِ
والحُجَّةِ, حَافِظٌ ضا بِطٌ
4. Setiap lafal
yang menunjukkan kekokohan derajat rowi dengan menggunakan satu kali namun
sudah menunjukkan jaminan sifat kekokohan, keadilan dan kebenaran rawi.
Sighat-sighatnya antara lain:
صُدُوقٌ, لا بأسَ بِهِ, خِيَارُ النَّاسِ مَئْمُونٌ لَيْسَ
بِهِ بَأْ سٌ, خِيَارُ الخَلْقِ
5. Setiap lafal
yang baik,benar, dan jujurnya rowi. Dengan tidak menunjukkan bahwa hafalan, dan
kejujuran dan keadilan dapat dipastikan.
صَدُوْقٌ سَيِّئُ الْحِفْظِ, صُدوق يُحْطَئ, صُدُوقْ
تَغْيِيرٌ بِاَخِرِهِ, قَرِيبٌ الى الصِدْقِ
6. Setiap lafal
yang menunjukkan sifat ta’dil seorang rawi kemudian diikuti dengan tidak
menunjukkan keteguhan lafal-lafal tersebut. lafal tersebut antara lain:
صدوق ان شاء الله, ليس بِبَعِدٍ مِنَ الصَّواَبِ,
صُوَيْلَحٍ, مَقْبُوْلٌ
Sebagian ulama
berpendapat bahwa martabat TA’dil dari nomor 1-3 masuk dalam kategori Hadits
Shahih. Martabat ke-empat masuk dalam kategori hadits hasan. Sedangkan martabat
yang kelima dan keenam termasuk hadits dhaif.
Disisi lain sebagian ulama berpendapat hadits
pada peringkat kelima dan ke-enam adalah Maqbul (diterima) dan Ma’mul
(diamalkan) bila, ada Syahid (saksi) hadits shahih yang lain atau
hadits lain yang semartabat maksutnya. Pada martabat ini pula hadits bisa menjadi
Hasan Lighairihi atau hadits Hasan Lidzatihi.
Peringkat Jarh
wa Ta’dil Menurut Ibnu Abi Hatim
Ibnu abi hatim ar-Razi menjelaskan tentang perihal peringkat Jarh wa Ta’dil
dalam kitabnya Jarh wa Ta’dil. Ibnu Abi Hatim membagi Tajrih menjadi
empat peringkat:
1.
Tajrih peringkat pertama
Seorang Pendusta
|
كذاب
|
Orang yang ditinggalkan Haditsnya.
|
متروك الحديث
|
Orang yang hilang haditsnya
|
ذاهب الحديث
|
Hadits pada peringkat ini, gugur dan tidak boleh ditulis.
2.
Tajrih peringkat kedua
Orang yang lemah haditsnya
|
ضعيف االحديييث
|
Hadits pada posisi ini tidak bolehdibuang melainkan hanya sebagai bahan
pertimbangan.
|
3.
Tajrih peringkat ketiga
Bukan orang yang kuat
|
ليس بقوى
|
Penulisan hadits pada level ini diperbolehkan dengan tidaak di I’tibarkan.
|
4.
Tajrih peringkat ke-empat
Orang yang lunak haditsnya
|
لين الحديث
|
Hadits pada
peringkat ini boleh ditulis dan diperhatikan sebagai bahan I’tibar.
Adapun tingkatan-tingkatan Ta’dil menurut abi Hatim terbagi menjadi empat
peringkat:
1. Peringkat
pertama
Orang yang tsiqah
|
ثقة
|
Orang yang teliti
|
متقن
|
Orang yang kokoh ingatannya
|
ثبت
|
Orang yang menjadi Hujjah
|
يحتج
|
Hadits pada
posisi ini bisa dijadikan hujjah.
2. Peringkat kedua
Orang yang jujur
|
صدوق
|
Orang yang dipandang jujur
|
محله الصدق
|
Tidak ada cacat padanya
|
لا بأس به
|
Status hadits
ini boleh dituliskan, namun harus tetap diperhatikan.
3. Peringkat
ketiga
Seorang Syaikh
|
شيخ
|
Status pada
perinkat ini sama dengan peringkat sebelumnya akan tetapi lebih rendah sedikit
dari yang kedua
4. Peringkat
keempat
Orang yang sholeh haditsnya
|
صالح الحد يث
|
Statusnya
adalah dituliskan hanya sebatas bahan I’tibar.
Peringkat Jarh
wa Ta’dil Menurut Al-Dzahabi
Berbeda dengan Ibnu Abi Hatim,al-Dzahabi membagi peringkat tajrih menjadi
enam tingkatan. Diantaranya adalah:
1. Tajrih tingkat pertama
Seorang pendusta
|
كذاب
|
Seorang pemalsu hadits
|
وضاع
|
Seorang penipu
|
دجال
|
Ia pemalsu hadits
|
يضع الحيث
|
2. Tajrih tingkat Kedua
Orang yang tertuduh dusta
|
متهم بالكذب
|
Orang yang disepakati untuk ditinggalkan haditsnya
|
متفق على تركه
|
3. Tajrih
peringkat ketiga
Orang yang ditinggalkan
|
متروك
|
Orang yang hilang haditsnya
|
ذاهب الحديت
|
Bukan orang yang Tsiqah
|
ليس بثقة
|
Didiamkan para ulama keadaannya
|
سكتوا عنه
|
Orang yang binasa
|
هالك
|
Orang yang gugur
|
ساقط
|
4. Tajrih
peringkat keempat
Orang yang lemah sekali
|
ضعف جدا
|
Orang yang lemah
|
واه
|
Dilemahkan para ulama
|
ضعفوه
|
Bukan apa-apa
|
ليس بشئ
|
Orang yang sangat lemah
|
ضعيف وواه
|
|
|
5. Tajrih
peringkat kelima
Orang yang lunak
|
لين
|
Didalamnya ada kelemahan
|
فيه ضعيف
|
Padanya ada cacat yang menjadikan pembicraan
|
فيه مقال
|
Bukan orang yang kuat
|
ليس بالقوى
|
Bukan orang yang menjadi hujjah
|
ليس بحجة
|
Orang yang dikenal dan diingkari
|
تعرف وتنكر
|
Orang yang memperbincangkan para ulama
|
تكلم فيه
|
Orang yang buruk hafalannya
|
سيئ الحفظ
|
Orang yang dilemahkan haditsnya
|
يضعف فيه
|
Orang yang
diperselisihkan haditsnya
|
اختلف فيه
|
Tidak seberapa
|
ليس بذالك
|
Orang yang tidak menjadi hujjah
|
لا يحتج
|
Orang yang jujur, tetapi melakukan bid’ah
|
صدوق لكنه مبتع
|
Al-Dzahabi memberikan penerangan bahwa para ahli berbeda pendapat dalam
menentukan klasifikasi dan nomerisasi Jarh dan Ta’dil. Namun pada dasarnya
perbedaan tersebut tidak ada yang prinsipil. Dan sebenarnya antara satu
pendapat dengan pendapat lain itu saling melengkapi. Peringkat Ta’dil menurut
tokoh ini dibagi menjadi lima tingkatan, yaitu:
1. Martabat
pertama
Orang yang kokoh ingatannya, dan menjadi hujjah
|
ثبت حجه
|
Orang yang Sangat Tsiqah
|
ثقة ثقة
|
Orang yang kokoh ingatannya, yang teliti
|
ثبت متقن
|
Orang yang kokoh ingatannya, yang hafal
|
ثبت حافظ
|
|
|
2. Martabat kedua
Orang yang Tsiqah
|
ثقه
|
Orang yang kokoh ingatannya
|
ثبت
|
Orang yang teliti
|
متقن
|
3. Martabat ketiga
Orang yang jujur
|
صدوق
|
Tidak ada cacat padanya
|
ليس به بأس
|
4. Martabat
keempat
Orang yang sholeh haditsnya
|
صالح الحد يث
|
Orang yang dipandang jujur
|
محله الصدق
|
Orang yang baik haditsnya
|
جيد الحديث
|
Seorang Syaikh
|
شيخ
|
Seorang yang tengah-tengah
|
وسط
|
Seorang Syaikh yang tengah-tengah
|
شيخ وسط
|
Orang yang bagus haditsnya
|
حسن الاحديث
|
5. Martabat kelima
Orang yang jujur Insya Allah
|
صدوق ان شأ الله
|
Sedikit Shaleh
|
صويلح
|
Aku berharap ia tidak bercacat
|
أرجوا أن لابأس به
|
Peringkat Jarh
wa Ta’dil Menurut Al-‘Iraqy
Al-Dzahabi dan al-raqi membagi peringkat atau martabat para perowi yang
dianggap cacat menjadi lima peringkat. Peringkat tersebut antara lain:
1. Tajrih
peringkat Pertama
Seorang pendusta
|
كذاب
|
Seorang penipu
|
دجال
|
Seorang pemalsu
|
وضاع
|
Orang yang memalsu
|
وضع
|
Ia memalsu
|
يضع
|
Ia berdusta
|
يكذب
|
2. Tajrih
peringkat Kedua
Orang yang tertuduh dusta
|
متهم بالكذب
|
Orang yang ditinggal haditsnya
|
متروك
|
Orang yang hilang
haditsnya
|
ذاهب
|
Bukan orang yang tsiqah
|
ليس بثقة
|
Orang yang
binasa
|
هالك
|
Orang yang didiamkan para ulama
|
سكتوا عنه
|
Orang yang haditsnya perlu ditinjau
|
فيه نظر
|
Orang yang gugur
|
ساقط
|
Orang yang tidak diperhatikan
haditsnya
|
لايعتبر
|
3. Tajrih
peringkat Ketiga
Orang yang lemah sekali
|
ضعيف جدا
|
Orang yang tidak menyamai apapun
|
لايساوى ىشيئا
|
Orang yang lemah
|
واه
|
Bukan apa-apa
|
ليس بشيء
|
Orang yang wahm
|
وهم
|
Orag yang ditolak haditsnya
|
ردا حديثه
|
Orang yang dicampakkan haditsnya
|
مطرح به
|
4. Tajrih
peringkat Keempat
Orang yang haditsnya diingkari
|
منكر الحديث
|
Orang yang tidak menjadi hujjah, para ulama yang
melemahkannya
|
لايحتج به ضعفوه
|
Mudltharib haditsnya
|
مضطربه
|
5. Tajrih
peringkat Kelima
Orang yang lunak
|
لين
|
Bukan orang yang kuat
|
ليس بالقوي
|
Di dalam haditsnya ada kelemahannya
|
فيه ضعف
|
Al-Iraqi membagi Ta’dil menjadi lima mertabat, diantaranya:
1. Martabat
pertama
Orang yang sangat Tsiqah
|
ثقة ثقة
|
Orang yang Tsiqah, yang kokoh ingatannya
|
ثقة ثيت
|
Orang yang sanagat kokoh ingatannya
|
ثيت ثيت
|
Orang yang tsiqah yang menjadi hujjah
|
ثقت حجه
|
Orang yang Tsiqah yang dapat dipercaya
|
ثقة مأمن
|
2. Martabat kedua
Orang yang Tsiqah
|
ثقه
|
Orang yang kokoh ingatannya
|
ثبت
|
Orang yang teliti
|
متقن
|
Orang yang menjadi hujjah
|
حجه
|
Orang yang hafal
|
حا فظ
|
3. Martabat ketiga
Orang yang sholeh haditsnya
|
صلح الحديث
|
Orang yang bagus haditsnya
|
حسن الحديث
|
Orang yang haditsnya didekati
|
مقارب الحديث
|
4. Martabat
keempat
Orang yang dipandang jujur
|
محله الصدق
|
Seorang Syaikh yang tengah-tengah
|
سيخ وسط
|
Seorang Syaikh
|
شيخ
|
Orang yang tengah-tengah
|
وسط
|
5. Martabat kelima
Orang yang jujur
|
صدوق
|
Orang yang dipercaya
|
مأمون
|
Tidak ada cacat padanya
|
لابأس به
|
Orang pilihan
|
خيار
|
Peringkat Jarh
wa Ta’dil Menurut Ibnu Hajar al-Ash
qalani
Peringkat tajrih menurut Ibnu Hajar al-Ashaqalani dikelompokkan menjadi
enam bagian, antara lain:
1. Tajrih
peringkat pertama, menggunakan lafadz:
Orang yang paling dusta
|
أكذاب الناس
|
Orang yang banyak memalsukan hadits
|
أوضع الناس
|
Padanya puncak pemalsuan hadits
|
اليه المنتهى
|
Dia tiang kedustaan
|
ركن الكذب
|
Dia sumber kedustaan
|
منبع الكذب
|
2. Tajrih
peringkat kedua, menggunaka lafadz:
Seorang pendusta
|
كذاب
|
Seorang pemalsu
|
وضاع
|
Seorang penipu
|
دجال
|
3. Tajrih
peringkat ketiga, menggunakan lafadz:
Orang yang tertuduh dusta
|
متهم بلكذب
|
Orang yang tertuduh memalsukan hadits
|
متهم بالوضع
|
Orang yang gugur
|
ساقط
|
Orang yang binasa
|
هالك
|
Orang yang tidak diperhatikan haditsnya
|
لا يعتبر حديثه
|
Orang yang tidak diperhatikan
|
لا يعتبر به
|
Orang yang didiamkan para ulama
|
سكتوا عنه
|
Orang yang hilang haditsnya
|
ذاهب
|
Orang yang ditinggalkan haditsnya
|
متروك
|
Para ulama meninggalkannya
|
تركوه
|
Orang yang yang tidak dipercaya
|
غير مأمون
|
Bukan orang yang tsiqah
|
ليس بثقة
|
4. Tajrih
peringkat keempat, menggunakan lafadz:
Orang yang lemah sekali
|
ضعيف جدا
|
Orang yang hadisnya dibuang para ulama
|
مطروح
|
Orang yang ditolak haditsnya
|
مردود الحديث
|
Para ulama menolak haditsnya
|
ردوا حديثه
|
Tidak ada apa-apanya
|
ليس بشيء
|
Tidak menyamai apa-apa
|
لا يساوى بشيئا
|
5. Tajrih
peringkat kelima, menggunakan lafadz:
Orang yang lemah
|
ضعيف
|
Para ulama melemahkannya
|
ضعيفوه
|
Mudlhtharib haditsnya
|
مضطرب الحيث
|
Haditsnya ditolak
|
منكر الحيث
|
Orang yang tidak dikenal
|
مجهول
|
6. Tajrih
peringkat keenam, menggunakan lafadz:
Orang yang lunak haditsnya
|
لين
|
Bukan orang yang kuat
|
ليس بالقوى
|
Orang yang dilemahkan para ahli hadits
|
ضعف اهل الحد يث
|
Orang yang lemah
|
ضعف
|
Dalam haditsnya ada kelemahan
|
في حديث ضعف
|
Orang yang buruk
hafalannya
|
سيئ الحفظ
|
Orang yang diingkari dan dikenal
|
ينكر و يعرف
|
Padanya ada cacat yang diperselisishkan
|
فيه خلف
|
Orang yang diperselisihkan
|
اختلف فيه
|
Orang yang tidak menjadi hujjah
|
ليس بحجه
|
Tidak menjadi pegangan
|
ليس بعمده
|
Tidak seberapa
|
ليس بذاك
|
Bukan orang yang diridhoi
|
ليس باالمرضى
|
Bukan orang yang kokoh
|
ليس باالمتن
|
Bukan orang tidak aku ketahui cacatnya
|
ما أعلم به بأسا
|
Aku berharap tidak bercacat
|
أرجو أن لا بأسا
|
Bertolak dari peringkat Tajrih, Ibnu Hajar al-Ashaqalani membagi menjadi
enam tingkatan, antara lain:
1. Peringkat
pertama, martabat paling tiggi dan menggunakan af’al al-Muballaghah
Se-Tsiqah-tsiqahnya Orang
|
اوثق النّاس
|
Sekokoh-kokohny orang
|
أثيت النّاس
|
Padanya puncak keTsiqahan
|
اليه المنتهى فى الثقة
|
Padanya puncak kekokohan
|
اليه المنتهى فى التثبث
|
Ta’ada seorang pun yang lebih kokoh darinya
|
لا أثبت منه
|
Siapakah orang yang seprti fulan
|
من مثل فلان
|
Fulan ditanyakan keadaannya
|
فلان يسأل عنه
|
2. Peringkat kedua,
memperkuat ketsiqatan rawi dengan mengulang-ngulang lafal sama atau semaa’na
dengannya.
Orang yang sangat Tsiqah
|
ثقة ثقة
|
Orang yang sangat kokoh ingatannya
|
ثييت ثيت
|
Orang yang sangat bisa menjadi hujjah
|
حجة حجة
|
Orang yang kokoh ingatannya, yang Tsiqahi
|
ثبت ثقة
|
Orang yang kokoh ingatannya, yang menjadi hujjah
|
ثبت حجه
|
Orang yang hafal, yang menjadi hujjah
|
حافظ حجه
|
Orang yang Tsiqah yang dipercaya
|
ثقة مأمن
|
3. Peringkat
ketiga, menunjuk keadilan dengan lafal yang mengandung arti kuat ingatannya.
Orang yang Tsiqah
|
ثقة
|
Orang yang kokoh ingatannya
|
ثيت
|
Orang yang kuat hafalannya
|
ضبط
|
Orang yang hafal
|
حافظ
|
Orang yang menjadi hujjah
|
حجه
|
4. Peringkat keempat,
menunjuk ketsiqatan tetapi dengan lafal
yang tidak mengandung arti Tsiqah.
Orang yang jujur
|
صدوق
|
Orang yang dipercaya
|
مأمن
|
Tiada cacat padanya
|
لابأس به
|
Orang pilihan
|
خيار
|
5. Peringkat
kelima, menunjuk kejujuran rawi tetapi tidak terpahamkan kedlabitan.
Orang yang dipandang jujur
|
محله اصدوق
|
Banyak orang meriwayatkan darinya
|
روواه عنه
|
Orang yang tengah-tengah
|
وسط
|
Seorang Syaikh
|
شيخ
|
Seorang Syaikh yang tengah-tengah
|
وسط شيخ
|
Orang yang baik haditsnya
|
جيد الحديث
|
Orang yang bagus haditsnya
|
حسن الحديث
|
Orang yang haditsnya didekati
|
مقارب
|
Orang yang burukhafalannya
|
سئ الحفظ
|
Orang yang jujur tetapi mempunyai wahm
|
صدوق يوهم
|
Orang yang jujur sering keliru
|
صدوق يخطئ
|
Orang yang jujur, tetapi berubah pada akhir umurnya
|
صدوق تغير بأخره
|
Dituduh melakukan
bid’ah
|
يرمى ببدع
|
6. Peringkat
keenam, menunjukkan arti mendekati cacat, biasanya menmbah lafl Insya Allah atau
mentashghirkan atau mengaitkan pada sesuatu pengharapan.
Orang yang jujur Insya Allah
|
صدوق أنشأء الله
|
Aku berharap ia tidak cacat
|
أرجوا أن لابأس به
|
Orang yang sedikit shaleh
|
صويلح
|
Orang yang diterima haditsnya
|
مقبول
|
Abdurrahman,
dan Sumarna, Elan.2013.Metode Kritik Hadits.Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya
Suryadi.2003. Metodologi
Ilmu Rijalil Hadits.Yogyakarta: Madani Pustaka Hikmah
Ash-Shiddieqy,
Hasbi.1976.Pokok-pokok IlmuDiroyah Hadits(Julid II).Jakarta: Bulan
Bintang
M. Suyuti Ismail,Kaedah Kesahihan
Hadits: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah,
(Jakarta: Bulan Bintang,1995)
[1] M. Suyuti Ismail,Kaedah
Kesahihan Hadits: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah,
(Jakarta: Bulan Bintang,1995),h.196
[2] Suryadi,Metodologi
Ilmuu Rijalil Hadits, (Yogyakarta:
Madani Pustaka Hikmah,2003), h.58-59
[3] Suryadi,Metodologi
Ilmuu Rijalil Hadits, (Yogyakarta:
Madani Pustaka Hikmah,2003), h.60-62
[4] Suryadi,Metodologi
Ilmuu Rijalil Hadits, (Yogyakarta:
Madani Pustaka Hikmah,2003), h.65-68
Tidak ada komentar:
Posting Komentar