Biografi
Jamaluddin al-Qasimi
Al-Qasimi mempunyai
nama lengkap Al-Allamah al-Muhaddis Syria, Syeikh Muhammad Jamaluddin bin
Muhammad Said bin Qasim bin Soleh bin Ismail bin Abu Bakar yang lebih dikenal
dengan al-Qasimi. Beliau di nasabkan kepada kakek beliau yang bernama Syeikh Qasim seorang
ulama terkemuka di Syam. Beliau lahir pada hari senin bulan Jumadil U’la tahun 1283 H/1866 M di Damaskus, wafat pada
hari sabtu bulan Jumadil U’la tahun 1332 H/1914 M.[1]
Beliau tumbuh di tengah keluarga yang dikenal takwa dan berilmu. Ayah
al-Qasimi adalah seorang ahli fikih dan juga seorang sastrawan bernama Abu
‘Abdillah Muhammad Sa’id Abi al-Khair. Ayahnya mewarisi perpustakaan yang
berisi banyak literatur keilmuan dari kakeknya. Dan, ayahnyalah yang mewariskan
dan mengalirkan berbagai ilmu kepada al-Qasimi, langsung dari sumbernya, yaitu
buku-buku. Perlu diketahui, perpustakaan pribadi
ayah al-Qasimi memuat berbagai buku mengenai tafsir, hadis, fikih, bahasa,
tasawuf, sastra, sejarah, usul fikih, sosial-kemasyarakatan, olah raga, hukum
perbandingan, filsafat, dan sejarah perbandingan agama.[2]
Al-Qasimi lihai dalam ilmu hadits dan non
hadits sebagai mana dalam salah satu pendapatnya seperti sanksi riddah; Walaupun konversi agama merupakan dosa besar, namun itu urusan
dirinya dengan Tuhannya, dan hukumannya ditunda sampai hari pembalasan. Pendapatnya ini sama dengan para mufassir ketika menafsirkan ayat
217 al-Baqarah tentang riddah. [3]
Al-Qasimi mulai belajar al-Qur’an kepada Syekh
“Abdurrahmanal-Mishri. Kemudian melanjutkan belajar menulis kepada Syekh Mahmud
al-Qushi, sampai akhirnya pindah ke Madrasah Azh-Zhahiriyah, dan disana
iamendapatkan pendidikan Tawhid, Nahwu, Sharf, Mantiq, Bayan, ‘Arudh, dan
disiplin ilmu lainnya. Syeikh Rasyid , dari beliau Imam al-Qasimi
belajar Tauhid , Shorof, Nahwu, Mantiq, Arudh di Madrasah Dhahiriyah. Syeikh
Ahmad al-Haulaniy, dari beliau Imam al-Qasimi belajar ilmu Qira’at. Syeikh Salim al-Athar, dari beliau Imam al-Qasimi belajar Tafsir
al-Baidhawiy, Jamul Jawami, Muwattha, Mashabihu Sunnah, Jami’ as-Shagir dan
lain-lain
Al-Qasimi dianugerahi kecerdasan yang amat
luar biasa. Konon, apa yang yang ia dengar seketika itu juga mampu dihafalnya.
Kitab Shahih Muslim sanggup dihafal luar kepala dalam tempo 40hari, sunan
Ibnu Majah selam 21 hari, dan al-Muwatta’ selam 19 hari. Karena itu,
amat wajar jika ia piawai dalam bidang keilmuawan. Ia seorang ahli fiqih
sekaligus ahli hadits, ahli sastra plus seniman, serta ahli tafsir. Sosok
sarjana Islam yang multi-disiplin. Riwayat hidup al-Qasimi tak pernah sepi dari
pengembaraan menuntut ilmu seperti Mesir, Madinah, dan Damaskus.[4] Syeikh Rasyid Ridho
mengatakan bahwa al-Qasimi adalah orang yang alim dari Syam yang langka, pembaharu ilmu-ilmu keislaman, penghidup
sunnah dengan ilmu dan amal. Al-Qasimi
dalam menulis karya atau mengkaji pengetahuan selalu menggunakan
petunjuk salaf dan perkembangan yang dibutuhkan zaman.[5]
Ia mengembangkan semangatnya dalam keilmuan,
dalam menyusun, mensyarah, kritik, reformasi hingga karangannya berkembang dan karyanya yang banyak hingga
jumlahnya tidak kurang dari 80 buah, diantaranya yang populer yaitu: Mahasin
at-Ta’wil fi Tafsir Qur’an al-Karim, Fasli al-Kalam fi Haqiqat audi Ruh ilal
Mayyiti hina al-Kalam, Al-bahsu Fi Jami’i al-Qiraati al-Utarif Alaiha, Dalail
at-Tauhiid. Mauidzatul
Mukminin min Ihya’ Ulumuddin, Qawaid at-Tahdis fi Funun Mutstalah al-Hadis, Syaraaf
al-Asbath. Tanbiih ath-Thaalib
ilaa Ma’rifati al-Fardli wa al-Waajib., Jawaami’ al-Adab fii
Akhlaaq al-Anjab, Ishlaah al-Masaajid min al-Bidaa’ii wa al-‘Awaaidi.
Ta’thiir al-Masyaam fii Maatsari Dimasyqi al-Syaam. Qawaa’id at-Tahdiits
min Funuuni Mushthalaah al-Hadiits. Mahaasin at-Ta’wiil
fii Tafsiir Al-Qur’aan Al-Kariim.
Tarjamah al-Imaam al-Bukhaarii, Bait al-Qaashid fii Diiwaan al-Imaam
al-Waliid as-Sa’iid. Ikhtisaar al-Ihyaa’
Khusus tentang kitab tafsir bertitel Mahasin
t-ta’wil, al-Qasimi sangat berhati-hati dalam penulisannya. Ia baru berani menulis tafsir
ini setelah melakukn beberapa kali shalat Istikharah. Pada 10 Syawal 1316 kitab
ini mulai digarab dengan harapan tafsirnya dapat memberikan
pencerahan-pencerahan kepada masyarakat. Pembuatan kitab tafsir juga tidak
luput dengan mencantumkan data penjelas seperti Hadits, namun tidak sembarang
hadits (selektif). Ia pun juga mengutip pendapat sejumlah ulama besar seperti
Imam Ghazalim Ibnu Taymiyah, Muhammad Abduh, Rasyid Ridho, Imam Syatibi,
al-Aziz bin Abdussalam.[6]
Pemikiran
Jamaluddin al-Qasimi
Hadits merupakan bagian wahyu dari Allah SWT
menurut Jamuddin al-Qasimi Sedangkan hadis adalah sesuatu yang diturunkan
kepada Jibril berupa makna yang dengan itu Rasulullah mengungkapkannya, atau
diilhamkan kepada Nabi, lalu beliau mengungkapkannya dengan lafaz Arab yang
fasih.[7]
Jamaluddin al-Qasimi merupakan Tokoh dalam era
kontemporer atau Nuruddin Itr menamai dengan abad kebangkitan kedua.
Kebangkitan kedua muncul ketika munculnya kekhawatiran yang setiap saat bisa
muncul sebagai akibta persentuhan antara dunia islam dengan dunia Timur, dan
Barat, bentrokan militer yang tidak manusiawi, dan kolonialisme pemikiran yang
lebih jahat dan lebih berbahaya. Seperti munculnya informasi yang mengaburkan
eksistensi hadits yang dilontarkan oleh para Orientalis. Informasi tersebut
diterima mentah-mentah lalu disebar dengan penuh keyakinan.[8] Al-Qasimi turut andil
dalam awal era ini.
Diantara pemikiran yang melekat
dalam kepribadian al-Qâsimi adalah agama adalah tempat pembentukan akhlak, agama
menyeru kepada persatuan dan bukannya perpecahan, akal adalah petunjuk Tuhan
yang paling meyakinkan dan kuat sehingga naql (teks) tidak boleh bertentangan
dengan akal serta apabila pemahaman akal dengan naql (teks) bertentangan, maka
yang harus dilakukan adalah pemahman naql (teks) dengan akal.[9]
Pemikirannya
secara tersirat tertuang dalam salah satu karyanya yakni Qawaid at-Tahdits min Funun Mustholah
al-Hadits. karyanya ditujukan bukan kepada sembarang kalangan. Al-Qasimi mengatakan
“Saya susun kitab yang ringkas ini untuk dipersembahkan kepada orang-orang yang
kepada mereka kitab-kitab lain dipersembahkan dan hidayah mereka sangat
diharapkan para ulama yaitu orang-orang yang memiliki lima sifat, yang paling
dominan diantaranya adalah ikhlas, cerdas, dan objektif”.[10]
Karya al-Qasimi mencoba memberkan sistematika
pengajaran yang lebih baik dan komprehensif dengan tetap mengacu pada
karya-karya awal ulumul hadits sehingga dapat dikatakan bahwa yang muncul pada
abad ini terfokus pada perubahan sistematika penyajian serta pemecahan dari
persoalan Ulumul Hadits yang sebelumnya masih berserakan. Dede
Rodhiayana bingung dalam menilai pemikiran Jamaluddin al-Qasimi sebab tidak
diketahui mana yang merupakan pernyataan ataukah pemikiran al-Qasimi sendiri.[11]
Kitab Qawaid at-Tahdits min Funun Mustholah
al-Hadits memuat 160 pembahasan yang terbagi dalam 10 Bab, diantaranya:
1. الباب الأوّل التنويه بشأن الحديث terbagi menjadi 10 pembahasan.
2. الباب الثّاني في معني الحديث terbagi menjadi 5 pembahasan.
3. الباب الثّالث في بيان علم الحديث terbagi menjadi 3 masalah.
4. الباب الرّابع في معرفة أنواع الحديث terbagi menjadi 48 maksud dan dalam sub babالكلام علي الحديث الموضوع memuat 14 pembahasan.
5. الباب الخامس في الجرح والتعديل terbagi ke dalam 20 masalah
6. الباب السّادس في الإسناد terbagi menjadi 24 pembahasan.
7. الباب السّابع في أحوال الرّواية memuat 5 pembahasan.
8. الباب الثّامن في آداب المحدّث وطالب الحديث mencakup 8 masalah
9. الباب التّاسع في كتب الحديث membahas 10 faidah
10. الباب العاشر في فقه الحديث membahas 30 penjelasan
Dari seluruh pembahasan yang dijelaskan
al-Qasimi, terjadi pembaharuan Manhaj dari arah yang terlebih dahulu
ada, khususnya dari Manhaj Ibnu Hajar. Akan tetapi, dari segi materi
bahasan atau cabang Ulumum al-Hadits, al-Qasimi tdak keluar dan tidak
mengalami pergeseran dari yang telah ada sebelumnya. dalam karya al-Qasimi
secara jelas hanya bersifat reformulasi Manhaj dari karya-karya
sebelumnya dan tidak menawarkan cabang baru Ulum al-Hadits, dan hanya
menambah dari segi pengetahuan tentang sejarah perkembngan hadits.
Seperti yang telah dikemukakan bahwa,
al—Qasimi dalam karya Qawai’id Tahdits bukan memberikan sesuatu teori
baru melainkan mensistematiskan, mensederhanakan ilmu hadits sehingga yang
namanya ilmu hadits seribet yang seperti tokoh-tokoh pra-modern jelaskan.
Sehingga kritik sanad atau matan tidak sedetail ulama-ulama jebolan al-Azhar
Mesir. Sebut saja Yusuf Qardawi yang memberikan metode kritik matan. Salah satu
contoh Cara pandang al-Qasimi yakni tentang ”Majhul” yang didefinisikan
setiap orang tidak dikenal dengan ulama, bahwa dia punya ilmu atau suka
mengajarkan ilmu; disamping it bisa dikurangi dengan adanya ulma mashur
meriwayatkan hadits daripadanya; walapun keadilan orang yang tidak kenal itu
tidak bisa dijamin.[12]selain
itu Opini hadits Hasan la lidzatihi inii berasal dari hadits dhaif,
tetapi tidak terlalu dhaif dan jalannya banyak, sehingga kedhoifannya tertutup.
Nuruddin Itr dalam karyanya mengutip pemikiran
al-Qasim yang sejalan dengan jumhur ulama. Ia menjelaskan jumhur ulama menilai
hadits mu’an’an sebagai hadits apabila bertemunya para rawi sangat besar dan
tidak termasuk rawi mudallis.apabila
demikian, maka hadits mu’an’an itu tidak muttasil.[13]
Perihal Jarh Wa Ta’dil menurut al-Qasimi Ada
beberapa faktor yang membuat seseorang
dapat dinilai cacat, namun semua berkisar pada lima hal:
1. Bidah (melakukan tindakan tercela di luar ketentuan
syariah).
2.
Mukhalafah (pertentangan dengan periwayatan orang yang lebihtsiqah).
3. Ghalath (banyak kekeliruan dalam periwayatan).
4. Jahalat al-hal (identitas tidak dikenal).
5. Da’wah al-Inqitha’ (diduga keras sanad tidak
bersambung).
Orang yang disifati dengan bidah adakalanya
tergolong orang yang dikafirkan dan adakalanya difasikkan. Mereka yang dianggap
kafir, misalnya golongan Rafidhah, mempercayai bahwa Tuhan menyusup (bersatu)
ada diri Ali dan imam lain serta meyakini bahwa Ali akan kembali lagi ke dunia
sebelum kiamat. Riwayat pelaku bidah yang digolongkan kafir tidak dapat
diterima menurut jumhur ulama. Sedangkan orang yang dianggap fasik adalah yang
mempunyai keyakinan berlawanan dengan dasar-dasar syariat.[14]
Mengutip dari al-Qasimi, Berdasarkan langkah
metodologis dalam penelitian matan Arifuddin Ahmad kemudian merincinya dengan memasukkan
kaedah minor dalamsyadz dan ‘illah pada matan hadis. Unsur kaedah minor syadz, menurutnya, adalah
adalah 1. Sanad hadis bersangkutan tidak menyendiri; 2. Matan hadis
bersangkutan tidak bertentangan dengan matan hadis yang sanadnya lebih kuat; 3
Matan hadis bersangkutan tidak bertentangan dengan al-Qur’an; dan 4. Matan
hadis bersangkutan tidak bertentangan dengan akal dan fakta sejarah.[15]
[1] Pengantar
Tahqiq Syeikh Abdul Qadir al-Arnauth terhadap kitab “Qawaidu Tahdits
min Fununi Ulumul Hadits”, karya ; Imam al-Qasimi (Muasasah al-Risalah; Beirut,
cetakan 1, tahun 2004 ) hal ; 24
[2] ‘Abd al-Majid
‘Abd as-Salam al-Muhtasib, “Visi
dan Paradigma Tafsir Al-Qur’an Kontemporer”, terj. Moh. Maghfur
Wachid, (Bangil: Al-Izzah, 1997) hal; 35-36
[3] Imroatul
Azizah,” Sanksi Riddah Perspektif Maqâsid Al-Sharî’ah” , Dalam Al-Daulah: Jurnal Hukum Dan Perundangan
Islam Volume 5, Nomor 2, Oktober 2015; Issn 2089-0109
[4] Saiful
Amin Ghofur, Profil Para Mufassir al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani, 2008), h. 156-157
[7] Maizuddin M.
Nur,“ Tipologi Pemikiran Tentang Kewenangan Sunnah Di Era Modern” Dalam Jurnal
Substantia, Vol. 14, No. 2, Oktober 2012, H. 150
[9]Mifta
Arifin, “Sejarah Perkembangan Ulumul Hadits Periode Modern” dalam http://arifinmifta.blogspot.co.id/2013/10/sejarah-perkembangan-ulumul-hadits.html, diakses
pada 15 Mei 2016, pukul 08.00PM
[11] Muhammad
Dede Roddliyana, Perkembangan Pemikiran Ulum al-Hadits Dari Klasik Sampai
Modern, (Jakarta: CV. Pustaka Setia, 2003), h. 103
[12] M
Abdurrahman, Elan surmana, MetodeKritik Hadits, (Bandung: Remaja Rosda Karya,
cet ke-2, 2013)
[14] Bahrul Ma’ani, “Al-Jarh Wa Al-Ta’dil: Upaya Menghindari Skeptis Dan Hadis
Palsu” dalam Media Akademika, Volume 25, No. 2, April 2010, h. 102
[15] Nurul Hikmah, “Takhrij Hadits”
dalam http://uyuy92.blogspot.co.id/2015/01/takhrij-hadits.html,
diakses 16 mei 2016, puku 08.00 pm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar