Rabu, 10 Januari 2018

PERINGKAT JARH WA TA’DIL MENURUT BEBERAPA KRITIKUS



Para ahli bidang ulumul hadits terlebih para kritikus hadits ternyata menglasifikasikan Jarh wa Ta’dil dalam beberapa tingkatan. Mereka menjelaskan dalam kitabnya masing-masing. Ibnu Abi Hatim dengan kitab Jarh wa Ta’dil, Al-Dzahabi  dalam kitab Mizan ‘Itidal, al-Iraqi dalam Al-Fiyahnya, dan Imam Ibnu Hajar al-Ashqalani dengan karyanya Taqrib al-Tahzib. Mereka membagi peringkat dengan klasemen yang berbeda-beda. Hal ini dikarenakan perbedaan pendapat antara satu kritikus dengan kritikus lain. Salah satu faktor adalah problematika antara Jarh wa Ta’dil Problematika dalam Jarh waTa’dil  itu sendiri. Dalam pembahasannya ada permasalahan perowi yang majhul atau tidak, dan hukum perowi yang ahlulbid’ah.

 Pengantar Peringkat Jarh wa Ta’dil
Seringkali, kalitas periwayat hadis dikemukakan dalam bentukkata atau kalimat tertentu oleh ulamaahli kritik hadis. Penggunaan kata aau kalimat tertentu untuk menerangkan kualitas periwayat tersebut diperkenankan oleh ulama, sepanjang kata atau kalimat itu telah memiliki pengertian jelas. Disamping itu, acapkali juga ulama menggunakan kata atau kalimat berbeda untuk menyebutkan satu macam kualitas periwayat. Misalnya, untuk menerangkan periwayat yang  haditsnya dapat dicacat dan diperhatikan, menurut Abiy Hatim al-Raziy (wafat 327 H), kalangan ulama ada yang memakai kata atau kalimat: صدوق, محلّة الصّدق atau   لا بأس به    . Tetapi pendapat al-Raziy ini bukan merupakan kesepakatan ulama. Sebab menurut sebagian pendapat ulama lainnya, periwayat yang disifati dengan kata: صدوق atau  بهلابأس lebih tinggi kualitas keterpujiannya daripada periwayat yang disifati dengan kata-kata الصّدق  محلّة       .
Karena periwayat hadits yang jumlahnya banyak dan kualitasnya beragam, maka kata-kata atau kalimat yang dipakaikan untuk menyifati mereka juga beragam. Ulama hadits telah mengelompokkan berbagai kata atau kalimat tersebut dalam peringkat-peringkat tertentu. Pengelompokan dalam berbagai peringkat itu melingkupi sifat-sifat terpuji para periwayat dan ketercelaan mereka.  Hal  ini dalam ilmu hadits. Hal ini dalam ilmu hadits biasa disebut dengan istilah Maratib alfazh al-ta’dil wa al-tajrihb (peringkat-peringkat untuk berbagai lafal keterpujian dan ketercelaan periwayat), atau istilah-istilah lain yang semakna.[1]     
Abdurrahman dalam buku “Metode Kritik Hadits” menjelaskan lafal tingkatan para pentajrih adalah:
1.      Menunjuk keterlaluan si rawi dalam cacatnya. Hal ini digambarkan dengan sighat af’al al-tafdhil atau ungkapan yang menunjuk arti sejenis. Contoh:
اَوْضَعُ النَّاسٌ
(orang yang paling dusta)
أَكْذبُ النّاس
(orang yang paling bohong)
اِلَيهِ المُنْتَي في الوَضْعِ
(orang yang paling mantap kebohongannya)
2.      Menunjuk sangat dalam kecacatannya. Hal ini biasanya digambarkan dalam sighat Mubalaghah. Contoh:
كَذْابٌ
(orang yang pembohong)
دَجَالٌ
(orang yang penipu)
3.      Menunjuk pada tuduhan dusta dan lain sebagainya. Contoh:
فُلانٌ مُتَّهَمٌ بِالكَذّبِ
(orang yang dituduh bohong)
فُلاَنٌ فيهِ النَّظّرُ
(orang yang perlu diteliti)
فُلَانٌ سَاقَاطَ
(orang yang gugur)
فُلَانٌ ذَاهِبُ الحَدِ يثِ
(orang yang haditsnya hilang)
فُلَانٌ مَتْرُوكٌ الحِديثَ
(orang yang ditinggalkan haditsnya)
4.      Menunjuk pada sangat dalam cacatnya atau lemahnya.
مُطرَّحُ الحَدِيثِ
(orang yang dilempar haditsnya)
فُلَانٌ ضَعِيْف
(orang yang lemah)
فُلَانٌ مَرْدُودُ الحَدِيثِ
(orang yang ditolak haditsnya)
5.      Menunjuk pada lemah dan kacaunya hafalan rawi. Contoh
فُلَانٌ لَا يُحْتَجُ بٍه
(orang yang haditsnya tidak bisa dijadikan Hujjah)
فُلَانٌ مَجْهُولٌ
(orang yang tidak dikenal identitasnya)
فُلَانٌ مُنْكَرُ الحَديثِ
(orang yang munkar hadisnya)
فُلَانٌ مُضْطَرِبُ الحَديثِ
(orang yang kacau haditsnya)
فُلَانٌ وَاهٌ
Orang yang banyak duga-duga)
6.      Menunjukkan kelemahan rawi dengan sifat yang berdekatan dengan adil. Contohnya :
ضُعِّفَ حَديثُهُ
(orang yang didhaifkan haditsnya)
فُلَانٌ مَقَالٌ فِيهِ
(orang yang diperbincangkan)
فُلَانٌ فيهِ خَلْفٌ
(orang yang disingkirkan)
فُلَانٌ لَيِّنٌ
(orang yang lunak)
فُلَانٌ لَيْسَ بِلْحُجَّةِ
(orang yang haditsnya tidak bisa digunakan hujjah)
فُلَانٌ لَيْسَ بِلْقَوِّى
(orang yang tidak kuat)
(halaman 153)
Sama dengan  martabat atau peringkat Tajrih, martabat Ta’dil  menurut para kritikus berbeda-beda. Ibnu Abi Hatim, Ibnu Shalah, al-Nawawi, mereka membagi lafal-lafal itu atas 4 tingkatan. Al-Dzahabi dan al-Iraqi  membagi lima tingkatan, dan Ibnu Hajar membagi nya menjadi 6 tingkatan. Beberapa martabat  Ta’dil secara garis besar menurut Abdurrahman dalam buku  yang sama “Metode Kritik Hadits” antara lain:
1.      Setiap lafal yang menunjukkan keadilan dan keteguhan rawi; para muhaddisin menggunakan Shighat af’al tafdlil atau menggunakan sighat yang menunjukkan sifat yang terpuji dan tiada tandingannya dengan rawi  yang lain. sighat-sighat yang sepadan antara lain:
اثْبَتُ النَّاسِ, أصْدَقُ النَّاسِ, لَيْسَ لَهُ نَظِيْرٌ, لاَ اَثْبَتَ مِنْهُ, فُلاَنٌ يُسْأَلُ عَنْهُ, الَيْهِ المُتَهِى فِى الْمُنْتَهَ
2.      Setiap lafal yang menunjukkan kebenaran rawi, keteguhan, ketsiqahan, kejujuran dan keadilannya;  lafal-lafal atau sighat yang semakna biasana diulangi sebanyak dua kali atau lebih yang berfungsi sebaagai pengokoh.
ثِقَةٌ ثِقَةٌ: ثِقَة: حَافِظٌ ثِقَةٌ
Lafal y ang tidak diulangi dengan lafal yang sama adalah:
حُجَةٌ صا حِبُ الحَيث
3.      Setiap lafal yang menunjukkan kekokohan,keteguhan,keadilan dan kepercayaan rawi.  Biasanya menggunakan bahasa pujian yang senilai dengan  kekokohan tersebut. Sighat-sighat tersebut yaitu;
ثقة, مُتَّقِنْ, امامٌ, ثَا بِبٌ القَلْبِ و الْلِسَانِ والحُجَّةِ, حَافِظٌ ضا بِطٌ
4.      Setiap lafal yang menunjukkan kekokohan derajat rowi dengan menggunakan satu kali namun sudah menunjukkan jaminan sifat kekokohan, keadilan dan kebenaran rawi. Sighat-sighatnya antara lain:
صُدُوقٌ, لا بأسَ بِهِ, خِيَارُ النَّاسِ مَئْمُونٌ لَيْسَ بِهِ بَأْ سٌ, خِيَارُ الخَلْقِ
5.      Setiap lafal yang baik,benar, dan jujurnya rowi. Dengan tidak menunjukkan bahwa hafalan, dan kejujuran dan keadilan dapat dipastikan.
صَدُوْقٌ سَيِّئُ الْحِفْظِ, صُدوق يُحْطَئ, صُدُوقْ تَغْيِيرٌ بِاَخِرِهِ, قَرِيبٌ الى الصِدْقِ
6.      Setiap lafal yang menunjukkan sifat ta’dil seorang rawi kemudian diikuti dengan tidak menunjukkan keteguhan lafal-lafal tersebut. lafal tersebut antara lain:
صدوق ان شاء الله, ليس بِبَعِدٍ مِنَ الصَّواَبِ, صُوَيْلَحٍ, مَقْبُوْلٌ
  Sebagian ulama berpendapat bahwa martabat TA’dil dari nomor 1-3 masuk dalam kategori Hadits Shahih. Martabat ke-empat masuk dalam kategori hadits hasan. Sedangkan martabat yang kelima dan keenam termasuk hadits dhaif.
Disisi lain sebagian ulama berpendapat hadits pada peringkat kelima dan ke-enam adalah Maqbul (diterima) dan Ma’mul (diamalkan) bila, ada Syahid (saksi) hadits shahih yang lain atau hadits lain yang semartabat maksutnya. Pada martabat ini pula hadits bisa menjadi Hasan Lighairihi atau hadits Hasan Lidzatihi.
 Peringkat Jarh wa Ta’dil  Menurut Ibnu Abi Hatim
Ibnu abi hatim ar-Razi menjelaskan tentang perihal peringkat Jarh wa Ta’dil dalam kitabnya Jarh wa Ta’dil. Ibnu Abi Hatim membagi Tajrih menjadi empat peringkat:
1.      Tajrih peringkat pertama
Seorang Pendusta
كذاب
Orang yang ditinggalkan Haditsnya.
متروك الحديث
Orang yang hilang haditsnya
ذاهب الحديث
Hadits pada peringkat ini, gugur dan tidak boleh ditulis.
2.      Tajrih peringkat kedua
Orang yang lemah haditsnya
ضعيف االحديييث
Hadits pada posisi ini tidak bolehdibuang melainkan hanya sebagai bahan pertimbangan.
3.      Tajrih peringkat ketiga
Bukan orang yang kuat
ليس بقوى
Penulisan hadits pada level ini diperbolehkan  dengan tidaak di I’tibarkan.
4.      Tajrih peringkat ke-empat
Orang yang lunak haditsnya
لين الحديث
Hadits pada peringkat ini boleh ditulis dan diperhatikan sebagai bahan I’tibar.
Adapun tingkatan-tingkatan Ta’dil menurut abi Hatim terbagi menjadi empat peringkat:
1.      Peringkat pertama
Orang yang tsiqah
ثقة
Orang yang teliti
متقن
Orang yang kokoh ingatannya
ثبت
Orang yang menjadi Hujjah
يحتج
Hadits pada posisi ini bisa dijadikan hujjah.
2.      Peringkat kedua
Orang yang jujur
صدوق
Orang yang dipandang jujur
محله الصدق
Tidak ada cacat padanya
لا بأس به
Status hadits ini boleh dituliskan, namun harus tetap diperhatikan.
3.      Peringkat ketiga
Seorang Syaikh
شيخ
Status pada perinkat ini sama dengan peringkat sebelumnya akan tetapi lebih rendah sedikit dari yang kedua
4.      Peringkat keempat
Orang yang sholeh haditsnya
صالح الحد يث
Statusnya adalah dituliskan hanya sebatas bahan I’tibar.
Peringkat Jarh wa Ta’dil  Menurut Al-Dzahabi
Berbeda dengan Ibnu Abi Hatim,al-Dzahabi membagi peringkat tajrih menjadi enam tingkatan. Diantaranya adalah:
1.      Tajrih tingkat pertama
Seorang pendusta
كذاب
Seorang pemalsu hadits
وضاع
Seorang penipu
دجال
Ia pemalsu hadits
يضع الحيث
2.      Tajrih tingkat Kedua
Orang yang tertuduh dusta
متهم بالكذب
Orang yang disepakati untuk ditinggalkan haditsnya
متفق على تركه
3.      Tajrih peringkat ketiga
Orang yang ditinggalkan
متروك
Orang yang hilang haditsnya
ذاهب الحديت
Bukan orang yang Tsiqah
ليس بثقة
Didiamkan para ulama keadaannya
سكتوا عنه
Orang yang binasa
هالك
Orang yang gugur
ساقط
4.      Tajrih peringkat keempat
Orang yang lemah sekali
ضعف جدا
Orang yang lemah
واه
Dilemahkan para ulama
ضعفوه
Bukan apa-apa
ليس بشئ
Orang yang sangat lemah
ضعيف وواه


5.      Tajrih peringkat kelima
Orang yang lunak
لين
Didalamnya ada kelemahan
فيه ضعيف
Padanya ada cacat yang menjadikan pembicraan
فيه مقال
Bukan orang yang kuat
ليس بالقوى
Bukan orang yang menjadi hujjah
ليس بحجة
Orang yang dikenal dan diingkari
تعرف وتنكر
Orang yang memperbincangkan para ulama
تكلم فيه
Orang yang buruk hafalannya
سيئ الحفظ
Orang yang dilemahkan haditsnya
يضعف فيه
Orang  yang diperselisihkan haditsnya
اختلف فيه
Tidak seberapa
ليس بذالك
Orang yang tidak menjadi hujjah
لا يحتج
Orang yang jujur, tetapi melakukan bid’ah
صدوق لكنه مبتع
Al-Dzahabi memberikan penerangan bahwa para ahli berbeda pendapat dalam menentukan klasifikasi dan nomerisasi Jarh dan Ta’dil. Namun pada dasarnya perbedaan tersebut tidak ada yang prinsipil. Dan sebenarnya antara satu pendapat dengan pendapat lain itu saling melengkapi. Peringkat Ta’dil menurut tokoh ini dibagi menjadi lima tingkatan, yaitu:
1.      Martabat pertama
Orang yang kokoh ingatannya, dan menjadi hujjah
ثبت حجه
Orang yang Sangat Tsiqah
ثقة ثقة
Orang yang kokoh ingatannya, yang teliti
ثبت متقن
Orang yang kokoh ingatannya, yang hafal
ثبت حافظ


2.      Martabat kedua
Orang yang Tsiqah
ثقه
Orang yang kokoh ingatannya
ثبت
Orang yang teliti
متقن

3.      Martabat ketiga
Orang yang jujur
صدوق
Tidak ada cacat padanya
ليس به بأس
4.      Martabat keempat
Orang yang sholeh haditsnya
صالح الحد يث
Orang yang dipandang jujur
محله الصدق
Orang yang baik haditsnya
جيد الحديث
Seorang Syaikh
شيخ
Seorang yang tengah-tengah
وسط
Seorang Syaikh yang tengah-tengah
شيخ وسط
Orang yang bagus haditsnya
حسن الاحديث
5.      Martabat kelima
Orang yang jujur Insya Allah
صدوق ان شأ الله
Sedikit Shaleh
صويلح
Aku berharap ia tidak bercacat
أرجوا أن لابأس به
Peringkat Jarh wa Ta’dil  Menurut Al-‘Iraqy
Al-Dzahabi dan al-raqi membagi peringkat atau martabat para perowi yang dianggap cacat menjadi lima peringkat. Peringkat tersebut antara lain:
1.      Tajrih peringkat Pertama
Seorang pendusta
كذاب
Seorang penipu
دجال
Seorang pemalsu
وضاع
Orang yang memalsu
وضع
Ia memalsu
يضع
Ia berdusta
يكذب
2.      Tajrih peringkat Kedua
Orang yang tertuduh dusta
متهم بالكذب
Orang yang ditinggal haditsnya
متروك
Orang yang hilang  haditsnya
ذاهب
Bukan orang yang tsiqah
ليس بثقة
Orang yang  binasa
هالك
Orang yang didiamkan para ulama
سكتوا عنه
Orang yang haditsnya perlu ditinjau
فيه نظر
Orang yang gugur
ساقط
Orang yang tidak diperhatikan haditsnya
لايعتبر

3.      Tajrih peringkat Ketiga
Orang yang lemah sekali
ضعيف جدا
Orang yang tidak menyamai apapun
لايساوى ىشيئا
Orang yang lemah
واه
Bukan apa-apa
ليس بشيء
Orang yang wahm
وهم
Orag yang ditolak haditsnya
ردا حديثه
Orang yang dicampakkan haditsnya
مطرح به
4.      Tajrih peringkat Keempat
Orang yang haditsnya diingkari
منكر الحديث
Orang yang tidak menjadi hujjah, para ulama yang melemahkannya
لايحتج به ضعفوه
Mudltharib haditsnya
مضطربه
5.      Tajrih peringkat Kelima
Orang yang lunak
لين
Bukan orang yang kuat
ليس بالقوي
Di dalam haditsnya ada kelemahannya
فيه ضعف
Al-Iraqi membagi Ta’dil menjadi lima mertabat, diantaranya:
1.      Martabat pertama
Orang yang sangat Tsiqah
ثقة ثقة
Orang yang Tsiqah, yang kokoh ingatannya
ثقة ثيت
Orang yang sanagat kokoh ingatannya
ثيت ثيت
Orang yang tsiqah yang menjadi hujjah
ثقت حجه
Orang yang Tsiqah yang dapat dipercaya
ثقة مأمن
2.      Martabat kedua
Orang yang Tsiqah
ثقه
Orang yang kokoh ingatannya
ثبت
Orang yang teliti
متقن
Orang yang menjadi hujjah
حجه
Orang yang hafal
حا فظ
3.      Martabat ketiga
Orang yang sholeh haditsnya
صلح الحديث
Orang yang bagus haditsnya
حسن الحديث
Orang yang haditsnya didekati
مقارب الحديث
4.      Martabat keempat
Orang yang dipandang jujur
محله الصدق
Seorang Syaikh yang tengah-tengah
سيخ وسط
Seorang Syaikh
شيخ
Orang yang tengah-tengah
وسط
5.      Martabat kelima
Orang yang jujur
صدوق
Orang yang dipercaya
مأمون
Tidak ada cacat padanya
لابأس به
Orang pilihan
خيار
Peringkat Jarh wa Ta’dil  Menurut Ibnu Hajar al-Ash qalani
Peringkat tajrih menurut Ibnu Hajar al-Ashaqalani dikelompokkan menjadi enam bagian, antara lain:
1.      Tajrih peringkat pertama, menggunakan lafadz:
Orang yang paling dusta
أكذاب الناس
Orang yang banyak memalsukan hadits
أوضع الناس
Padanya puncak pemalsuan hadits
اليه المنتهى
Dia tiang kedustaan
ركن الكذب
Dia sumber kedustaan
منبع الكذب
2.      Tajrih peringkat kedua, menggunaka lafadz:
Seorang pendusta
كذاب
Seorang pemalsu
وضاع
Seorang penipu
دجال
3.      Tajrih peringkat ketiga, menggunakan lafadz:
Orang yang tertuduh dusta
متهم بلكذب
Orang yang tertuduh memalsukan hadits
متهم بالوضع
Orang yang gugur
ساقط
Orang yang binasa
هالك
Orang yang tidak diperhatikan haditsnya
لا يعتبر حديثه
Orang yang tidak diperhatikan
لا يعتبر به
Orang yang didiamkan para ulama
سكتوا عنه
Orang yang hilang haditsnya
ذاهب
Orang yang ditinggalkan haditsnya
متروك
Para ulama meninggalkannya
تركوه
Orang yang yang tidak dipercaya
غير مأمون
Bukan orang yang tsiqah
ليس بثقة
4.      Tajrih peringkat keempat, menggunakan lafadz:
Orang yang lemah sekali
ضعيف جدا
Orang yang hadisnya dibuang para ulama
مطروح
Orang yang ditolak haditsnya
مردود الحديث
Para ulama menolak haditsnya
ردوا حديثه
Tidak ada apa-apanya
ليس بشيء
Tidak menyamai apa-apa
لا يساوى بشيئا
5.      Tajrih peringkat kelima, menggunakan lafadz:
Orang yang lemah
ضعيف
Para ulama melemahkannya
ضعيفوه
Mudlhtharib haditsnya
مضطرب الحيث
Haditsnya ditolak
منكر الحيث
Orang yang tidak dikenal
مجهول
6.      Tajrih peringkat keenam, menggunakan lafadz:
Orang yang lunak haditsnya
لين
Bukan orang yang kuat
ليس بالقوى
Orang yang dilemahkan para ahli hadits
ضعف اهل الحد يث
Orang  yang lemah
ضعف
Dalam haditsnya ada kelemahan
في حديث ضعف
Orang  yang buruk hafalannya
سيئ الحفظ
Orang yang diingkari dan dikenal
ينكر و يعرف
Padanya ada cacat yang diperselisishkan
فيه خلف
Orang yang diperselisihkan
اختلف فيه
Orang yang tidak menjadi hujjah
ليس بحجه
Tidak menjadi pegangan
ليس بعمده
Tidak seberapa
ليس بذاك
Bukan orang yang diridhoi
ليس باالمرضى
Bukan orang yang kokoh
ليس باالمتن
Bukan orang tidak aku ketahui cacatnya
ما أعلم به بأسا
Aku berharap tidak bercacat
أرجو أن لا بأسا
Bertolak dari peringkat Tajrih, Ibnu Hajar al-Ashaqalani membagi menjadi enam tingkatan, antara lain:
1.      Peringkat pertama, martabat paling tiggi dan menggunakan af’al al-Muballaghah
Se-Tsiqah-tsiqahnya Orang
اوثق النّاس
Sekokoh-kokohny orang
أثيت النّاس
Padanya puncak keTsiqahan
اليه المنتهى فى الثقة
Padanya puncak kekokohan
اليه المنتهى فى التثبث
Ta’ada seorang pun yang lebih kokoh darinya
لا أثبت منه
Siapakah orang yang seprti fulan
من مثل فلان
Fulan ditanyakan keadaannya
فلان يسأل عنه

2.      Peringkat kedua, memperkuat ketsiqatan rawi dengan mengulang-ngulang lafal sama atau semaa’na dengannya.
Orang yang sangat Tsiqah
ثقة ثقة
Orang yang sangat kokoh ingatannya
ثييت ثيت
Orang yang sangat bisa menjadi hujjah
حجة حجة
Orang yang kokoh ingatannya, yang Tsiqahi
ثبت ثقة
Orang yang kokoh ingatannya, yang menjadi hujjah
ثبت حجه
Orang yang hafal, yang menjadi hujjah
حافظ حجه
Orang yang Tsiqah yang dipercaya
ثقة مأمن
3.      Peringkat ketiga, menunjuk keadilan dengan lafal yang mengandung arti kuat ingatannya.
Orang yang Tsiqah
ثقة
Orang yang kokoh ingatannya
ثيت
Orang yang kuat hafalannya
ضبط
Orang yang hafal
حافظ
Orang yang menjadi hujjah
حجه
4.      Peringkat keempat, menunjuk  ketsiqatan tetapi dengan lafal yang tidak mengandung arti Tsiqah.
Orang yang jujur
صدوق
Orang yang dipercaya
مأمن
Tiada cacat padanya
لابأس به
Orang pilihan
خيار
5.      Peringkat kelima, menunjuk kejujuran rawi tetapi tidak terpahamkan kedlabitan.
Orang yang dipandang jujur
محله اصدوق
Banyak orang meriwayatkan darinya
روواه عنه
Orang yang tengah-tengah
وسط
Seorang Syaikh
شيخ
Seorang Syaikh yang tengah-tengah
وسط شيخ
Orang yang baik haditsnya
جيد الحديث
Orang yang bagus haditsnya
حسن الحديث
Orang yang haditsnya didekati
مقارب
Orang yang burukhafalannya
سئ الحفظ
Orang yang jujur tetapi mempunyai wahm
صدوق يوهم
Orang yang jujur sering keliru
صدوق يخطئ
Orang yang jujur, tetapi berubah pada akhir umurnya
صدوق تغير بأخره
Dituduh melakukan  bid’ah
يرمى ببدع

6.      Peringkat keenam, menunjukkan arti mendekati cacat, biasanya menmbah lafl Insya Allah atau mentashghirkan atau mengaitkan pada sesuatu pengharapan.
Orang yang jujur Insya Allah
صدوق أنشأء الله
Aku berharap ia tidak cacat
أرجوا أن لابأس به
Orang yang sedikit shaleh
صويلح
Orang yang diterima haditsnya
مقبول
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, dan Sumarna, Elan.2013.Metode Kritik Hadits.Bandung: PT. Remaja Rosda Karya
Suryadi.2003. Metodologi Ilmu Rijalil Hadits.Yogyakarta: Madani Pustaka Hikmah
Ash-Shiddieqy, Hasbi.1976.Pokok-pokok IlmuDiroyah Hadits(Julid II).Jakarta: Bulan Bintang
M. Suyuti Ismail,Kaedah Kesahihan Hadits: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang,1995)


[1] M. Suyuti Ismail,Kaedah Kesahihan Hadits: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang,1995),h.196
[2] Suryadi,Metodologi Ilmuu Rijalil  Hadits, (Yogyakarta: Madani Pustaka Hikmah,2003), h.58-59
[3] Suryadi,Metodologi Ilmuu Rijalil  Hadits, (Yogyakarta: Madani Pustaka Hikmah,2003), h.60-62
[4] Suryadi,Metodologi Ilmuu Rijalil  Hadits, (Yogyakarta: Madani Pustaka Hikmah,2003), h.65-68

Tidak ada komentar:

Posting Komentar