Sabtu, 29 Oktober 2016

introduction to Marching Band Music



Salam Seni Indonesia! Musik marching band adalah sekumpulan musisi yang memainkan alat musik berharmonisasi secara bersamaan. Marching band tergolong musik hiburan dan musik patriotik. Tergolong musik hiburan, sebab jenis musik ini mampu menghibur penonton. Penonton dibuat takjub dengan tiupan ataupukulan alat musik yang terkadang halus dan tiba-tiba keras dan tinggi. Tiupan yang melengking juga menjadi ciri khas tersendiri. Marching band juga dikatakan sebagai musik patriotik atau musik penyemangat sebuah tim.
Marching Band merupakan tradisi luar negeri yang telah digandrungi oleh pelajar  atau masyarakat se antero nusantara dan berbagai usia. Melalui marhing band orang akan berekspresi dan dikenal oleh banyak orang dan meningkatkan percaya diri. Rasa  Minder akan hilang apabila meainkan Marching Band.
Marching Band merupakan sebuah evolusi musik Drum band. Drumband merupakan musik sederhana yang terdiri perkusi dan sedikit alat tiup. Seiring perkembangan zaman, Drumband berubah menjadi Marching band yang komposisnya lebih banyak dan rumit. Musiknya terdiri dari Perkusi (Snare Drum, Bass drum, Multi Tom, dan Simbal), dan Brass (Terompet, Mellowphone, Baritone, Euphonium, Tuba, dan Contra Bass). Masing-masing alat mempunyai berat yang variasi mulai 5 kg hingga lebih dari 10 Kg.
namun sebeapa beratnya alat marching band, kalau sudah hobi akan tetap dilakoni. 

Time to Introduction "JAMAALUDDIN AL-QASIMI"



Biografi Jamaluddin al-Qasimi
Al-Qasimi mempunyai nama lengkap Al-Allamah al-Muhaddis Syria, Syeikh Muhammad Jamaluddin bin Muhammad Said bin Qasim bin Soleh bin Ismail bin Abu Bakar yang lebih dikenal dengan al-Qasimi. Beliau di nasabkan kepada kakek beliau yang bernama Syeikh Qasim seorang ulama terkemuka di Syam. Beliau lahir pada hari senin bulan Jumadil U’la  tahun 1283 H/1866 M di Damaskus, wafat pada hari sabtu bulan Jumadil U’la tahun 1332 H/1914 M.[1]
Beliau tumbuh di tengah keluarga yang dikenal takwa dan berilmu. Ayah al-Qasimi adalah seorang ahli fikih dan juga seorang sastrawan bernama Abu ‘Abdillah Muhammad Sa’id Abi al-Khair. Ayahnya  mewarisi perpustakaan yang berisi banyak literatur keilmuan dari kakeknya. Dan, ayahnyalah yang mewariskan dan mengalirkan berbagai ilmu kepada al-Qasimi, langsung dari sumbernya, yaitu buku-buku. Perlu diketahui, perpustakaan pribadi ayah al-Qasimi memuat berbagai buku mengenai tafsir, hadis, fikih, bahasa, tasawuf, sastra, sejarah, usul fikih, sosial-kemasyarakatan, olah raga, hukum perbandingan, filsafat, dan sejarah perbandingan agama.[2]
Al-Qasimi lihai dalam ilmu hadits dan non hadits sebagai mana dalam salah satu pendapatnya seperti sanksi riddah; Walaupun konversi agama merupakan dosa besar, namun itu urusan dirinya dengan Tuhannya, dan hukumannya ditunda sampai hari pembalasan. Pendapatnya ini sama dengan para mufassir ketika menafsirkan ayat 217 al-Baqarah tentang riddah. [3]
Al-Qasimi mulai belajar al-Qur’an kepada Syekh “Abdurrahmanal-Mishri. Kemudian melanjutkan belajar menulis kepada Syekh Mahmud al-Qushi, sampai akhirnya pindah ke Madrasah Azh-Zhahiriyah, dan disana iamendapatkan pendidikan Tawhid, Nahwu, Sharf, Mantiq, Bayan, ‘Arudh, dan disiplin ilmu lainnya. Syeikh Rasyid , dari beliau Imam al-Qasimi belajar Tauhid , Shorof, Nahwu, Mantiq, Arudh di Madrasah Dhahiriyah. Syeikh Ahmad al-Haulaniy, dari beliau Imam al-Qasimi belajar ilmu Qira’at. Syeikh Salim al-Athar, dari beliau Imam al-Qasimi belajar Tafsir al-Baidhawiy, Jamul Jawami, Muwattha, Mashabihu Sunnah, Jami’ as-Shagir dan lain-lain
Al-Qasimi dianugerahi kecerdasan yang amat luar biasa. Konon, apa yang yang ia dengar seketika itu juga mampu dihafalnya. Kitab Shahih Muslim sanggup dihafal luar kepala dalam tempo 40hari, sunan Ibnu Majah selam 21 hari, dan al-Muwatta’ selam 19 hari. Karena itu, amat wajar jika ia piawai dalam bidang keilmuawan. Ia seorang ahli fiqih sekaligus ahli hadits, ahli sastra plus seniman, serta ahli tafsir. Sosok sarjana Islam yang multi-disiplin. Riwayat hidup al-Qasimi tak pernah sepi dari pengembaraan menuntut ilmu seperti Mesir, Madinah, dan Damaskus.[4] Syeikh Rasyid Ridho mengatakan bahwa al-Qasimi adalah orang yang alim dari Syam yang langka,  pembaharu ilmu-ilmu keislaman, penghidup sunnah dengan ilmu dan amal. Al-Qasimi  dalam menulis karya atau mengkaji pengetahuan selalu menggunakan petunjuk salaf dan perkembangan yang dibutuhkan zaman.[5]
Ia mengembangkan semangatnya dalam keilmuan, dalam menyusun, mensyarah, kritik, reformasi hingga karangannya berkembang dan karyanya yang banyak hingga jumlahnya tidak kurang dari 80 buah, diantaranya yang populer yaitu:  Mahasin at-Ta’wil fi Tafsir Qur’an al-Karim, Fasli al-Kalam fi Haqiqat audi Ruh ilal Mayyiti hina al-Kalam, Al-bahsu Fi Jami’i al-Qiraati al-Utarif Alaiha, Dalail at-Tauhiid. Mauidzatul Mukminin min Ihya’ Ulumuddin, Qawaid at-Tahdis fi Funun Mutstalah al-Hadis, Syaraaf al-Asbath.  Tanbiih ath-Thaalib ilaa Ma’rifati al-Fardli wa al-Waajib., Jawaami’ al-Adab fii Akhlaaq al-Anjab, Ishlaah al-Masaajid min al-Bidaa’ii wa al-‘Awaaidi. Ta’thiir al-Masyaam fii Maatsari Dimasyqi al-Syaam. Qawaa’id at-Tahdiits min Funuuni Mushthalaah al-Hadiits. Mahaasin at-Ta’wiil fii Tafsiir Al-Qur’aan Al-Kariim.  Tarjamah al-Imaam al-Bukhaarii, Bait al-Qaashid fii Diiwaan al-Imaam al-Waliid as-Sa’iid. Ikhtisaar al-Ihyaa’
Khusus tentang kitab tafsir bertitel Mahasin t-ta’wil, al-Qasimi sangat berhati-hati dalam  penulisannya. Ia baru berani menulis tafsir ini setelah melakukn beberapa kali shalat Istikharah. Pada 10 Syawal 1316 kitab ini mulai digarab dengan harapan tafsirnya dapat memberikan pencerahan-pencerahan kepada masyarakat. Pembuatan kitab tafsir juga tidak luput dengan mencantumkan data penjelas seperti Hadits, namun tidak sembarang hadits (selektif). Ia pun juga mengutip pendapat sejumlah ulama besar seperti Imam Ghazalim Ibnu Taymiyah, Muhammad Abduh, Rasyid Ridho, Imam Syatibi, al-Aziz bin Abdussalam.[6]
 
Pemikiran Jamaluddin al-Qasimi
Hadits merupakan bagian wahyu dari Allah SWT menurut Jamuddin al-Qasimi Sedangkan hadis adalah sesuatu yang diturunkan kepada Jibril berupa makna yang dengan itu Rasulullah mengungkapkannya, atau diilhamkan kepada Nabi, lalu beliau mengungkapkannya dengan lafaz Arab yang fasih.[7]
Jamaluddin al-Qasimi merupakan Tokoh dalam era kontemporer atau Nuruddin Itr menamai dengan abad kebangkitan kedua. Kebangkitan kedua muncul ketika munculnya kekhawatiran yang setiap saat bisa muncul sebagai akibta persentuhan antara dunia islam dengan dunia Timur, dan Barat, bentrokan militer yang tidak manusiawi, dan kolonialisme pemikiran yang lebih jahat dan lebih berbahaya. Seperti munculnya informasi yang mengaburkan eksistensi hadits yang dilontarkan oleh para Orientalis. Informasi tersebut diterima mentah-mentah lalu disebar dengan penuh keyakinan.[8] Al-Qasimi turut andil dalam awal era ini.
Diantara pemikiran yang melekat dalam kepribadian al-Qâsimi adalah agama adalah tempat pembentukan akhlak, agama menyeru kepada persatuan dan bukannya perpecahan, akal adalah petunjuk Tuhan yang paling meyakinkan dan kuat sehingga naql (teks) tidak boleh bertentangan dengan akal serta apabila pemahaman akal dengan naql (teks) bertentangan, maka yang harus dilakukan adalah pemahman naql (teks) dengan akal.[9]
 Pemikirannya secara tersirat tertuang dalam salah satu karyanya yakni  Qawaid at-Tahdits min Funun Mustholah al-Hadits. karyanya ditujukan bukan kepada sembarang kalangan. Al-Qasimi mengatakan “Saya susun kitab yang ringkas ini untuk dipersembahkan kepada orang-orang yang kepada mereka kitab-kitab lain dipersembahkan dan hidayah mereka sangat diharapkan para ulama yaitu orang-orang yang memiliki lima sifat, yang paling dominan diantaranya adalah ikhlas, cerdas, dan objektif”.[10]
Karya al-Qasimi mencoba memberkan sistematika pengajaran yang lebih baik dan komprehensif dengan tetap mengacu pada karya-karya awal ulumul hadits sehingga dapat dikatakan bahwa yang muncul pada abad ini terfokus pada perubahan sistematika penyajian serta pemecahan dari persoalan Ulumul Hadits yang sebelumnya masih berserakan. Dede Rodhiayana bingung dalam menilai pemikiran Jamaluddin al-Qasimi sebab tidak diketahui mana yang merupakan pernyataan ataukah pemikiran al-Qasimi sendiri.[11]
Kitab Qawaid at-Tahdits min Funun Mustholah al-Hadits memuat 160 pembahasan yang terbagi dalam 10 Bab, diantaranya:
1.      الباب الأوّل التنويه بشأن الحديث  terbagi menjadi 10 pembahasan.
2.      الباب الثّاني في معني الحديث  terbagi menjadi 5 pembahasan.
3.      الباب الثّالث في بيان علم الحديث  terbagi menjadi 3 masalah.
4.      الباب الرّابع في معرفة أنواع الحديث  terbagi menjadi 48 maksud dan dalam sub babالكلام   علي الحديث الموضوع memuat 14 pembahasan.
5.      الباب الخامس في الجرح والتعديل  terbagi ke dalam 20 masalah
6.      الباب السّادس في الإسناد  terbagi menjadi 24 pembahasan.
7.      الباب السّابع في أحوال الرّواية  memuat 5 pembahasan.
8.      الباب الثّامن في آداب المحدّث وطالب الحديث  mencakup 8 masalah
9.      الباب التّاسع في كتب الحديث  membahas 10 faidah
10.  الباب العاشر في فقه الحديث  membahas 30 penjelasan
Dari seluruh pembahasan yang dijelaskan al-Qasimi, terjadi pembaharuan Manhaj dari arah yang terlebih dahulu ada, khususnya dari Manhaj Ibnu Hajar. Akan tetapi, dari segi materi bahasan atau cabang Ulumum al-Hadits, al-Qasimi tdak keluar dan tidak mengalami pergeseran dari yang telah ada sebelumnya. dalam karya al-Qasimi secara jelas hanya bersifat reformulasi Manhaj dari karya-karya sebelumnya dan tidak menawarkan cabang baru Ulum al-Hadits, dan hanya menambah dari segi pengetahuan tentang sejarah perkembngan hadits.
Seperti yang telah dikemukakan bahwa, al—Qasimi dalam karya Qawai’id Tahdits bukan memberikan sesuatu teori baru melainkan mensistematiskan, mensederhanakan ilmu hadits sehingga yang namanya ilmu hadits seribet yang seperti tokoh-tokoh pra-modern jelaskan. Sehingga kritik sanad atau matan tidak sedetail ulama-ulama jebolan al-Azhar Mesir. Sebut saja Yusuf Qardawi yang memberikan metode kritik matan. Salah satu contoh Cara pandang al-Qasimi yakni tentang ”Majhul” yang didefinisikan setiap orang tidak dikenal dengan ulama, bahwa dia punya ilmu atau suka mengajarkan ilmu; disamping it bisa dikurangi dengan adanya ulma mashur meriwayatkan hadits daripadanya; walapun keadilan orang yang tidak kenal itu tidak bisa dijamin.[12]selain itu Opini hadits Hasan la lidzatihi inii berasal dari hadits dhaif, tetapi tidak terlalu dhaif dan jalannya banyak, sehingga kedhoifannya tertutup.
Nuruddin Itr dalam karyanya mengutip pemikiran al-Qasim yang sejalan dengan jumhur ulama. Ia menjelaskan jumhur ulama menilai hadits mu’an’an sebagai hadits apabila bertemunya para rawi sangat besar dan tidak  termasuk rawi mudallis.apabila demikian, maka hadits mu’an’an itu tidak muttasil.[13]
Perihal Jarh Wa Ta’dil menurut al-Qasimi Ada beberapa  faktor yang membuat seseorang dapat dinilai cacat, namun semua berkisar pada lima hal:
1. Bidah (melakukan tindakan tercela di luar ketentuan syariah).
2. Mukhalafah (pertentangan dengan periwayatan orang yang lebihtsiqah).
3. Ghalath (banyak kekeliruan dalam periwayatan).
4. Jahalat al-hal (identitas tidak dikenal).
5. Da’wah al-Inqitha’ (diduga keras sanad tidak bersambung).
Orang yang disifati dengan bidah adakalanya tergolong orang yang dikafirkan dan adakalanya difasikkan. Mereka yang dianggap kafir, misalnya golongan Rafidhah, mempercayai bahwa Tuhan menyusup (bersatu) ada diri Ali dan imam lain serta meyakini bahwa Ali akan kembali lagi ke dunia sebelum kiamat. Riwayat pelaku bidah yang digolongkan kafir tidak dapat diterima menurut jumhur ulama. Sedangkan orang yang dianggap fasik adalah yang mempunyai keyakinan berlawanan dengan dasar-dasar syariat.[14]
Mengutip dari al-Qasimi, Berdasarkan langkah metodologis dalam penelitian matan Arifuddin Ahmad kemudian merincinya dengan memasukkan kaedah minor dalamsyadz dan ‘illah pada matan hadis. Unsur kaedah minor syadz, menurutnya, adalah adalah 1. Sanad hadis bersangkutan tidak menyendiri; 2. Matan hadis bersangkutan tidak bertentangan dengan matan hadis yang sanadnya lebih kuat; 3 Matan hadis bersangkutan tidak bertentangan dengan al-Qur’an; dan 4. Matan hadis bersangkutan tidak bertentangan dengan akal dan fakta sejarah.[15]


[1]      Pengantar  Tahqiq   Syeikh Abdul Qadir  al-Arnauth terhadap kitab “Qawaidu Tahdits min Fununi Ulumul Hadits”, karya ; Imam al-Qasimi (Muasasah al-Risalah; Beirut, cetakan 1, tahun 2004 )  hal ; 24
[2]  ‘Abd al-Majid ‘Abd as-Salam al-Muhtasib, “Visi dan Paradigma Tafsir Al-Qur’an Kontemporer”, terj. Moh. Maghfur Wachid, (Bangil: Al-Izzah, 1997) hal; 35-36
[3] Imroatul Azizah,” Sanksi Riddah Perspektif Maqâsid Al-Sharî’ah” , Dalam  Al-Daulah: Jurnal Hukum Dan Perundangan Islam Volume 5, Nomor 2, Oktober 2015; Issn 2089-0109
[4] Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008), h. 156-157
[5] Intan Choirul Mala, Jamaluddin al-Qasimi, (makalah, Pemikiran Hadits Kontemporer, 2016), h. 2.
[6] Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir al-Qur’an, ...h. 157-158
[7]  Maizuddin M. Nur,“ Tipologi Pemikiran Tentang Kewenangan Sunnah Di Era Modern” Dalam Jurnal Substantia, Vol. 14, No. 2, Oktober 2012, H. 150
[8] Nuruddin ‘Itr, Ulumul Hadis, terj. Mujioto, (Bandung: Remaja Rosda Karya, cet III, 2014) h. 62
[9]Mifta Arifin, “Sejarah Perkembangan Ulumul Hadits Periode Modern” dalam   http://arifinmifta.blogspot.co.id/2013/10/sejarah-perkembangan-ulumul-hadits.html, diakses pada 15 Mei 2016, pukul 08.00PM
[10]  Nuruddin ‘Itr, Ulumul Hadis,... h. 62-63
[11] Muhammad Dede Roddliyana, Perkembangan Pemikiran Ulum al-Hadits Dari Klasik Sampai Modern, (Jakarta: CV. Pustaka Setia, 2003), h. 103
[12] M Abdurrahman, Elan surmana, MetodeKritik Hadits, (Bandung: Remaja Rosda Karya, cet ke-2, 2013)
[13] Nuruddin ‘Itr, Ulumul Hadis....h. 366
[14] Bahrul Ma’ani, “Al-Jarh Wa Al-Ta’dil: Upaya Menghindari Skeptis Dan Hadis Palsu” dalam  Media Akademika,  Volume 25, No. 2, April 2010, h. 102
[15] Nurul Hikmah, “Takhrij Hadits” dalam http://uyuy92.blogspot.co.id/2015/01/takhrij-hadits.html, diakses 16 mei 2016, puku 08.00 pm